Peneliti menemukan cara bagaimana cacing parasit bisa menyusup ke badan melewati kulit tanpa menimbulkan rasa sakit.
Cacing parasit yang ditularkan melalui air dan bernama Schistosoma mansoni ini memiliki cara hidup yang membahayakan. Larvanya menembus kulit inang, merangkak masuk ke dalam ke bagian dalam tubuh inang yang hangat dan lembap, di mana ia dapat tumbuh dan berkembang biak.
Bagian yang mengejutkan adalah penetrasi ini tidak menimbulkan rasa sakit atau gatal, sehingga memungkinkannya untuk masuk tanpa terdeteksi dan menyebabkan schistosomiasis. Schistosomiasis sendiri adalah penyakit parasit kronis yang mempengaruhi ratusan juta orang di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para ilmuwan telah menemukan cara bagaimana cacing kecil ini berhasil menghindari pertahanan tubuh. Cacing ini menghasilkan molekul yang menekan kelas neuron di kulit inang.
Temuan ini disebut dapat mengarah pada pengembangan obat penghilang rasa sakit yang baru dan efektif.
"Jika kita mengidentifikasi dan mengisolasi molekul yang digunakan oleh cacing untuk memblokir aktivasi TRPV1+, hal ini dapat menjadi alternatif baru bagi pengobatan berbasis opioid yang ada saat ini untuk mengurangi rasa sakit," kata ahli imunologi De'Broski Herbert dari Tulane School of Medicine di Amerika Serikat (AS), dikutip dari Science Alert, Selasa (26/8).
Lihat Juga : |
"Molekul yang memblokir TRPV1+ juga dapat dikembangkan menjadi terapi yang mengurangi keparahan penyakit bagi individu yang menderita kondisi peradangan yang menyakitkan," tambahnya.
Neuron TRPV1+ adalah jenis neuron sensorik spesifik yang mengirimkan sinyal seperti panas, perih, dan gatal sebagai sinyal peringatan akan adanya bahaya seperti zat-zat berbahaya, patogen berbahaya, dan alergen.
Kelas sel saraf ini juga berperan dalam memicu respon imun, seperti peradangan yang akan membantu menghalangi larva S. mansoni masuk ke dalam tubuh.
Para peneliti berhipotesis bahwa cacing tersebut mengembangkan kemampuan untuk menekan neuron TRPV1+ sebagai cara untuk meningkatkan peluang keberhasilan infeksi pada inang yang ditargetkan, dan memulai penelitian dengan tikus untuk melihat apakah hipotesis mereka benar.
Dalam penelitianya, mereka menginfeksi kelompok tikus tertentu dengan parasit, dan membiarkan kelompok lain tidak terinfeksi sebagai kontrol.
Masing-masing kelompok diberi huruf, tetapi para peneliti tidak tahu kelompok mana yang terinfeksi. Teknik penelitian yang dikenal sebagai blinding ini membantu memastikan pelaporan hasil yang lebih akurat, dibandingkan dengan hasil yang dapat bias oleh apa yang diharapkan oleh para ilmuwan.
Kelompok yang terinfeksi dan kelompok kontrol kemudian menjalani tes untuk menentukan toleransi rasa sakit mereka. Untuk setiap tikus, satu kaki diletakkan di atas sumber panas yang tidak cukup panas untuk menyebabkan luka bakar akibat paparan singkat, tetapi cukup panas untuk membuat tidak nyaman.
Para peneliti mencatat berapa lama waktu yang dibutuhkan setiap tikus untuk menarik cakarnya.
Kultur neuron dikembangkan dari cairan tulang belakang tikus yang terinfeksi dan tidak terinfeksi, dan capsaicin ditambahkan untuk mempelajari respons imun. Kultur dari kelompok kontrol menunjukkan tanda-tanda respons imun yang jauh lebih kuat daripada kultur dari kelompok yang terinfeksi.
Hasil penelitian yang diterbitkan di The Journal of Immunology menunjukkan bahwa S. mansoni memang menekan neuron yang bertanggung jawab untuk memperingatkan otak akan bahaya dan memunculkan respon imun yang akan melindungi dari invasi.
Meski para peneliti tidak dapat memastikan apakah cara kerjanya sama persis pada manusia, hal ini membuka beberapa kemungkinan untuk penelitian lebih lanjut.
"Mengidentifikasi molekul pada S. mansoni yang memblokir TRPV1+ dapat menjadi dasar untuk pengobatan pencegahan schistosomiasis," kata Herbert.
"Kami membayangkan agen topikal yang mengaktifkan TRPV1+ untuk mencegah infeksi dari air yang terkontaminasi bagi individu yang berisiko tertular S. mansoni," lanjutnya.
(lom/mik)