Kebocoran 300 Juta Data Dukcapil, Pakar Ingatkan 3 Hal Kunci

CNN Indonesia
Rabu, 26 Jul 2023 05:45 WIB
Pakar keamanan siber menjelaskan dugaan kebocoran data NIK harus dilihat dari tiga hal, baik itu lewat sumber daya manusia, teknologi maupun kebijakan.
Ilustrasi. Alasan kebocoran data masih terus terjadi karena belum ada lembaga Perlindungan Data Pribadi (PDP). (Foto: iStockphoto)

Kebocoran data di Indonesia masih kerap terjadi. Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC Pratama Persadha mengungkap alasan kebocoran data masih terus terjadi karena belum ada lembaga Perlindungan Data Pribadi (PDP).

Menurut dia kehadiran lembaga ini bakal berimplikasi dengan perhatian pengendali data terhadap keamanan data pribadi.

Sepanjang Juli, tercatat ada dua dugaan kebocoran data, yakni data paspor dan data di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pratama menyatakan pemerintah perlu lebih serius menanggapi berbagai kasus dugaan kebocoran data yang terjadi lewat penerapan hukum dan regulasi terkait dengan Pelindungan Data Pribadi.

Menurutnya dalam kasus kebocoran data, pihak-pihak yang harus bertanggung jawab adalah perusahaan sebagai pengendali atau pemroses data, serta pelaku kejahatan siber yang menyebarkan data pribadi ke ruang publik.

Dia menyebut UU PDP pasal 57 bisa dijadikan sebagai dasar tuntutan untuk pihak-pihak yang berdomisili di Indonesia.

Sayangnya, kehadiran UU PDP dianggap belum bisa berjalan dengan maksimal karena DPR dan pemerintah masih memberikan masa transisi selama 2 tahun, seperti diatur dalam UU PDP pasal 74.

Masa transisi ini diberikan agar semua pihak bisa mulai menyesuaikan kebijakan internal sesuai dengan yang diatur dalam UU PDP, termasuk salah satunya adalah merekrut Petugas Pelindungan Data (Data Protection Officer).

Meski demikian, Pratama menyebut pelanggaran terkait UU PDP yang dilakukan selama masa transisi tersebut sudah dapat dikenakan sanksi hukuman pidana sesuai dengan pasal 76 UU PDP.

Bahwa, undang-undang berlaku sejak tanggal diundangkan, walaupun untuk sanksi administratif masih harus menunggu turunan dari UU PDP.

Namun, sanksi pidana tersebut hanya dapat dijatuhkan oleh lembaga PDP yang dibentuk oleh presiden.

"Hanya saja sanksi hukuman tersebut hanya dapat dijatuhkan oleh lembaga atau komisi yang dibentuk oleh pemerintah dalam hal ini adalah Presiden. Sehingga jika komisi PDP tersebut tidak segera dibentuk, maka pelanggaran yang dilakukan tidak akan dapat diberikan sanksi hukuman," ujar Pratama dalam sebuah keterangan, Senin (17/7).

"Oktober 2024 adalah batas maksimal diberlakukannya UU PDP secara penuh, namun seharusnya bisa lebih cepat jika pemerintah sudah membentuk lembaganya serta turunan undang-undangnya," imbuhnya.

(can/dmi)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER