Stewart menyebut, "Ketika ketersediaan mangsanya di Arktik rendah dan paus tidak dapat mencapai daerah mencari makan karena es laut, populasi paus abu-abu mengalami guncangan yang cepat dan besar."
Paus abu-abu dengan cepat pulih dari dua kejadian kematian pertama. Namun kematian terbaru sedang berlangsung sejak 2019 telah membawa kita ke "wilayah yang belum dipetakan," kata Stewart.
Berbeda dengan dua peristiwa sebelumnya, hilangnya es laut Arktika dalam sejarah bisa menjadi penyebab kematian paus abu-abu terbaru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini terjadi karena es laut menampung hamparan ganggang di bagian bawahnya, yang membusuk dan menghujani dasar laut dengan makanan bagi penghuni dasar laut, termasuk krustasea yang disukai paus.
"Dengan lebih sedikit es, Anda akan mendapatkan lebih sedikit ganggang, yang berdampak buruk bagi mangsa paus abu-abu," kata Stewart.
Mencairnya es laut juga membuka jalan bagi arus kuat yang menyapu sedimen dan membuat krustasea yang hidup di dasar laut serta makhluk lainnya kehilangan tempat tinggal.
"Semua faktor ini bersatu untuk mengurangi kualitas dan ketersediaan makanan yang diandalkan oleh [paus abu-abu]," katanya.
Stewart mengungkap perubahan iklim, yang merupakan ulah aktivitas manusia seperti penggunaan BBM, bisa jadi salah satu faktor di balik angka kematian paus abu-abu ini berlangsung lebih lama dibanding dua kejadian sebelumnya.
Lihat Juga : |
"Apa yang kami lihat adalah perjalanan yang bergelombang sebagai respons terhadap kondisi laut yang sangat bervariasi dan berubah dengan cepat," lanjutnya.
Meskipun perubahan iklim dapat mengakibatkan berkurangnya makanan bagi paus abu-abu, namun hal ini mungkin tidak akan membuat populasi paus abu-abu di wilayah timur laut Pasifik berada dalam risiko kepunahan.
Namun "Samudra Arktik yang telah menghangat secara signifikan mungkin tidak mampu menampung 25.000 paus abu-abu seperti yang terjadi di masa lalu," ungkap Stewart.