Jakarta, CNN Indonesia --
Teknologi kecerdasan buatan (AI) menyimpan potensi bahaya jika dikembangkan secara liar. Sejumlah tokoh pun sudah jauh-jauh hari memberi peringatan.
Contoh-contoh bahaya AI yang bisa dibayangkan sejauh ini di antaranya adalah mesin tempur yang bisa bertindak sendiri, pengabaian hak cipta, plagiarsme, hingga hoaks.
Sejauh ini, Indonesia masih mengandalkan sejumlah regulasi lawas untuk menangkalnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita pakai UU dan aturan yang tersedia, misalnya UU ITE, UU PDP, PP 71/2019, dan Permenkominfo Nomor 5/2020," kata Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Usman Kansong, beberapa waktu lalu.
Tak ketinggalan, Kominfo akan menggunakan program literasi digital yang dimilikinya untuk memberikan edukasi terkait AI.
"Kita punya program literasi digital. Kita edukasi lewat program tersebut," kata dia ketika ditanya soal konten hoax yang mungkin dihasilkan oleh AI.
Tidak hanya negara-negara yang khawatir dengan potensi AI. Sejumlah tokoh bahkan sudah bersuara mengungkapkan kekhawatiran mengenai potensi "serangan" AI dalam kehidupan manusia.
Berikut deret tokoh yang bersuara mengenai bahaya AI:
Stephen Hawking
Fisikawan terkemuka Stephen Hawking sempat mengingatkan soal ancaman AI terhadap peradaban manusia.
Mendiang saat hidup memang dikenal sebagai sosok dengan kursi roda dan suara robotiknya yang dibantu AI buatan Intel setelah menderita penyakit neuron motorik yang mirip dengan amyotrophic lateral sclerosis (ALS) membuatnya lumpuh dan tidak dapat berbicara.
Namun begitu, ia menyadari ada ancaman serius dari AI untuk keberlangsungan manusia.
"Pengembangan kecerdasan buatan secara penuh dapat berarti akhir umat manusia," kata Hawking kepada BBC pada Desember 2014.
Hawking juga mengatakan bentuk primitif dari kecerdasan buatan yang dikembangkan saat itu terbukti sangat berguna. Namun, ia tetap khawatir dengan konsekuensi menciptakan sesuatu yang dapat menandingi atau melampaui manusia.
"Manusia, yang dibatasi oleh evolusi biologis yang lambat, tidak dapat bersaing, dan akan tergantikan," ujarnya.
Geoffrey Hinton
Geoffrey Hinton dikenal sebagai Godfather of AI, tapi dia sudah mewanti-wanti atas potensi bahaya perkembangan teknologi itu.
Hinton adalah salah satu sosok awal yang mengembangkan teknologi jaringan yang kini membentuk sistem kecerdasan buatan. Dia bekerja paruh waktu di Google selama satu dekade untuk mengembangkan AI raksasa teknologi ini.
Hinton mengaku risau dengan potensi AI untuk menghilangkan pekerjaan dan menciptakan dunia yang membuat kita tidak bisa mengetahui hal yang benar. Dia juga menunjukkan kecepatan kemajuan teknologi yang menakjubkan, jauh melampaui apa yang dia dan orang lain perkirakan.
"Gagasan bahwa benda ini sebenarnya bisa menjadi lebih pintar daripada manusia," kata Hinton dalam sebuah wawancara.
"Tetapi kebanyakan orang berpikir itu terlalu jauh. Dan saya pikir itu masih jauh dari kenyataan. Saya pikir itu masih 30 sampai 50 tahun lagi atau bahkan lebih lama lagi. Jelas, saya tidak lagi berpikir seperti itu," imbuhnya.
Sekjen PBB hingga Paus di halaman berikutnya...
Ahli dan pimpinan perusahaan
Kumpulan ahli dan pimpinan perusahaan melontarkan peringatan terkait bahaya kepunahan gara-gara kecerdasan buatan. Hal itu terungkap dalam sebuah pernyataan terbuka 'Statement of AI Risk' yang digagas oleh organisasi nirlaba Center for AI Safety yang berbasis di San Francisco, AS.
Pernyataan itu ditandatangani lebih dari 100 tokoh yang merupakan ilmuwan, termasuk Geoffrey Hinton dan Yoshua Bengio yang memenangkan Turing Award 2018 atas karya mereka di bidang kecerdasan buatan.
Ada juga para pimpinan perusahaan teknologi, termasuk CEO Google DeepMind Demis Hassabis dan CEO OpenAI yang merupakan pemilik chatbot ChatGPT Sam Altman.
"Mitigasi risiko kepunahan dari AI harus menjadi prioritas global bersama dengan risiko skala masyarakat lainnya, seperti pandemi dan perang nuklir," tulis pernyataan terbuka itu.
James Cameron
Sutrada gaek James Cameron juga bicara soal potensi bahaya AI. James mengaku sudah memperingatkan bahaya AI sejak menggarap Terminator pada 1984.
"Saya sudah memperingatkan kalian pada 1984, dan kalian tidak mendengarkan," kata Cameron seperti diberitakan CTV News, Rabu (19/7).
The Terminator adalah film arahan James Cameron yang naskahnya ia tulis bersama Gale Anne Hurd.
Film itu mengisahkan pembunuh siborg (Arnold Schwarzenegger) yang dikirim ke masa lalu, dari 2029 ke 1984, untuk membunuh Sarah Connor (Linda Hamilton) yang putra dalam kandungannya diyakini bisa menyelamatkan manusia dari kepunahan.
Pemusnahan manusia direncanakan Skynet, sistem kecerdasan buatan revolusioner yang dibangun oleh Sistem Cyberdyne untuk SAC-NORAD.
Pandangan Cameron soal penggunaan AI secara intensif itu merujuk kepada salah satu protes utama yang digaungkan oleh asosiasi aktor Hollywood Screen Actors-American Federation of Television and Radio Artists (SAG-AFTRA) dalam aksi mogok.
Antonio Guterres
Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) António Guterres juga mengungkap beberapa bahaya penyalahgunaan AI, mulai dari penyebaran misinformasi atau hoaks hingga senjata nuklir.
Guterres menyebut jika AI menjadi senjata utama untuk melancarkan serangan siber, membuat deepfake, atau untuk menyebarkan disinformasi dan ujaran kebencian, maka kehadiran teknologi ini memiliki konsekuensi yang sangat serius bagi perdamaian dan keamanan global.
"Tidak perlu jauh-jauh dari media sosial. Alat dan platform yang dirancang untuk meningkatkan hubungan antar manusia kini digunakan untuk merusak pemilihan umum, menyebarkan teori konspirasi, dan menghasut kebencian dan kekerasan," kata Guterres.
"Sistem AI yang tidak berfungsi dengan baik adalah area lain yang sangat memprihatinkan. Dan interaksi antara AI serta senjata nuklir, bioteknologi, neuroteknologi, dan robotika, sangat mengkhawatirkan," tambahnya.
Guterres mengumumkan dirinya akan mengadakan pertemuan tingkat tinggi untuk AI yang akan membahas opsi-opsi tata kelola global pada akhir tahun ini.
Dia juga akan mengeluarkan ringkasan kebijakan baru tentang Agenda Baru untuk Perdamaian, yang akan memberikan rekomendasi tentang tata kelola AI kepada Negara-negara Anggota PBB.
[Gambas:Photo CNN]
Paus Fransiskus
Kekhawatiran mengenai AI juga disuarakan Pemimpin Gereja Katolik Paus Fransiskus. Ia mewanti-wanti dampak berbahaya dari penggunaan kecerdasan buatan atau AI yang belakangan marak terjadi.
Ia pun meminta pengembang bertanggung jawab saat menggunakan maupun mengembangkan teknologi AI.
Dalam sebuah pernyataan pada Selasa (8/8), Fransiskus menyinggung bias ancaman algoritmik dalam teknologi AI dan meminta masyarakat mewaspadai agar logika kekerasan dan diskriminasi tidak mengakar dalam teknologi AI.
Terlebih, penggunaan perangkat AI dianggap bisa mengorbankan individu yang paling rapuh, sehingga bisa tersisih.
Paus menyoroti "kemungkinan mengganggu dan efek ambivalen" dan mendesak perusahaan teknologi yang akan mengembangkan atau menggunakan AI, untuk melakukannya secara bertanggung jawab.
"Ketidakadilan dan ketidaksetaraan memicu konflik dan permusuhan," kata dia.
"Kebutuhan mendesak untuk mengarahkan konsep dan penggunaan kecerdasan buatan dengan cara yang bertanggung jawab, sehingga dapat melayani umat manusia dan melindungi rumah kita bersama, mengharuskan refleksi etis diperluas ke bidang pendidikan dan hukum," sambung Paus.
[Gambas:Video CNN]