Mungkinkah Tornado Terjadi di Daerah Khatulistiwa?
Para ahli meteorologi mengungkap tornado atau angin puting beliung tetap bisa terbentuk selama tak menyentuh banget garis khatulistiwa lantaran ada efek Coriolis.
Pertanyaan soal potensi masuknya tornado dengan berbagai skalanya ke kawasan khatulistiwa mengemuka di media sosial usai pernyataan peneliti klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin mengenai tornado pertama di Indonesia.
Keterangannya itu merujuk peristiwa cuaca ekstrem yang mengakibatkan kerusakan banyak rumah dan pabrik di perbatasan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung, kemarin.
Banyak warganet skeptis tornado bisa mampir di Indonesia yang posisinya di khatulistiwa lantaran ada gaya atau efek Coriolis. Benarkah demikian?
Mengutip keterangan Badan Nasional Kelautan dan Atmosfer AS (NOAA), efek Coriolis merujuk pada pembelokan atmosfer ke arah kanan di belahan Bumi utara dan ke kiri di belahan Bumi selatan imbas rotasi atau perputaran planet pada porosnya.
Pembelokan atau defleksi atmosfer ini membentuk pola angin global kompleks yang menggerakkan arus permukaan laut. Defleksi ini disebut efek Coriolis, yang istilahnya diambil dari nama ahli matematika Perancis Gaspard Gustave de Coriolis (1792-1843).
Makin mendekat ke khatulistiwa, gaya ini makin mendekati nol. Sebaliknya, daerah kutub memiliki gaya maksimal.
Jika gaya Coriolis menggerakkan sistem cuaca ke arah tertentu, apakah ini berarti badai tidak dapat melintasi khatulistiwa yang berada di tengah-tengah Bumi?
Gary Barnes, profesor meteorologi di Department of Meteorology University of Hawaii, AS, mengungkap memang tidak ada badai yang terbentuk dalam jarak 5 derajat garis lintang dari khatulistiwa.
Sebagai gambaran, Jakarta punya posisi 6° 12' Lintang Selatan, Kota Bandung 6º 55' LS. Pontianak, Kalbar, yang dilalui garis khatulistiwa, punya posisi lintang 0° 02' 24" Lintang Utara dan 0° 05' 37" LS.
"Jika Anda tidak bisa memutar udara, Anda tidak akan mendapat badai," ujarnya, dikutip dari situs kampus.
Namun, ia membuka potensi badai secara teoritis tetap bisa melintas khatulistiwa jika kekuatannya mendominasi gaya Coriolis.
"Bisakah badai melintas [ekuator]? Ya, karena badai yang berkembang dengan baik memiliki banyak putaran yang akan mendominasi gaya lemah Coriolis di dekatnya (khatulistiwa)."
"Jika badai tersebut melintasi gaya Coriolis, maka gaya tersebut akan bekerja melawan arah awal putarannya, namun gaya tersebut akan didominasi oleh apa yang kita sebut sebagai vortisitas relatif badai," jelas Barnes.
Ia mengungkap secara riil badai dapat bergerak ke selatan dan mendekati garis khatulistiwa. Namun, sejauh pengamatannya, belum ada yang benar-benar menyeberangi garis khatulistiwa.
"Saya tidak dapat menemukan contoh badai yang melintasi Atlantik atau Pasifik bagian timur. Di Samudera Hindia, ada yang hampir melakukan trik ini. Kenapa mereka tidak menyeberang?" ujar dia.
Barnes menjelaskan variasi Coriolis dengan garis lintang, yang disebut efek Beta, sebenarnya akan memindahkan badai ke barat laut di belahan Bumi utara meski tidak ada angin berskala besar yang mendorong badai tersebut.
"Jadi, [efek] Coriolis sepertinya tidak hanya menjadi bahan penting untuk membuat badai, namun juga dapat menarik mereka menjauh dari garis khatulistiwa sehingga membuat peristiwa penyeberangan menjadi sulit untuk dilakukan," jelasnya.
Ahli meteorologi dari National Severe Storms Laboratory milik NOAA, Harold Brooks, menjelaskan gaya Coriolis hanya akan mulai mempengaruhi secara langsung massa pusaran badai jika ukurannya kira-kira tiga kali lebih besar daripada sistem badai supercell yang biasanya menghasilkan tornado.
"Tornado hanya dipengaruhi secara tidak langsung oleh gaya Coriolis," kata dia, dikutip dari Scientific American.
Menurutnya, mayoritas tornado terjadi di 'lorong tornado' di 'Great Plains' di AS. Namun, katanya, fenomena ini sebenarnya dapat terjadi di mana pun di dunia.
Contohnya, Brasil bagian selatan, Argentina bagian timur laut, dan Bangladesh.