Dalam laporan Sand and Sustainability tahun 2022, UNEP menyerukan pemantauan yang lebih baik terhadap ekstraksi dan penggunaan pasir. Laporan tersebut juga merekomendasikan untuk menghentikan ekstraksi pasir di pantai dan sistem pasir pantai-dekat pantai yang aktif untuk tujuan menambang pasir sebagai sumber daya dan menetapkan standar internasional tentang ekstraksi pasir di lingkungan laut.
"Skala dampak lingkungan dari kegiatan penambangan dan pengerukan pasir di laut dangkal sangat mengkhawatirkan, termasuk keanekaragaman hayati, kekeruhan air, dan dampak kebisingan terhadap mamalia laut," ujar Pascal Peduzzi, Direktur GRID-Geneva di UNEP.
Tarik-ulur ekspor pasir laut telah berlangsung beberapa tahun terakhir dalam pemerintahan Presiden Jokowi. Pasir menjadi komoditas yang banyak dilirik untuk dijual ke Singapura yang sedang berupaya memperluas wilayahnya dengan reklamasi besar-besaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun dalam 10 tahun terakhir sejumlah negara termasuk Kamboja, Filipina dan Malaysia memutuskan menghentikan ekspor pasir mereka ke negara Singa karena pertimbangan lingkungan.
Peneliti ahli utama bidang oseanografi terapan dan manajemen pesisir pada Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, BRIN Profesor Widodo Setiyo Pranowo berpendapat argumen bahwa hanya sedimen yang diambil tak membuat isu pengerukan material di laut bebas risiko.
Dalam PP 26/2023 bab terkait sedimentasi bisa diinterpretasi sebagai semua material alami mulai dari batu, pasir, lanau, dan lempung. Semua material ini harus diambil pengusaha agar ekosistem laut menjadi lebih sehat. Tetapi yang bernilai ekonomis bagi pengusaha tetap saja sedimen pasirnya.
"Sehingga pertanyaannya adalah seberapa banyak konsentrasi pasir yang bernilai ekonomis diantara seluruh hasil kerukan sedimen?" kata Widodo.
"Untuk mengestimasi volume konsentrasi pasir laut ini diperlukan studi kelayakan berdasarkan survei dan pengukuran, di calon lokasi yang akan dibersihkan," lanjut dia.
Tim valuasi penting terdiri dari ahli geologi, oseanografi, hidro-geologi, teknik pantai, teknologi kelautan, ekologi laut, sosial masyarakat nelayan/pesisir, dan pakar valuasi ekonomi lingkungan.
"Dan bukan sekedar studi kelayakan saja yang diperlukan, namun juga diperlukan studi untuk memprakirakan dampak pentingnya baik negatif maupun positif berdasarkan data-data dari studi kelayakan tersebut," tambahnya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)bersama masyarakat pesisir juga menolak keran ekspor pasir laut setelah 20 tahun ditutup. Salah satu alasannya yakni karena kebijakan tersebut sama sekali tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat pesisir.
Walhi menegaskan kebijakan pertambangan dan ekspor pasir laut ini sebagai kemunduran yang sangat serius dalam tata kelola sumber daya kelautan Indonesia sejak 20 tahun yang lalu.
Menurut Walhi kebijakan itu justru akan menjadi bom waktu atau lebih tepatnya "kiamat sosial ekologis" di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Dampaknya, banyak nelayan yang semakin miskin di kantong-kantong pertambangan pasir laut.
"Pertambangan pasir laut tidak memberikan keuntungan sedikit pun kepada masyarakat pesisir, khususnya nelayan," kata Walhi.
(lom/dmi)