Kemunculan teknologi kecerdasan buatan (AI) diperkirakan bakal memberikan dampak berkurangnya lapangan pekerjaan di masa depan. Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut kondisi ini berpotensi memperbesar ketimpangan.
Oleh karena itu, Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mendorong agar negara-negara membangun jaring pengaman sosial dan menawarkan program pelatihan ulang untuk menangkal dampak AI.
"Dalam sebagian besar skenario, AI kemungkinan akan memperburuk ketimpangan secara keseluruhan, sebuah tren yang meresahkan yang harus diatasi oleh para pembuat kebijakan secara proaktif untuk mencegah teknologi ini semakin memicu konflik sosial," ujar Kristalina, mengutip CNN, Senin (15/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pernyataan tersebut disampaikan jelang pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss. Topik mengenai dampak AI ini juga akan menjadi salah satu agenda utama.
Kristalina mengatakan saat ini AI terus diadaptasi oleh lebih banyak pekerja dan bisnis. Ia beranggapan teknologi AI dapat membantu sekaligus merugikan tenaga kerja manusia,.
Kristalina mengatakan dampak kehadiran AI diperkirakan akan jauh lebih terasa di negara-negara maju dibandingkan dengan negara-negara berkembang, sebagian karena para pekerja kerah putih dianggap lebih berisiko dibandingkan dengan para pekerja kasar.
Ia mengatakan di negara yang lebih maju, misalnya, sebanyak 60 persen pekerjaan dapat terdampak oleh AI. Sekitar setengah dari jumlah tersebut dapat memperoleh manfaat dari bagaimana AI mendorong produktivitas yang lebih tinggi.
"Untuk separuh lainnya, aplikasi AI dapat menjalankan tugas-tugas utama yang saat ini dilakukan oleh manusia, yang dapat menurunkan permintaan tenaga kerja, yang mengarah pada upah yang lebih rendah dan pengurangan perekrutan," kata dia.
"Dalam kasus yang paling ekstrem, beberapa pekerjaan ini mungkin akan hilang," imbuhnya.
Di negara-negara berkembang dan negara-negara miskin, 40 persen dan 26 persen pekerjaan diperkirakan akan terpengaruh oleh AI. Pasar negara berkembang mengacu pada tempat-tempat seperti India dan Brasil dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, sementara negara-negara miskin mengacu pada negara berkembang dengan pendapatan per kapita yang berada di bawah level tertentu seperti Burundi dan Sierra Leone.
"Banyak dari negara-negara ini tidak memiliki infrastruktur atau tenaga kerja terampil untuk memanfaatkan manfaat AI, sehingga meningkatkan risiko bahwa seiring berjalannya waktu, teknologi ini dapat memperburuk ketimpangan," kata Kristalina.
Dia memperingatkan penggunaan AI dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya gejolak sosial, terutama jika pekerja yang lebih muda dan kurang berpengalaman memanfaatkan teknologi ini sebagai cara untuk membantu meningkatkan hasil kerja mereka, sementara pekerja yang lebih senior kesulitan untuk mengikutinya.
AI menjadi topik hangat di WEF di Davos tahun lalu saat ChatGPT menggemparkan dunia. Sensasi chatbot, yang didukung oleh AI generatif, memicu percakapan tentang bagaimana chatbot dapat mengubah cara orang bekerja di seluruh dunia karena kemampuannya untuk menulis esai, pidato, puisi, dan banyak lagi.
Sejak saat itu, peningkatan teknologi telah memperluas penggunaan chatbot dan sistem AI, menjadikannya lebih umum dan mendorong investasi besar-besaran.
Beberapa perusahaan teknologi telah secara langsung menunjuk AI sebagai alasan mereka memikirkan kembali tingkat kepegawaian.
Meskipun tempat kerja dapat berubah, adopsi AI secara luas pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan meningkatkan PDB global sebesar 7 persen per tahun selama periode 10 tahun, menurut perkiraan ekonom Goldman Sachs pada bulan Maret 2023.
Kristalina juga mengutip peluang untuk meningkatkan output dan pendapatan di seluruh dunia dengan penggunaan AI.
"AI akan mengubah ekonomi global. Mari kita pastikan bahwa hal ini bermanfaat bagi umat manusia," pungkasnya.
(tim/dmi)