DEBAT CAWAPRES

Apa itu Carbon Capture yang Disinggung Lagi Gibran dalam Debat?

CNN Indonesia
Senin, 22 Jan 2024 14:50 WIB
Startup Carbix menyimpan karbon ke bawah batuan, akhir 2023. Tema penyimpanan karbon ini kembali disinggung dalam debat. (REUTERS/MARKO DJURICA)
Jakarta, CNN Indonesia --

Disinggung dalam dua kali debat calon wakil presiden, teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) prinsipnya punya misi memangkas pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer. Masalahnya, efektifkah solusi ini?

Masalah carbon capture itu pertama kali disinggung Gibran saat debat cawapres pertama, Jumat (22/12/2023) malam.

"Bagaimana cara membuat regulasi Carbon Capture and Storage?" tanya Gibran ke cawapres nomor urut 3 Mahfud MD.

Ditanya soal cara buat regulasi, Mahfud pun memaparkan soal proses penyusunan perundangan formil. Gibran pun menilai itu tak menjawab pertanyaan.

Istilah ini kembali disinggung dalam debat cawapres kedua, Minggu (21/1) malam.

Awalnya, Mahfud mengaku dirinya tak akan menyampaikan pertanyaan ke Gibran yang "menjebak dan receh." Ia pun menyinggung komitmen Presiden Jokowi, ayahnya Gibran, untuk tak mengimpor komoditas pangan pada Pilpres 2019. Nyatanya, jauh panggang dari api.

Merespons itu, Gibran pun menyindir Mahfud ngambek karena sudah menyampaikan pertanyaan yang sulit saat debat cawapres.

"Sepertinya Prof Mahfud agak ngambek ya soalnya saya sudah dua kali berikan pertanyaan sulit. Carbon capture, greenflation, selalu dikomenin pertanyaan receh. Ya kalau receh dijawab pak, segampang itu," seloroh Gibran.

Mengutip situs Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Carbon Capture and Storage (CCS) merupakan "salah satu teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer."

Teknologi ini merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang terkait satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (flue gas), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage).

Pemisahan dan penangkapan CO2 dilakukan dengan teknologi absorpsi yang sudah cukup lama dikenal oleh kalangan industri. Penangkapan CO2 biasa digunakan dalam proses produksi hidrogen baik pada skala laboratorium maupun komersial.

Pengangkutannya, kata Kementerian ESDM, dilakukan dengan menggunakan pipa atau tanker seperti pengangkut gas pada umumnya (LPG, LNG).

"Penyimpanan dilakukan ke dalam lapisan batuan di bawah permukaan bumi yang dapat menjadi perangkap gas hingga tidak lepas ke atmosfer, atau dapat pula diinjeksikan ke dalam laut pada kedalaman tertentu."

Menurut International Energy Agency (IEA), volume emisi CO2 akibat pembakaran bahan bakar fosil mencapai 56 persen dari total semua emisi global.

Persentase ini berasal dari sekitar 7500 instalasi besar peng-emisi CO2 (large stationary point sources) yang mengemisikan lebih dari 1000.000 ton CO2 setiap tahunnya.

Kajian IEA juga menyimpulkan, dari jumlah tersebut, pembangkit listrik batubara (PLTU) merupakan sumber emisi utama yang mencapai lebih dari 60 persen, PLTG 11 persen, dan PLTD 7 persen. Sementara itu, industri lain menyumbang sekitar 3-7 persen.

"Dengan demikian, untuk dapat mengurangi emisi CO2 dalam jumlah besar adalah logis jika dilakukan pengendalian (penangkapan CO2) yang dihasilkan dalam gas buang dari pembangkit listrik."

"Upaya ini tidak semudah yang dibayangkan mengingat gas buang tersebut pada umumnya memiliki karakteristik bertekanan rendah dan konsentrasi CO2 yang rendah juga, sehingga memerlukan proses tambahan yang membutuhkan energi cukup besar untuk pemisahannya."

Proyek gagal

Manajer Kampanye Tambang dan Energi WALHI, Fanny Tri Jambore melihat bahwa penerapan teknologi tersebut hanya memperkeruh dampak buruk dari penggunaan bahan bakar fosil sebagai penunjang pemanasan global.

"CCS/CCUS tidak lebih adalah solusi palsu dari upaya mencegah pemanasan global dan krisis iklim," kata Fanny Tri saat dihubungi oleh CNNIndonesia.com, Sabtu (23/12).

Lebih lanjut, Fanny Tri memaparkan proyeksi kegagalan dari proyek CCS atau CCUS yang dihimpun oleh hasil riset Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA).

Menurut Fanny Tri, hasil riset IEEFA menunjukkan bahwa dari 13 proyek CCS/CCUS berskala besar di seluruh dunia hanya menghasilkan total 39 juta ton CO2 per tahun.

"Angka ini hanya sekitar 1/10.000 dari total 36 miliar ton emisi yang dibuang ke atmosfer pada tahun 2021," jelas Fanny Tri merangkum temuan IEEFA tersebut.

"IIEFA menunjukkan CCS/CCUS adalah teknologi yang sepanjang sejarahnya gagal mencapai tujuannya, atau gagal memenuhi ekspektasi," ujarnya.

Walhi pun menegaskan bahwa proyek CCS/CCUS sejatinya tidak lagi layak untuk diterapkan, termasuk di Indonesia. Ia pun menyoroti sikap pemerintah Indonesia yang disebutnya bakal tetap menjalankan 16 proyek berbasis CCS/CCUS di bawah mandat Kementerian ESDM.

"Oleh karena itu, tidak boleh ada lagi proyek-proyek hulu migas baru yang akan beroperasi dalam jangka waktu lama, begitu pula dengan pertambangan batu bara baru, perluasan tambang, atau pembangkit listrik tenaga batu bara baru".

Cara Bumi jadi makin panas akibat emisi gas. (CNNIndonesia/Basith Subastian)
(tim/arh)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK