Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Usman Kansong mengklaim aturan penyensoran layanan streaming film seperti Netflix tidak cukup pakai Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Jadi secara umum sebetulnya bisa meminta take down kalau ada konten yang dilarang. Tetapi persoalannya, Netflix adalah film, nah pertanyaannya apakah yang berwenang katakanlah untuk melakukan sensor itu adalah Lembaga Sensor Film (LSF)," kata Usman saat dikonfirmasi, Senin (14/8).
Dengan begitu, kata Usman, masih belum ada kejelasan siapa yang berhak melakukan penyensoran film di platform streaming berbayar seperti Netflix.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ini, Kominfo masih berkutik dalam sengketa penyensoran, dan mengenai wacana ini pihaknya mengaku "Baru dalam tahap gagasan untuk membahas secara serius."
Lihat Juga : |
"Sebetulnya dulu-dulu sudah juga kita mencoba membahas secara serius terkait dengan Netflix, karena masuk ke ranah siapa Kominfo atau LSF atau penyiaran secara umum misalnya KPI (Komisi Penyiaran Indonesia)," tuturnya.
Kendati demikian, Usman berharap tidak ada take down konten di layanan streaming berbayar, melainkan hanya lewat metode sensor dan pencegahan.
Sebelumnya, Menkominfo Budi Arie Setiadi mengkaji serius soal potensi memasukkan layanan streaming film seperti Netflix ke dalam ranah penyiaran seperti siaran TV konvensional.
"Kita sedang mengkaji secara serius apakah nanti OTT (over the top, penyedia layanan video internet, red) dimasukkan dalam ranah penyiaran," kata Budi, saat ditemui di Jakarta, Kamis (10/8).
Tujuannya, layanan streaming bisa kena sensor sebagaimana tayangan free to air (FTA). Menkominfo pun mendorong keadilan perlakuan terhadap tayangan sejenis.
"Sama-sama produknya film. Satu platformnya adalah OTT, satunya FTA. Perlakuannya mesti produknya sama kok, film misalnya. Jangan satu ketat, yang OTT bebas. Semuanya harus dalam kondisi level of play field yg sama," tuturnya.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR beberapa waktu lalu, Ketua KPI Pusat Agung Suprio mengatakan pihaknya tak berwenang mengatur konten-konten dari layanan OTT.
Agung menjelaskan kewenangan KPI sejauh ini hanya menjangkau TV konvensional atau TV kabel. Sementara layanan TV streaming belum menjadi kewenangan KPI.
Hal ini terkait dengan putsan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi UU Penyiaran yang dimohonkan Inews dan RCTI pada 2021. Permohonan judicial review itu salah satunya meminta perluasan lingkup penyiaran ke layanan OTT, yang berarti Netflix hingga Youtube tunduk ke UU Penyiaran dan diawasi KPI.
"Tapi MK menggagalkan gugatan itu. Sampai sekarang, KPI tidak punya kewenangan ke over the top," ujar Agung.
Dalam putusannya, MK menyebut permohonan dua stasiun TV milik MNC Group itu tak relevan karena tak ada kekosongan hukum. MK menganggap masalah layanan streaming turut diatur UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Mahkamah juga menilai UU ITE dan perundangan terkait dapat mengatur konten yang bermuatan pornografis, SARA, ujaran kebencian, hingga pelanggaran kekayaan intelektual.
"Justru apabila permohonan pemohon dikabulkan akan menimbulkan kerancuan antara layanan konvensional dengan layanan OTT," kata hakim MK Arief Hidayat saat itu.
Wakil Ketua KPI Mulyo Hadi Purnomo pada 2021 pernah mengatakan pengawasan dan penindakan terhadap isi konten OTT asing masih di bawah kewenangan Ditjen Aplikasi Informatika (Aptika) Kominfo.
"Kami sudah ingatkan Ditjen Aptika terhadap maraknya konten negatif di OTT asing. Namun sampai saat ini konten negatif tersebut masih ada," kata Hadi.
Berdasarkan pemberitaan CNNIndonesia.com sebelumnya, Kominfo dapat meminta take down konten yang dianggap menyalahi aturan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang terdaftar, termasuk Netflix.
CNNIndonesia.com sudah berusaha menghubungi Netflix terkait wacana pengaturan ini. Namun, pihak agensi humas belum bisa memberi komentar resmi.