Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap potensi terjadinya anomali iklim La Nina pada 2024.
Hal itu disampaikan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Bali, Kamis (23/5) lalu. Ia menyebut musim kemarau kali ini berpotensi basah apabila terjadi La Nina.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita belum menyimpulkan seperti itu (akan terjadi La Nina). Ada kecenderungan La Nina meskipun lemah akan terjadi. Tapi itu bisa meleset karena datanya masih kurang, tapi ada tren ke sana," kata Dwikorita.
"Jadi kalau seandainya iya, berarti menjadi basah," imbuh dia.
Saat ini, anomali iklim pemicu kekeringan atau El Nino, berstatus netral alias berakhir setelah terdeteksi setidaknya sejak Juli 2023. Lawannya yang bernama La Nina pun bersiap muncul.
Dalam Ikhtisar Cuaca Harian 22-24 Mei, BMKG mengungkap Indeks NINO 3.4, yang merupakan variabel utama pemantauan El Nino, bernilai +0.35, tidak signifikan terhadap peningkatan hujan di wilayah Indonesia (netral).
El Nino dan La Nina adalah bagian dari El Nino-Southern Oscillation (ENSO). Kedua fenomena ini merupakan pola iklim berulang yang melibatkan perubahan suhu permukaan laut (SST) di Samudera Pasifik tropis bagian tengah dan timur.
El Nino dinyatakan muncul apabila indeks tersebut lebih besar atau sama dengan +0,5.
Sementara itu, La Nina akan muncul ketika indeksnya kurang dari atau sama dengan -0,5. Kondisi di antara angka-angka tersebut menandakan ENSO berstatus netral.
Suhu permukaan laut (SST) di Pasifik tengah dan timur juga terpantau mendingin sejak Desember 2023. Selain itu, turut disertai dengan suhu air di bawah permukaan yang jauh lebih dingin dibandingkan rata-rata.
International Research Institute for Climate and Society (IRI) menyampaikan bahwa La Nina memiliki kemungkinan besar muncul pada Agustus-Oktober 2024 hingga Desember-Februari 2025.
Lembaga di Columbia University, AS, ini menjelaskan bahwa pada periode Mei-Juni-Juli, La Nina berpeluang 7 persen, ENSO Netral 83 persen, dan El Nino 10 persen.
Lalu pada periode Oktober-November Desember, IRI menyebut peluang La Nina 69 persen, Netral 26 persen, El Nino 5 persen.
Dwikorita menyampaikan bahwa pemodelan atau prediksi La Nina dapat dimanfaatkan untuk menghindari kegagalan panen.
"Kalau kita sudah tahu sebelumnya ada La Nina berarti kita sudah bisa memprediksi zona-zona mana yang akan menerima curah hujan melampaui rata-rata normalnya. Itu akan terdeteksi seberapa besar melampauinya," jelas Dwikorita.
Dia mencontohkan prediksi La Nina bisa membantu petani untuk mempersiapkan tanaman-tanaman yang akan ditanam dengan menyesuaikan curah hujannya.
Para petani dapat menghindari tanaman yang tidak cocok dengan curah hujan tinggi. Hal itu dilakukan agar tidak berpotensi gagal panen.
Sejauh ini, beberapa wilayah Indonesia telah diprediksi masuk periode musim kemarau, termasuk Jakarta.
Adapun puncak kemarau, artinyajumlah daerah yang mengalami sedang banyak-banyaknya, diprakirakan terjadi pada Juli dan Agustus.
(pop/pmg)