Jakarta, CNN Indonesia --
Sebuah studi terbaru mengungkap air tanah menurun dengan cepat di seluruh dunia. Tanda-tanda dunia bakal mengering?
Hal tersebut terungkap dalam studi yang dilakukan peneliti UC Santa Barbara yang menyajikan analisis mengenai tingkat air tanah di seluruh dunia, mencakup hampir 1.700 akuifer.
"Penelitian ini didorong oleh rasa ingin tahu. Kami ingin lebih memahami kondisi air tanah global dengan melakukan jutaan pengukuran tingkat air tanah," kata salah satu penulis dalam studi tersebut, Debra Perrone yang juga profesor Studi Lingkungan UC Santa Barbara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tim tersebut mengumpulkan data dari catatan nasional dan subnasional serta hasil kerja lembaga-lembaga lain.
Penelitian memakan waktu tiga tahun, dua tahun di antaranya untuk menyortir data. Data tersebut yang diperlukan untuk memahami 300 juta pengukuran ketinggian air dari 1,5 juta sumur selama 100 tahun terakhir.
Para peneliti kemudian menelusuri lebih dari 1.200 publikasi untuk merekonstruksi batas-batas akuifer di wilayah yang diteliti dan mengevaluasi tren permukaan air tanah di 1.693 akuifer.
Temuan tersebut memerikan analisis paling komprehensif tentang tingkat air tanah global hingga saat ini, dan menunjukkan prevalensi penipisan air tanah.
Penelitian ini mengungkap air tanah menurun di 71 persen akuifer. Penipisan ini juga semakin cepat di banyak tempat: tingkat penurunan air tanah pada tahun 1980-an dan 90-an melesat dari tahun 2000 hingga saat ini, mengutip laman resmi University of California Santa Barbara, Senin (29/1).
Penurunan air tanah yang semakin cepat ini terjadi di hampir tiga kali lipat lebih banyak tempat daripada yang para peneliti perkirakan.
Scott Jasechko, profesor di Bren School of Environmental Science & Management yang juga menjadi penulis utama penelitian ini, mengatakan pendalaman air tanah lebih sering terjadi di daerah beriklim kering.
Percepatan penurunan terutama terjadi di lahan kering dan semi-kering yang sedang dibudidayakan.
"[Studi] ini merupakan hal berbeda buat menunjukkan bahwa hal ini (penurunan air tanah) terjadi pada data dunia nyata," kata Jasechko.
Di sisi lain, ada beberapa tempat yang levelnya sudah stabil atau pulih. Penurunan air tanah pada tahun 1980-an dan 90-an berbalik pada 16 persen sistem akuifer yang memiliki data historis. Namun, kasus-kasus ini hanya setengah dari kasus yang diharapkan secara kebetulan.
"Studi ini menunjukkan bahwa manusia dapat membalikkan keadaan dengan upaya yang disengaja dan terkonsentrasi," ujarnya.
 Ancaman global 10 tahun ke depan (Foto: Basith Subastian/CNNIndonesia) |
Menampung air dalam tanah di halaman berikutnya...
Masyarakat, kata peneliti, dapat menghabiskan banyak uang untuk membangun infrastruktur untuk menampung air di dalam tanah.
Jika memiliki kondisi geologi tepat, masyarakat dapat menyimpan air dalam jumlah besar di bawah tanah, yang jauh lebih murah, tidak terlalu mengganggu, dan tidak terlalu berbahaya.
Air tanah yang tersimpan juga dapat bermanfaat bagi ekologi wilayah tersebut.
Bahkan, ketika menyiapkan laporan singkat penelitian pada tahun 2014, Perrone menemukan bahwa pengisian ulang akuifer dapat menyimpan enam kali lebih banyak air per dolar dibandingkan dengan waduk di permukaan.
Menurut Perrone, opsi lainnya adalah fokus mengurangi penggunaan air. Seringkali hal ini melibatkan peraturan, perizinan dan biaya untuk penggunaan air tanah.
Untuk itu, ia saat ini sedang meneliti aturan air di bagian barat AS untuk memahami beragam intervensi ini. Terlepas dari apakah itu berasal dari pasokan atau permintaan, pemulihan akuifer tampaknya membutuhkan intervensi, ungkap penelitian tersebut.
Para penulis melengkapi pengukuran dari sumur pemantauan dengan data dari Gravity Recovery and Climate Experiment (GRACE).
Misi GRACE terdiri dari satelit kembar yang secara tepat mengukur jarak di antara keduanya saat mengorbit Bumi. Dengan cara ini, wahana tersebut mendeteksi fluktuasi kecil dalam gravitasi planet ini, yang dapat mengungkapkan dinamika akuifer pada skala besar.
"Keunggulan GRACE adalah memungkinkan kita untuk mengeksplorasi kondisi air tanah di mana kita tidak memiliki data in-situ," kata Perrone.
"Penilaian kami melengkapi GRACE. Di mana kami memiliki data in-situ, kami dapat mengeksplorasi kondisi air tanah secara lokal, tingkat resolusi yang sangat penting ketika Anda mengelola penipisan."
Resolusi lokal ini sangat penting, seperti yang ditemukan oleh para penulis, karena akuifer yang berdekatan dapat menunjukkan tren yang berbeda.
[Gambas:Photo CNN]
Meski demikian, tren tingkat air tanah tidak memberikan gambaran keseluruhan. Bahkan ketika akuifer tetap stabil, pengambilan air tanah masih dapat memengaruhi aliran dan air permukaan di dekatnya.
Hal ini menyebabkannya bocor ke bawah permukaan, seperti yang dirinci Perrone dan Jasechko dalam makalah lain di jurnal Nature pada 2021.
Para peneliti juga menganalisis variabilitas curah hujan selama empat dekade terakhir untuk 542 akuifer. Mereka menemukan bahwa 90 persen dari akuifer yang mengalami percepatan penurunan berada di tempat yang kondisinya semakin kering selama 40 tahun terakhir.
Tren ini kemungkinan besar telah mengurangi pengisian air tanah dan meningkatkan permintaan. Di sisi lain, variabilitas iklim juga memungkinkan air tanah untuk pulih kembali di tempat yang kondisinya lebih basah.
Perrone dan Jasechko sekarang meneliti bagaimana tingkat air tanah bervariasi dari waktu ke waktu dalam konteks perubahan iklim.
Menghubungkan tingkat perubahan ini dengan kedalaman sumur yang sebenarnya akan memberikan prediksi yang lebih baik soal lokasi akses air tanah yang berisiko.
"Penyusutan air tanah tidak dapat dihindari," tandas Jasechko.
[Gambas:Video CNN]