Presiden Amerika Serikat Joe Biden akan mengirim cluster munitions alias bom kluster ke Ukraina sebagai bagian dari paket bantuan militer terbaru.
Kebijakan tersebut menuai sorotan karena senjata itu menjadi kontroversi di berbagai negara.
Diberitakan CNN pada Jumat (7/7), bom kluster merupakan senjata berbentuk tabung yang membawa puluhan atau ratusan bom kecil yang juga dikenal sebagai submunisi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senjata itu biasanya dijatuhkan menggunakan pesawat terbang, diluncurkan dari rudal, atau ditembakkan melalui artileri, senjata angkatan laut, hingga peluncur roket.
Bom kluster kemudian pecah pada ketinggian yang telah ditentukan, sesuai dengan area target yang akan dituju. Senjata itu juga dikendalikan dengan pengatur waktu sehingga dapat meledak lebih dekat ke daratan.
Ketika meledak, bom itu akan menyebarkan pecahan peluru yang dirancang untuk membunuh pasukan hingga menghancurkan kendaraan lapis baja seperti tank.
Meski AS memiliki persediaan bom kluster yang dikenal sebagai DPICM tersebut, senjata itu tidak lagi digunakan setelah dihentikan secara bertahap pada 2016.
Menurut sebuah artikel di situs eArmor Angkatan Darat AS, DPICM yang akan diberikan kepada Ukraina akan memiliki tabung yang membawa 88 bom pada setiap senjata. Setiap bom memiliki jangkauan yang mematikan, yakni satu tabung dapat menjangkau hingga 30 ribu meter persegi.
Bom itu juga memiliki dampak yang besar. Jika bom pada umumnya membutuhkan 10 atau lebih bom untuk menghancurkan kendaraan lapis baja, DPICM hanya cukup menggunakan satu bom untuk membuat kendaraan itu tidak bisa bergerak.
Namun, bom kluster sejenis itu menuai kontroversi di kalangan global. Salah satu penyebab utamanya yakni kemungkinan bom itu bisa membahayakan sipil karena jangkauan area yang begitu luas.
Selain itu, Komite Palang Merah Internasional juga mencatat 10 hingga 40 persen bom submisi yang tersebar gagal meledak. Bom kecil itu kemudian dapat meledak akibat aktivitas sipil bertahun-tahun atau bahkan beberapa dekade kemudian.
Kelompok aktivis bernama The Cluster Munition Coalition yang berusaha melarang senjata itu bahkan menyebut terdapat banyak bom kluster berpotensi mematikan yang masih terbengkalai di Laos dan Vietnam 50 tahun setelah digunakan.
Koalisi itu menjelaskan senjata bom kluster sudah digunakan jauh sejak Perang Dunia II hingga puluhan konflik antarnegara setelah itu. Amerika Serikat terakhir kali menggunakan bom itu di Irak pada 2003 hingga 2006.
Rusia dan Ukraina juga sempat mengenakan bom sejenis itu sejak mereka berkonflik pada Februari 2022. Terbaru, Ukraina memakai cluster minions buatan Turki untuk melawan Rusia.
Sementara itu, sebagian besar negara sudah melarang senjata itu digunakan dalam berbagai aktivitas militer. Kesepakatan itu dibuat melalui Convention on Cluster Munitions (CCM), berisi larangan untuk menimbun, produksi, maupun mengirim bom kluster.
Terdapat 123 negara yang bergabung dalam kesepakatan itu, tetapi Amerika Serikat, Ukraina, Rusia, dan 71 negara lainnya tercatat tidak bergabung.
(frl/vws)