Peneliti Meteorologi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Deni Septiadi meragukan metode penyemprotan air dari gedung bisa mengurangi polusi di DKI Jakarta.
"Kalau kebakaran hutan itu kan orang menggunakan water bombing, jadi itu instan. Tapi kalau ini kok malah semprotkan air dari gedung, saya agak bingung ini konsepnya seperti apa," kata Deni kepada CNNIndonesia.com, Jumat (25/8).
Ia mengaku baru mendengar metode penyemprotan air dari gedung untuk mengurangi polusi. Jika dilakukan, ia memperkirakan butuh berton-ton kubik air untuk membersihkan udara Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Deni menjelaskan kadar polutan PM2,5 yang menyelimuti sejumlah kawasan Jakarta itu, mengambang di Lapisan Batas Atmosfer (LBA) dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan.
Ia menilai seharusnya pemerintah melakukan identifikasi terlebih dahulu dari mana sumber emisinya sebelum melakukan penindakan.
"Apakah itu dari sektor transportasi, industri atau Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Harusnya diidentifikasi nih, setelah itu tinggal dicarikan regulasinya," tuturnya.
Jika biang keroknya sudah ditemukan, kata Deni, selanjutnya pemerintah tinggal memperketat regulasi seperti memaksa masyarakat untuk beralih ke transportasi umum atau memperpanjang hari tanpa kendaraan bermotor alias car free day.
"Cobain regulasi yang agak ketat, kemudian (masyarakat) dicoba dan dipaksakan beralih ke transportasi umum atau car free day diperpanjang, turun enggak untuk polusinya," kata dia.
"Cara yang paling bisa dilakukan dan sudah dilakukan banyak negara yaitu menggalakan transportasi umum, dicek lagi PLTU atau industri yang polutanya," sambung Deni.
Lihat Juga : |
Dengan cara itu, setidaknya dalam waktu seminggu kandungan PM2,5 diprediksi Deni akan terlihat berkurang karena polutan akan ke permukaan dan diserap oleh pohon-pohon.
Sebelumnya, pemerintah melirik teknologi alternatif untuk mengatasi polusi udara lewat penyemprotan air berkabut yang dilakukan dari gedung-gedung tinggi di wilayah Jakarta.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Reliantoro mengatakan operasi teknologi modifikasi cuaca dengan menyemai garam ke lapisan atmosfer masih belum optimal. Pasalnya hanya ada sedikit awan hujan akibat musim kemarau panjang.
"Kami mendiskusikan beberapa teknologi alternatif karena teknologi modifikasi cuaca tidak terbatas dengan pesawat yang menabur garam, tetapi dalam skala mikro misalnya dengan membuat semprotan air berkabut dari gedung-gedung tinggi," ujar Sigit mengutip Antara, Kamis (24/8).
Sigit menuturkan pemerintah saat ini sedang menginventarisasi gedung-gedung tinggi yang potensial untuk dilakukan penyemprotan air berkabut dan menginventarisasi pemilik teknologi tersebut.
Dia juga mengaku telah bertemu dengan Pertamina yang memiliki teknologi itu sebagai alat untuk mengamankan fasilitas kilang dan depo.