Klimatolog dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin mengungkap dua kondisi berbeda yang dialami oleh bagian utara dan selatan khatulistiwa itu merupakan sebuah dinamika cuaca efek pemanasan global.
Menurut Erma, dalam dinamika cuaca awan-awan itu bukan kemudian menghilang sama sekali dari langit Indonesia. Menurut dia kekeringan di Jawa itu akibat awan hujan hanya terkonsentrasi di bagian utara garis ekuator.
"Yang menjadi pembeda dia si awan-awan itu, dan juga hujannya, kemungkinan besar atau potensinya itu terkonsentrasi hanya di garis ekuator ke utara. Jadi pembedanya, batasnya itu garis ekuator itu," jelas Erma dalam rekaman audio wawancaranya yang diunggah di akun X, Kamis (7/9). Erma sudah mengizinkan CNNIndonesia.com untuk mengutip rekaman suara tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi wilayah di selatan ekuator ini yang minim [hujan] itu dan ini konsisten karena kita sudah melihat dua bulan ini konsisten terus nih, enggak bisa awan ini tertarik ke selatan," imbuhnya.
Menurut Erma ini membuat sejumlah wilayah di pulau Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua masih kerap diguyur hujan, bahkan dengan intensitas lebat. Sementara, sebagian besar wilayah di Pulau Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara masih mengalami kekeringan ekstrem.
"Tapi beda dengan Sumatera yang dekat dengan Laut Cina Selatan, termasuk Kalimantan juga yang kondisinya malah banyak banget hujan di sana karena awan juga sedang marak terbentuk di sana. Ini beda. Karena memang, saya melihat begini, ini adalah fakta ekstrem yang juga harus kita waspadai," ujar dia.
Menurut Erma, fakta ekstrem ini adalah sebagian wilayah di Indonesia bagian utara ekuator bisa mengalami hujan ekstrem atau terus menerus. Sementara, di bagian selatan ekuator mengalami kekeringan ekstrem.
"Kalau kita melintas ke selatan ekuator, yang terjadi sebaliknya, kering terus menerus. Di utara ekuator basah terus menerus. Jadi basah dan kering yang berdampingan sangat dekat ini, itu kan jarang terjadi, itu namanya front, berarti ada massa uap air yang beda banget, yang di utara lembap, di Pulau Jawa kering. Itu ekstrem itu, harusnya kan enggak gitu, harusnya gradual," jelas dia.
Ia menyebutkan bahwa hal itu bisa terjadi karena faktor perubahan iklim.
"Ini fakta dari apa? Efek dari apa? Ya perubahan iklim. Perubahan iklim itu faktanya adalah, ada garis demakarsi yang bernama garis ekuator itu, di mana di utara hujan deras karena lembap banget, sementara ketika masuk laut Jawa itu luar biasa kering, apalagi kondisinya suhu permukaan laut di selatan Jawa itu dingin banget dan meluas. Itu artinya sama sekali awan susah terbentuk," pungkasnya.
(tim/dmi)