Pakar dari Khalifa University menyebut sistem kalender lain pra-hijrah juga menggunakan pergerakan Bulan.
Hal tersebut mereka jabarkan dalam artikel berjudul 'On the Origins of the Hijrī Calendar: A Multi-Faceted Perspective Based on the Covenants of the Prophet and Specific Date Verification'.
Menurut mereka, kalender berdasarkan pergerakan Bulan telah digunakan oleh orang Arab pra-Islam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Studi ini berargumen bahwa kalender bulan murni telah digunakan oleh orang Arab pra-Islam secara paralel dengan kalender Iunisolar," tulis para pakar seperti dilansir Research Gate.
Hal tersebut sesuai dengan penjelasan ilmuwan muslim, Al-Biruni. Menurut dia, masyarakat Arab pra-Islam memiliki kebiasaan menyimpan beberapa kalender dan akan menyusun kalender baru kapan pun peristiwa besar terjadi.
Al-Biruni menambahkan ada empat kalender yang dilembagakan masyarakat Quraisy saat masa hidup Nabi Muhammad. Serupa dengan Hijriah, kalender pra-Islam itu dimulai dengan berpatokan pada empat peristiwa besar.
Yakni, 1) tahun perang Fijar; 2) tahun berdirinya konfederasi al-Fuḍūl; 3) tahun meninggalnya Ḥishām bin al-Mughīrah al-Makhzūmī; dan 4) tahun pembangunan kembali Ka'bah melalui arbitrase Nabi.
Bedanya kalender Hijriah dengan kalender berbasis pergerakan Bulan lainnya adalah soal keharusan munculnya hilal yang berbentuk bulan sabit amat tipis.
Secara teknis, patokan satu kali peredaran Bulan secara penuh adalah saat ijtimak atau konjungsi geosentris. Yakni, saat Bumi, Matahari, dan Bulan berada di posisi bujur langit yang sama alias sejajar jika diamati dari Bumi.
Ijtimak sendiri terjadi setiap 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu bulan sinodik.
Namun, yang jadi acuan bulan baru hijriah bukan ijtimaknya, tapi kemunculan hilal yang tampilannya berupa bulan sabit muda yang amat tipis.
Masalahnya, ada perbedaan kriteria bulan sabit tipis ini; antara yang sekadar memakai perhitungan astronomis (hisab) dan ada yang mesti hisab dan pemantauan langsung atau rukyat.
Yang memakai hisab [hakiki], seperti Muhammadiyah, berpatokan setipis apa pun hilal itu sudah menandakan bulan baru.
Yang memakai rukyat, seperti Pemerintah dan Nahdlatul Ulama, punya acuan pada kriteria MABIMS (kesepakatan Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura).
Lihat Juga : |
Kriteria ini mensyaratkan hilal yang berarti bulan baru hijriah mesti punya ketinggian 3 derajat dan jarak sudut Bulan-Matahari dari Bumi atau elongasi mencapai 6,4 derajat.
Meski sudah ada hitungan astronomisnya, itu pun masih harus dicek berdasarkan pengamatan langsung pada saat sudah ijtimak.
Itulah sebabnya banyak catatan perbedaan waktu awal puasa Ramadhan, lebaran Idulfitri, hingga Iduladha.
(lth/arh)