Jepang, sebagaimana Indonesia, memiliki banyak zona megathrust yang bisa 'pecah' kapan pun hingga memicu gempa besar dan tsunami, seperti yang terjadi pada gempa Nankai pekan lalu. Namun, apakah megathrust di Jepang dan Indonesia saling berkaitan?
Pada Jumat (9/8)pukul 14.42.58 WIB,gempa besar dengan Magnitudo7,1 mengguncang Jepang. Lindu yang memicu tsunami 31 cm tersebut bersumber dari zona megathrust Nankai, yang juga merupakan nama palung, di selatan Jepang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Daryono zona megathrust ini memiliki palung bawah laut sepanjang 800 kilometer yang membentang dari Shizouka di sebelah barat Tokyo hingga ujung selatan Pulau Kyushu.
Palung Nankai memiliki beberapa segmen megathrust. Jika seluruh tepian patahan tersebut tergelincir sekaligus, para ilmuwan Jepang yakin palung tersebut mampu menghasilkan gempa berkekuatan hingga M 9,1.
Jika gempa dahsyat itu terjadi, ia mengungkap kemungkinan tsunami. Pasalnya, setiap gempa besar dan dangkal di zona megathrust akan memicu terjadinya patahan dengan mekanisme naik (thrust fault) yang dapat mengganggu kolom air laut (tsunami).
Namun, ia memastikan bahwa jika gempa dahsyat itu terjadi, hal tersebut tidak akan memberikan efek apa pun terhadap lempeng-lempeng tektonik yang ada di Indonesia.
"Jawabnya, jika terjadi gempa besar di megathrust Nankai, dipastikan deformasi batuan skala besar yang terjadi tidak akan berdampak terhadap sistem lempeng tektonik di wilayah Indonesia karena jaraknya yang sangat jauh," jawab Daryono.
"Dan biasanya dinamika tektonik yang terjadi hanya berskala lokal hingga regional pada sistem tunjaman Nankai."
Eks Ketua Ikatan Alumni Akademi Meteorologi dan Geofisika (IKAMEGA), Subardjo, dalam acara Sarasehan Nasional IKAMEGA pada 2018 mengungkap ada dua megathrust yang mengapit wilayah DKI Jakarta, dan salah satunya bisa pecah kapan saja.
"Berdasarkan segmentasi megathrust pada Peta Gempa Bumi Nasional pada tahun 2017, kita ketahui ada dua megathrust yang dekat dengan Jakarta, yang bisa mempengaruhi kerusakan bangunan atau infrastruktur yang ada di Jakarta," kata Subardjo saat itu.
Kedua megathrust yang mengapit Jakarta itu adalah Megathrust Selat Sunda dan Jawa Tengah bagian barat yang masing-masing memiliki potensi magnitudo 8,7.
Subardjo mengatakan aktivitas Megathrust Jabar-Jateng ini sudah cukup diketahui sejak tahun 2000, dari sejumlah peristiwa gempa, baik gempa Pangandaran, Tasik, dan Lebak.
"Namun demikian, yang jadi kekhawatiran bagi para ilmuwan adalah Megathrust Selat Sunda. Kenapa? Karena megathrust Selat Sunda sepanjang kurang lebih 350-550 kilometer sampai sekarang ada kekosongan gempa atau seismic gap," ujar dia.
Megathrust Selat Sunda punya panjang 280 km, lebar 200 km, dan pergeseran (slip rate) 4 cm per tahun, dan tercatat pernah 'pecah' pada 1699 dan 1780 dengan Magnitudo 8,5.
"Jika terjadi, Megathrust Selat Sunda itu berpotensi gempa dengan 8,7 SR, setara dengan 9.0 Magnitude Moment atau MW. itu setara dengan gempa di Aceh, sehingga akan menimbulkan tsunami," kata Subardjo.
"Tapi yang menjadi kekhawatiran bagi kita adalah bukan tsunaminya, tapi getarannya atau goncangannya, mengingat jarak antara Megathrust Selat Sunda dengan Jakarta itu sekitar 200-250 km, di bawah tanah Jakarta itu adalah tanah endapan atau aluvial yang bisa menimbulkan amplifikasi ataupun besaran besaran amplitudo," lanjut dia.