Pakar BRIN Prediksi Kemarau Basah 2023, Mirip Fenomena 10 Tahun Lalu

CNN Indonesia
Sabtu, 08 Jul 2023 06:44 WIB
Kemarau basah disebut berpotensi terjadi di 2023 akibat sejumlah faktor, salah satunya El Nino yang masih lemah.
Ilustrasi. Musim kemarau 2023 diprediksi kembali basah. (Silentpilot/Pixabay)
Jakarta, CNN Indonesia --

Alih-alih kering, musim kemarau tahun ini diprediksi basah lantaran kuatnya faktor angin dan siklon tropis percis seperti yang terjadi pada 2013.

Setidaknya dalam dua hari terakhir, cuaca ekstrem melanda berbagai daerah, seperti Jabodetabek, Bali, dan Jawa Timur. Di tempat-tempat itu, hujan terpantau lebat umumnya siang hingga sore.

"Hujan terpantau di Jabodetabek, yg merupakan aliran hujan dari Sumatra. Pengaruh vorteks Samudra Hindia dapat menciptakan kemarau basah," kicau Peneliti Klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin, di Twitter, Kamis (6/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal, organisasi-organisasi meteorologi dunia dan berbagai negara mengungkap kemunculan fenomena iklim yang memicu penurunan curah hujan, El Nino, mulai Juni. Selain itu, lebih dari separuh RI sudah masuk musim kemarau.

Menurut Erma, "anomali iklim berupa kemarau basah pada 2023" ini memiliki kemiripan dengan kemarau pada 2013.

"Yang membedakan, saat itu ENSO (El Niño-Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) netral. Namun penyebabnya mirip yaitu karena siklon/vorteks," ungkap dia.

Apa saja kemiripan fenomena saat ini dengan yang terjadi 10 tahun lalu?

Nihil La Nina

Erma, dalam blognya, mengungkap beberapa faktor yang biasanya jadi pemicu hujan pada 2013 sebenarnya tidak dalam kondisi signifikan.

Contohnya, fenomena pendinginan permukaan laut di Samudera Pasifik, La Nina, tak aktif. Ini ditandai dengan indeks Nino 3.4 yang tidak melebihi +0.5 derajat Celcius atau kurang dari -0.5 derajat Celcius.

Hal ini senada dengan kondisi 2023 dengan La Nina yang tak aktif sejak Februari.

Selain itu, Indeks Dipole Mode (DIM), yang merepresentasikan kondisi suhu permukaan di Samudera Hindia, cenderung berfluktuasi di sekitar nol derajat Celcius.

"Artinya, tidak terjadi Dipole Mode negatif yang berpotensi memperbesar suplai awan konvektif dari Samudera Hindia menuju Indonesia."

Begitu pula dengan fenomena penjalaran angin di atmosfer Madden Julian Oscillation (MJO) yang sejak pertengahan Mei dalam fase lemah. "Hal ini menunjukkan tidak terdapat arak-arakan kumpulan awan konvektif raksasa yang bergerak di atas Indonesia," katanya.

"Jika ketiga faktor dominan yang telah dijelaskan di atas berada dalam status normal, jadi apa sebenarnya yang menyebabkan musim kemarau basah kali ini?" cetus dia retoris.

Monsun hingga siklon

Ia mengakui untuk meneliti sebab kemarau basah 2013 itu perlu ada penelitian mendalam dan komprehensif, dengan mengamati berbagai parameter meteorologi juga oseanografi jika diperlukan.

"Meski demikian, beberapa pola anomali yang dapat dikenali sebagai penyebab kemarau basah dapat diuraikan sebagai berikut."

Pertama, pola angin monsun barat yang masih dominan terjadi di atas wilayah Indonesia.

Monsun barat yang identik dengan musim hujan bersifat basah dan membawa banyak uap air hangat dari Samudera Hindia. Ini meningkatkan kelembapan permukaan dan panas laten yang memicu konveksi penyebab hujan.

Monsun barat tersebut kemungkinan terjadi karena melemahnya monsun timur yang berasal dari Benua Australia. Pelemahan monsun Australia ini tampak dari nilai anomali indeks tidak lebih dari 2 selama bulan Mei hingga awal Juni.

Selain itu, lanjutnya, monsun barat yang masih kuat dan bersifat lembap ini sangat dipengaruhi oleh penguatan monsun musim panas India, hingga mencapai anomali indeks lebih dari 14.

"Menguatnya monsun musim panas India melebihi kondisi normal ini akan memproduksi angin barat yang sangat kuat sampai ke wilayah Indonesia," jelas Erma.

Kedua, siklon tropis dan peran Indonesia sebagai pembangkit siklon tropis (tropical cyclogenesis). Siklon tropis dapat menimbulkan gangguan cuaca skala sinoptik (radius lebih dari 1.000 km) seperti terjadinya hujan deras, bahkan pada musim kemarau sekalipun.

Bagaimana Indonesia dapat berperan sebagai pembangkit siklon tropis padahal siklon hampir bisa dipastikan tidak mungkin terbentuk di dekat ekuator?

Mengutip penelitian Love, 1985, ia menyebut itu terjadi karena ada hubungan antara sirkulasi atmosfer di belahan Bumi yang sedang mengalami musim dingin dengan sirkulasi di wilayah khatulistiwa serta belahan bumi yang sedang mengalami musim panas.

Menurutnya, wilayah Indonesia dapat memicu siklon tropis di belahan Bumi yang sedang mengalami musim panas. Syaratnya, ada angin barat yang sangat kuat dari level permukaan hingga ketinggian 200 milibar.

Hal inilah pula yang menyebabkan angin monsun barat di atas wilayah Indonesia semakin bertenaga karena suplai kelembapan semakin bertambah.

"Selain itu, vorteks-vorteks kecil yang terbentuk di sekitar Samudera Hindia ekuator dekat Pulau Sumatera juga turut memproduksi angin barat yang kaya uap air," tandas Erma.

(tim/arh)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER