Studi Ungkap Pegiat Lingkungan Eksodus Usai Elon Musk Akuisisi Twitter

CNN Indonesia
Jumat, 18 Agu 2023 14:30 WIB
Ilustrasi. Sebuah studi mengungkap pegiat Lingkungan eksodus setelah Elon Musk mengakuisisi Twitter. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sebuah studi mengungkap sebagian dari orang-orang yang biasa menyuarakan tentang krisis iklim dan lingkungan meninggalkan Twitter (kini berubah menjadi X), usai miliarder Elon Musk mengambil alih platform media sosial tersebut.

Para peneliti mengatakan Twitter sebelumnya merupakan platform media sosial terdepan untuk diskusi lingkungan dan eksodus ini sangat mengkhawatirkan. Mereka mengatakan eksodus pegiat lingkungan di Twitter merupakan ancaman eksistensial untuk menginformasikan orang-orang yang ingin bertindak mengenai perubahan iklim.

Musk, yang menyebut dirinya sebagai "penganut kebebasan berbicara", secara radikal memangkas staf moderasi konten Twitter setelah pengambilalihan tersebut, yang dimulai pada bulan April 2022 dan diselesaikan pada bulan Oktober 2022.

Berbagai laporan menemukan peningkatan disɨnformasi dan misinformasi tentang perubahan iklim di platform tersebut dan juga lonjakan ujaran kebencian. Para peneliti dan pihak lainnya mengatakan telah terjadi lonjakan poin-poin penyangkalan perubahan iklim yang tidak dapat dibantah di Twitter sejak pengambilalihan oleh Musk.

Para peneliti mempelajari 380.000 pengguna yang mencuit secara teratur tentang pemanasan global dan keanekaragaman hayati dan menemukan 47,5 persen menjadi tidak aktif enam bulan setelah Musk mengambil alih Twitter.

Sebagai perbandingan, hanya 21 persen dari kelompok kontrol yang terdiri dari 458.000 pengguna yang mencuitkan tentang politik AS yang menjadi tidak aktif pada periode yang sama.

"Kekuatan luar biasa dari Twitter adalah bahwa ini merupakan forum terbuka di mana orang dapat berbagi ide dan pendapat serta mempengaruhi orang lain," kata Charlotte Chang, Profesor dari Pomona College di Amerika Serikat, mengutip The Guardian, Rabu (16/8).

"Kami memiliki tantangan besar untuk memberdayakan para pemangku kepentingan di seluruh sektor masyarakat untuk mengambil tindakan guna menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati dan memerangi bencana perubahan iklim. Kami cukup kecewa saat mengetahui bahwa setelah penjualan Twitter, komunitas lingkungan kami benar-benar menurun," lanjutnya.

Penelitian berjudul "Environmental Users Abandoned Twitter After Musk Takeover" itu terbit di jurnal Trends in Ecology & Evolution. Penelitian ini menganalisa penggunaan Twitter oleh kelompok-kelompok yang biasa menyuarakan tentang krisis iklim interval 15 hari dari Juli 2019 hingga April 2023.

Seorang pengguna dianggap aktif jika mereka mencuit setidaknya satu kali tentang topik mereka dalam jangka waktu 15 hari.

Chang mengungkapkan masih belum jelas ke mana suara-suara mengenai lingkungan itu akan berpindah dari Twitter. Pasalnya, media sosial lain seperti Mastodon, Threads, dan Instagram belum bisa menyamai kesuksesan Twitter dalam hal kampanye krisis iklim.

Ia mengatakan penurunan pegiat lingkungan di Twitter dapat terus berlanjut, dengan penelitian sebelumnya di jejaring sosial yang mencatat efek bola salju di mana pengguna yang meninggalkannya akan diikuti oleh pengguna lainnya.

"Bola salju ini mungkin telah ditendang terlalu kuat untuk benar-benar menghentikan tren yang sedang berlangsung," kata Chang.

Twitter tak lagi ramah untuk pegiat lingkungan

Para peneliti juga menyoroti inisiatif seperti Koalisi untuk Penelitian Teknologi Independen sebagai cara untuk meningkatkan keprihatinan yang terkoordinasi kepada Twitter dan para pembuat kebijakan.

Chang mengatakan rencana untuk mulai mengenakan biaya yang signifikan untuk akses ke sejumlah besar cuitan melalui API platform akan merusak penelitian.

"Ini akan membuat mustahil untuk mengakses dan memahami apa yang terjadi di platform ini, untuk mendokumentasikan kontribusi positif mereka kepada masyarakat serta beberapa kerugiannya," katanya.

Perusahaan media sosial milik Musk itu belum berkomentar mengenai hal ini.

Leo Hickman, editor Carbon Brief, mengatakan selama satu dekade terakhir, Twitter telah menjadi platform media sosial terbaik untuk mengikuti, berbagi, dan mendiskusikan berita terbaru tentang perubahan iklim. Secara khusus, banyak ilmuwan iklim telah menemukan tempat untuk menjelaskan pekerjaan dan temuan mereka secara rinci.

"Namun, hasil penelitian ini hanya mengkonfirmasi pengalaman langsung tentang betapa beracun dan mengasingkannya Twitter bagi orang-orang yang ingin menyampaikan tantangan perubahan iklim dengan cara yang masuk akal dan bijaksana," kata Leo.

Pada bulan Mei, ilmuwan iklim Mark Maslin, dari University College London, mengatakan telah terjadi perubahan besar di Twitter. Ia mengaku mendapat banyak cacian dan komentar tidak menyenangkan.

"Saya mendapat begitu banyak cacian dan komentar kasar sekarang," kata Maslin.

Maslin mengatakan bahwa ia dulu sering mengadakan pertemuan rutin dengan Sean Boyle, mantan Head of Sustainability Twitter.

"Namun dia dipecat [dalam pemecatan massal staf oleh Musk] dan Twitter menjadi seperti dunia lain," pungkasnya.

(tim/dmi)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK