Peneliti Meteorologi di Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Deni Septiadi mengungkap fenomena angin kencang di sekitar perbatasan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat, merupakan tornado skala kecil.
Sebelumnya, Jatinangor, Rancaekek (Sumedang), hingga Cicalengka (Kabupaten Bandung) dilanda angin kencang yang membuat ratusan rumah rusak, puluhan fasilitas pabrik terdampak, dan sejumlah orang cidera.
Peneliti klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin menyebut fenomena ini merupakan tornado pertama di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Deni mulanya menjelaskan soal kondisi dinamika atmosfer di sekitar Benua Maritim Indonesia (BMI) pekan ini yang sangat aktif.
Indeks stabilitas atmosfer (CAPE/Convective Available Potential Energy) di sekitar Jawa berada di atas 1.000 Joule per kg dengan bentangan awan badai (thunderstorm) memanjang setara skala meso (Meso Convective System/MCS).
Selain itu, katanya, ada Depresi Tropis 'Lincoln' eks siklon yang berada di selatan Jawa atau di Barat Laut Australia.
Deni menuturkan aliran fluida sistem ini di sekitar Laut Jawa bagian selatan bahkan mencapai kecepatan 25-30 km per jam. Aliran ini mengalami amplifikasi oleh angin laut (sea breeze) hingga 80-100 km ke darat.
Lebih rinci, mekanisme Sea Breeze Front (SBF) dengan panjang muka dan intrusinya ke daratan mencapai 20-30 km juga menjadi pemicu wind shear (angin yang berubah arah dan kecepatan dalam tempo singkat) di selatan Jawa bagian barat.
"Aliran ini kemudian dimodulasi oleh topografi atau kekasaran permukaan menjadi 'wind shear' kuat dan bersinergi dengan thunderstorm menghasilkan touch down rotation flow ke permukaan yang disebut sebagai puting beliung (small scale tornado)," tutur Deni, dalam keterangannya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (22/2).
Mengapa small scale tornado?
Deni menjelaskan "secara fisis tidak ada bedanya tornado dan puting beliung."
Sebagai miniatur tornado, lanjutnya, kecepatan rotasi angin, durasi, dan panjang lintasan terdampak puting beliung memang tidak sebesar tornado.
Lihat Juga : |
Kekuatan rotasi puting beliung secara fisis dibatasi oleh vortisitas relatif dengan gaya semu 'Coriolis' (gaya yang membelokkan arus laut dan udara) akibat rotasi Bumi dari barat ke timur.
"Oleh karena itu, kekuatan rotasi yang menjadi ciri perusak 'small tornado' di BMI ini berada pada skala 0 Skala Fujita (
Namun demikian, kata dia, aliran persisten (terus-menerus) rotasi pada puting beliung ini bahkan mampu merubuhkan objek besar di sekitar lintasannya.
"Tentu saja menjadi ancaman bahaya meteorologi," kata dia, yang juga merupakan peneliti Meteorologi di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) ini.
BMKG menyebut tornado dan puting beliung pada prinsipnya sama-sama pusaran atmosfer.
Kekuatan pusaran atmosfer ini, dikutip dari National Weather Service (NWS), terbagi dalam beberapa level yang lazim mengacu pada Skala Fujita.
Skala terendah, F0, yang disebut angin topan/puting beliung (Gale Tornado) punya kecepatan angin 40-72 mil per jam.
F1 atau Tornado Moderat punya kecepatan angin 73-112 mil per jam. Yang teratas adalah F5, yang merupakan Tornado Luar Biasa (Incredible Tornado), dengan kecepatan angin 261-318 mph.
Fenomena terakhir ini, kata Deni, mengingatkan insiden puting beliung di Rancaekek, Bandung, 11 Januari 2019. Saat itu, lebih dari 600 rumah mengalami kerusakan, 82 KK mengungsi dan ditetapkan 7 hari sebagai masa tanggap darurat.
Durasi puting beliung yang berkisar antara 5-10 menit tentu menjadi tantangan bagi para ahli meteorologi untuk menganalisisnya secara lebih mendalam hingga dapat memberikan warning bagi masyarakat.
"Jawa Barat dan sekitarnya, terutama Bandung yang tak ubahnya bagai 'mangkuk' dengan topografi dan kekasaran permukaan beragam akibat pengaruh orografi, menjadi sumber ideal mekanisme pembentukan wind shear," urai dia.
Aliran angin yang melewati pegunungan ini, lanjut Deni, akan berosilasi sinusoidal (berayun secara berulang) menghasilkan gelombang gunung (mountain wave) dan berimbas pada wind shear.
Menurutnya, periode Desember-Januari-Februari (DJF) merupakan fase terkuat aliran Monsun Asia yang membawa banyak uap air ke atas Benua Maritim Indonesia.
"Alih radiatif konvektif yang diinisiasi dari pemanasan permukaan dan peningkatan panas laten di lautan menjadikan wilayah BMI sangat aktif dengan potensi bencana hidrometeorologinya. Ayo wasapada!" tandas dia.
(can/arh)