Jakarta, CNN Indonesia --
Tak efektif dan malah memperburuk polusi udara, demikian kesimpulan pandangan para ahli soal strategi penyemprotan jalan memakai air dengan dalih memperbaiki kualitas udara.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya mengerahkan sejumlah unit water canon untuk menyemprot jalan protokol dalam rangka mengurangi dampak polusi udara di Jakarta.
"Maka itu Polri, khususnya Polda Metro Jaya melakukan kesiapan dengan pengecekan kendaraan taktis water canon dan kemudian melakukan penyemprotan jalan protokol guna mengurangi dampak polusi udara di Jakarta," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam konteks polusi udara, ada dua kategori utama polutan yang jadi indikator.
Partikulat Meter 10 (PM10), yakni partikulat dengan diameter 10 mikrometer atau kurang, berbentuk asap, debu, jelaga, garam, asam, dan logam.
Partikulat Meter 2.5 (PM2.5), partikulat yang lebih kecil dari 2,5 mikrometer. Sumbernya bisa dari asap kendaraan bermotor, pabrik, hingga Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Berikut pandangan para ahli soal strategi semprot air ini.
BMKG
Peneliti Meteorologi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Deni Septiadi menilai penyemprotan air untuk menangani polusi udara bisa membuat kondisi polusi makin berbahaya.
Menurutnya, strategi ini berpotensi membuat PM10 yang ada di permukaan tanah terpecah sehingga justru lebih membahayakan manusia.
"Saya agak takut PM 10 itu dia pakai water canon itu kan kencang, saya malah takutnya partikel-partikel begitu disemprot dengan tekanan tinggi dia malah pecah, justru menjadi PM2,5," ujar Deni, Jumat (25/8).
BRIN
Senada, Edvin Aldrian, profesor bidang iklim di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan penyemprotan bakal membuat polutan di tanah kembali naik ke udara sekaligus membuang-buang air.
"Waktu dia basahin tanah, tanah yang di bawah itu dibuang ke mana? Dia akan banyak terlepas ke udara [bersama air yang menguap]," kata dia lewat sambungan telepon, Minggu (27/8).
Edvin menyarankan tirai air (water curtain) yang membuat air yang digunakan jumlahnya sama dan tidak ada yang terbuang. Air ditampung lalu disaring guna membuang partikel yang tercampur, lalu dialirkan lagi sebagai air terjun.
"Tujuannya sama, kita butuh air untuk menjatuhkan debu. Cara ini saya pikir juga bisa menghemat air. Jadi bisa suatu aliran air jatuh dan dia membawa debu. Air yang jatuh disaring. Nah air yang sudah disaring diantar lagi ke atas, lalu dijatuhkan lagi," jelasnya.
Menurutnya, jika gedung-gedung di kawasan 'sibuk' ibu kota melakukan itu, polusi bisa diturunkan.
"Ini sangat mungkin dilakukan. Jadi prinsipnya supaya air itu di-recycle. Kalau disemprot, kan hilang," katanya.
Pandangan pakar China dan Menkes di halaman selanjutnya...
Pakar China
Pakar kesehatan masyarakat dari Departemen Kesehatan Lingkungan Kerja, Sekolah Kesehatan Masyarakat Universitas Kedokteran Hebei, China, Fengzhu Tan mengatakan penyemprotan air memicu peningkatan konsentrasi PM2.5.
"Menyemprot jalan dengan air meningkatkan, bukan menurunkan, konsentrasi PM2.5. Ini juga bisa menjadi sumber baru aerosol antropogenik dan polusi udara," kata Tan dalam studinya di jurnal National Library of Medicine (NIH) pada Mei 2021.
"Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa menyemprot jalan dengan air meningkatkan, bukan menurunkan, konsentrasi PM2.5," lanjutnya.
Dia mengatakan metode menyemprot jalan dengan air dalam skala besar di kota-kota China merupakan salah satu tindakan pencegahan atau mitigasi dari pemerintah untuk mengendalikan polusi udara yang parah.
Mulanya, penyiraman air diharapkan bisa membuat kabut asap tebal polusi yang menyelimuti sejumlah wilayah China bisa berkurang. Terutama di wilayah Beijing, Tianjin, dan Hebei (BTH) pada 2013.
"Peristiwa polusi udara ini biasanya ditandai dengan kelembaban udara yang lebih tinggi. Oleh karena itu, mungkin ada hubungan antara tindakan ini dan polusi udara," tutur Tan.
Tan dan tim melakukan penelitian kondisi polusi di China dengan melihat dampak penyemprotan air terhadap konsentrasi PM2.5 dan kelembapan di udara.
Kemudian, tim menilai dengan mengukur komposisi kimiawi air, melakukan percobaan simulasi penyemprotan air, mengukur residu, dan menganalisis data yang relevan.
Tim menemukan bahwa penyemprotan air keran atau air sungai dalam jumlah besar di jalan raya dapat meningkatkan konsentrasi dan kelembapan PM2.5.
Selanjutnya, penyemprotan yang dilakukan secara terus menerus setiap hari bisa menghasilkan efek kumulatif terhadap polusi udara.
[Gambas:Infografis CNN]
Mereka mengatakan air yang disemprot dapat menghasilkan aerosol antropogenik baru atau partikel halus yang tidak terlihat, dan dengan demikian menjadi sumber polusi udara baru.
Kemudian peningkatan aerosol antropogenik, bersama dengan suhu rendah di musim kemarau dan musim dingin, bisa mendorong terbentuknya kondisi meteorologi dengan kelembapan tinggi.
Kondisi itu dinilai Tan tidak menguntungkan bagi difusi polutan udara, sehingga terjadi polusi udara parah pada cuaca bersuhu rendah.
Kemenkes
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan penyemprotan jalan tidak efektif untuk mengatasi polusi udara karena kegiatan itu hanya memindahkan polusi dari satu tempat ke tempat lain.
"Partikel PM2,5 banyak beredar di udara atas, bukan di bawah..., Jadi sebenarnya kalau menyemprot harus di atas, bukan di bawah," kata dia, di Jakarta, Minggu (27/8).
"Kegiatan penyemprotnya juga harus luas karena kalau sedikit itu hanya menggeser-geser saja malah bisa menyebarkan pindah ke tempat lain," imbuh dia.
Menkes menuturkan hanya ada dua hal yang bisa menghilangkan partikel PM2,5 dan sumber-sumber polutan lainnya secara cepat, yaitu hujan lebat dan angin kencang.
"Jadi kalau mau mengurangi PM2,5 itu yang biasanya dikurangi adalah transportasi, pembangkit listrik, dan industri. Inilah yang menyebabkan banyak PM2,5 berada di atas," pungkas Budi.