Menyusuri Terumbu Karang di Lautan Kupang

Semilir angin berembus kala matahari mulai menunjukkan wajahnya yang cerah di Kota Kupang pada pagi hari pertama Agustus 2024. Kombinasi itu menciptakan suasana sejuk di Ibu Kota Nusa Tenggara Timur itu.

Waktu menunjukkan pukul 06.15 WITA, menandakan kami bersama tim Konservasi Indonesia harus segera bergegas naik kapal yang sudah menunggu di Pelabuhan Tenau. Pagi itu, kami punya misi untuk menyelam di dua titik di perairan Kupang.

Angin pagi kala itu bertiup cukup kencang dan menciptakan ombak yang membuat kapal kecil di dermaga terombang-ambing. Ada sedikit perasaan was-was sebelum kami menaiki kapal, pasalnya Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi bakal ada angin kencang di wilayah NTT pagi itu.

Menyelam dalam kondisi angin kencang tentu bukan keputusan bijak. Angin merupakan faktor utama yang memengaruhi pergerakan arus permukaan laut. Semakin kencang angin berembus, maka semakin besar pula gaya gesek yang terjadi di permukaan laut dan menciptakan arus deras di bawah air, sehingga proses penyelaman bisa berbahaya.

Beruntung, saat kapal mulai lepas jangkar dan berlayar, deruan angin mulai bersahabat. Ombak di lautan juga cukup tenang yang menandakan kami bisa melanjutkan misi untuk menyelam di dua titik tujuan.

Setelah berlayar kurang lebih sekitar 15-20 menit, kami berhenti di titik pertama penyelaman. Lokasinya cukup dekat dengan dermaga.

Meizani Irmadhiany, Senior Vice President & Executive Chair Konservasi Indonesia, langsung melakukan petualangan bawah laut bersama dua orang penyelam lainnya di perairan Kupang.

Konservasi Indonesia merupakan yayasan nasional yang bertujuan mendukung pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan di Tanah Air, yang dalam kerjanya menggandeng sejumlah pihak, termasuk pemerintah.

Bersama mitra, Konservasi Indonesia merancang dan menghadirkan solusi inovatif berbasis alam serta pendekatan strategis pengelolaan bentang alam dan bentang laut yang terintegrasi dan berkelanjutan.

Penyelaman hari itu dilakukan untuk mengamati lebih dalam ekosistem laut di Kupang, termasuk kondisi terumbu karang, hingga biota laut yang ada di dalamnya.

Setelah hampir satu jam, tim penyelam muncul ke permukaan dan siap kembali menaiki kapal untuk bergeser ke titik penyelaman kedua.

Kapal kemudian melanjutkan pelayaran menuju titik kedua, tepatnya di dekat Pulau Semau. Jaraknya juga tidak terlalu jauh, sekitar 10 menit dari lokasi pertama. Walau terbilang dekat dengan titik pertama, ternyata spot kedua memiliki perbedaan yang sangat jelas. Air lautnya berwarna hijau permata dan lebih jernih, serta cukup dangkal, sehingga secara kasat mata bisa melihat terumbu karang yang menghiasi perairan tersebut.

Tim penyelampun kembali terjun. Durasi penyelaman tak jauh berbeda dari titik pertama. Usai satu jam menyusuri lautan dalam itu, ketiganya muncul di permukaan dengan wajah semringah.

“Kita sudah diving di dua tempat berbeda, yang pertama itu kan lebih dekat ke kota ya tadi, jadi beda banget sama kondisi karang dan bawah laut di tempat kedua,” kata Meizani saat berbincang di atas kapal.

Di titik pertama, meski berjarak ratusan meter dari jalur lalu lintas kapal, terumbu karang di sana terbilang tidak seluruhnya sehat. Meski begitu, area tersebut tampak menjadi tempat andalan para nelayan menempatkan bubu atau kurungan kayu yang ditenggelamkan oleh para nelayan untuk menangkap ikan.

Sementara, di titik kedua, kondisi terumbu karang tampak lebih sehat. Di lokasi penyelaman kedua, tim penyelam sempat menyusuri hingga kedalaman 20 meter. Di sana, kata Meizani, ada banyak terumbu karang besar seperti gorgonians, sea fans, spons coral, dan lainnya.

“Dari situ kita bisa lihat bahwa walaupun kota Kupang sudah berkembang pesat 5-10 tahun belakangan dan aktivitas ekonomi di sekitar lautannya sangat tinggi, ternyata kondisi ekosistem di pesisirnya masih cukup bagus. Karang-karang yang ada di situ dan jenis-jenis ikan pun sepertinya masih cukup terjaga,” ujar Meizani.

Kendati demikian, Ia mengakui bahwa ada alarm bahaya buat karang-karang di perairan Kupang. Hal itu terlihat dari sejumlah karang yang tampak mulai rusak, memutih atau bleaching.

Lembaga Kelautan dan Atmosfer Amerika Serikat (NOAA) mengungkap ada sejumlah faktor yang merusak karang, dan mayoritas karena ulah manusia.

NOAA, dalam laman resminya , mengungkap bahwa aktivitas manusia, atau antropogenik, adalah ancaman utama bagi kelangsungan hidup terumbu karang. Misalnya, polusi, penangkapan ikan berlebihan, praktik penangkapan ikan yang merusak dengan menggunakan peledak atau sianida, mengumpulkan karang hidup untuk akuarium, penambangan karang untuk bahan bangunan, hingga iklim yang kian memanas.

Hal-hal tersebut diperkirakan juga menjadi penyebab rusaknya beberapa kawasan terumbu karang di perairan Kupang. Namun, di luar itu semua, ada juga faktor lain yang menyebabkan karang-karang di Kupang rusak.

Salah satunya ketika Badai Seroja menghantam Kupang pada tahun 2021 lalu. Badai itu ternyata tidak hanya merusak daratan, tapi juga isi perut laut, termasuk ekosistem terumbu karang.

“Di pantai-pantai Kupang, terutama yang lebih terbuka, lebih terekspos, memang banyak sekali terumbu karang yang rusak di waktu terjadinya badai [Seroja] tersebut. Tentunya juga ada aspek yang lain, seperti perubahan iklim. Dengan adanya kenaikan suhu laut yang cukup tinggi, berdampak juga dengan kondisi terumbu karang yang ada di sini,” jelas Meizani.

Imam Fauzi, Kepala Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang, mengakui bahwa Badai Seroja jadi salah satu penyebab kerusakan karang-karang di perairan Kupang, khususnya di kawasan Taman Nasional Perairan Laut Sawu yang berada di antara Pulau Sumba, Pulau Sawu, Pulau Rote, Pulau Timor, dan Pulau Flores.

Imam menjelaskan, data BKKPN menunjukkan kondisi tutupan karang di stasiun pengamatan Pulau Dengka sebelum Badai Seroja tercatat sebesar 22 persen. Namun, setelah badai, tutupan karang menyusut hanya tinggal 0,53 persen.

Seiring berjalannya waktu, karang-karang tersebut mulai pulih secara alami dan tutupan karangnya menjadi 1,07 persen pada tahun 2022 dan 3,80 persen pada 2023.

Tutupan karang adalah istilah yang digunakan untuk mewakili proporsi area yang ditempati oleh karang. Tutupan karang juga bisa menjadi salah satu indikator kondisi kesehatan ekosistem terumbu karang.

“Terus terang [Badai Seroja] membawa dampak yang cukup parah terhadap kondisi ekosistem yang ada, karena dampaknya ternyata cukup ekstrem sekali, cukup merusak ekosistem yang ada termasuk yang di Rote. Jadi banyak karang yang terbalik, rusak, hancur karena dahsyatnya badai tersebut,” kata Imam.

Kerusakan terumbu karang nyatanya tidak hanya berdampak pada ekosistem dan kehidupan di dalam laut. Masyarakat pesisir yang bergantung pada budi daya rumput laut ternyata juga kena ‘getahnya’.

Imam menjelaskan terumbu karang berperan penting dalam menjaga kesehatan ekosistem laut. Ketika terumbu karang rusak atau bahkan mati, maka biota-biota laut yang ada di dalamnya ikut terdampak.

“Jadi memang saya pikir pasti ada keterkaitan ya dengan usaha budi daya rumput laut dengan kondisi ekosistem. Ketika ekosistemnya rusak, otomatis ada tanda tanya ada apa di wilayah perairan,” ujar dia.

“Walaupun kota Kupang ini sudah berkembang sangat pesat 5-10 tahun belakangan ini, ternyata kondisi ekosistem pesisirnya masih cukup bagus dan juga karang-karang yang ada di situ dan jenis-jenis ikan masih cukup terjaga.”

Meizani Irmadhiany

Pasang Surut
Budi daya Rumput Laut

Pagi itu Semmy baru saja memanen hasil rumput lautnya di Pantai Oesina, yang berjarak sekitar 28 kilometer dari kota Kupang. Menggunakan sampan kecil, dia membawa sejumlah rumput laut yang telah ditanam sekitar 40 hari sebelumnya.

Setiap hari Semmy bisa dua hingga tiga kali bolak balik ke 'ladang' untuk mengambil hasil panen rumput laut. Setelahnya, rumput laut hasil panen dikeringkan. Jika cuaca cerah, proses pengeringan cuma memakan waktu tiga sampai empat hari. Namun, saat cuaca sedang tidak bersahabat atau hujan mengguyur, proses pengeringan bisa sampai lima hari, bahkan seminggu.

Budi daya rumput laut di pesisir kupang biasa dilakukan berkelompok. Baik pria dan wanita ikut terlibat dalam prosesnya. Petani pria seperti Semmy biasanya bertugas untuk menanam, merawat, hingga memanen. Sementara, para wanita biasanya terlibat dalam proses pengikatan bibit hingga pengeringan.

Di ujung barat Pulau Timor itu, Semuel Lai alias Semmy sehari-harinya biasa dibantu putrinya tiap kali memanen rumput laut. Hasil panen yang Ia bawa ke daratan kemudian dikeringkan dengan cara dijemur.

Nusa Tenggara Timur memang terkenal sebagai salah satu dari lima provinsi penghasil rumput laut terbesar di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2020 mencatat hasil rumput laut di NTT mencapai 2.158.903 ton. Jumlah itu hanya kalah dari Sulawesi Selatan, provinsi penghasil rumput laut terbesar di Tanah Air, dengan jumlah 2.432.300 ton rumput laut. Kemudian, di posisi ketiga ada provinsi Sulawesi Tengah (921.480 ton), disusul Nusa Tenggara Barat (648.889 ton), dan Kalimantan Utara (523.258 ton).

Semmy mengaku sempat merasakan ‘gurihnya’ usaha budi daya rumput laut di Kupang, yang pertama kali dikenalkan oleh Ibrahim Agustinus Medah, Bupati Kupang periode 1999 hingga 2004 silam.

Saat itu, Ibrahim Medah menyebarkan bibit rumput laut kepada masyarakat pesisir Kupang. Semmy menjadi salah satu penerima bibit rumput laut tersebut, dan menuai hasil yang sangat menggembirakan.

“Kalau mau bilang untuk hasil penghasilan dari rumput laut waktu itu terlalu bangga. Bukan hanya untuk sekolahkan anak, saya bisa beli mobil pick-up,” kata warga Desa Lifuleo itu.

Tahun 2000-2008 menjadi periode emas para petani rumput laut di NTT, termasuk di Kupang. Sekali panen, para petani dapat meraup penghasilan hingga Rp40 jutaan. Dalam setahun, mereka bisa empat atau lima kali panen.

Namun, bulan madu para petani rumput laut itu harus berakhir pada 2009. Tumpahan minyak lapangan Montara milik perusahaan asal Thailand, PTT Exploration and Production (PTTEP) membuat para petani rumput laut meringis. Imbas tragedi tersebut, produksi rumput laut para petani di Laut Timor menukik tajam. Harga rumput laut dari Rp20 ribuan per kilogram, melorot hingga Rp10 ribuan.

“Tahun 2009, itu ada kasus tumpahan minyak Montara. Katong kan petani tidak merasa itu [ada yang salah], tapi oleh karena penelitian dari pihak kabupaten, provinsi, maupun pihak pusat, ternyata laut ini dicemari oleh minyak. Katong mulai menderita dari situ sampai 2015,” aku Melky Bolla, Ketua Kelompok Tani Dale Hitu dari Desa Tablolong.

Selepas pencemaran minyak Montara, para petani rumput laut di Kupang berusaha bangkit. Harga rumput laut perlahan merangkak naik. Namun demikian, menurut Melky, pertumbuhan dan kualitas produksi rumput laut di kawasan tersebut sudah tidak lagi sama.

Katong hanya melihat bahwa pertumbuhan dari rumput ini tidak sama seperti tahun 1999-2008,” ujarnya.

Tumpahan minyak Montara bukan satu-satunya masalah yang petani rumput laut hadapi. Kemunculan hama hingga penyakit ice-ice juga menjadi kendala para petani di laut untuk mendapatkan hasil panen yang memuaskan.

Gejala ice-ice ini biasanya ditandai dengan kemunculan bercak putih pada bagian thalus atau batang dan daun, membuat rumput laut lama-lama kehilangan warna, memutih, dan kemudian patah.

Triana, warga Desa Tablolong yang juga menjadi petani rumput laut, mengatakan bahwa penyakit ice-ice yang menyerang rumput laut saat ini lebih parah dari sebelumnya. Menurut dia, penyakit ice-ice saat ini membuat hampir seluruh bagian rumput laut memutih dan menjadikan hasil panen tidak laku.

“Kalau dulu ice-ice itu masih menyisakan separuh atau sebagian, tapi tahun ini penyakitnya beda. Dia langsung rusak total, jadi bisa sampai tidak dapat panen,” jelas Triana.

Selain faktor-faktor tersebut, harga jual hasil panen rumput laut di Kupang yang mengikuti kebijakan dari pemerintah setempat juga dirasa berdampak pada penghasilan petani.

Pada tahun 2021, misalnya, harga jual per kilo hasil panen rumput laut di Kupang bisa mencapai Rp40.000 per kilogram. Namun, Peraturan Gubernur NTT Nomor 39 Tahun 2022 tentang Tata Niaga Hasil Perikanan yang melarang ekspor rumput laut ke luar NTT membuat harga jual terperosok. Sejak peraturan itu diteken Gubernur NTT saat itu, Victor Bungtilo Laiskodat, harga jual rumput laut turun menjadi kisaran Rp13-15 ribu per kilogram.

Konservasi Indonesia melihat potensi besar dari budi daya rumput laut di NTT, khususnya Kupang. Bahkan, produksi rumput laut di NTT bukan hanya terbesar di dalam negeri, tapi juga secara global dan bisa menentukan rantai pasokan rumput laut di seluruh dunia.

Meizani mengatakan posisi masyarakat pesisir dan budi daya rumput laut berkaitan langsung dengan terumbu karang. Dengan keterkaitan itu, Konservasi Indonesia hadir di NTT untuk membangun ekosistem terumbu karang untuk lebih kuat lagi, yang dampaknya kelak akan dinikmati masyarakat pesisir. “Target utamanya sebenarnya bagaimana masyarakat pesisir maupun pemerintah daerah juga bisa mengembangkan kawasan ini secara berkelanjutan. Jadi, terumbu karang ini dijaga, tapi ada kegiatan ekonomi masyarakat yang langsung dengan ekosistem pembuka dari orang-orang di sini sendiri,” tuturnya.

Berbagai riset yang telah dilakukan Konservasi Indonesia dengan universitas setempat termasuk Universitas Nusa Cendana dan Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, diharapkan dapat menjadi dasar pemerintah nasional ataupun daerah dalam membuat kebijakan dan program yang mendukung masyarakat dan ekosistem. Hal ini merupakan bagian dari upaya mendukung perlindungan ekosistem yang dapat meningkatkan daya produksi masyarakat, sebagai misi besarnya.

Seperti halnya yang baru-baru ini dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat melalui perjanjian pengalihan utang atau debt swap dalam program Tropical Forest and Coral Reef Conservation Act (TFCCA) atau Undang-Undang Konservasi Hutan Tropis dan Terumbu Karang.

Program pengalihan utang untuk perlindungan alam yang ada dalam kerangka TFCCA, akan berfokus pada pelestarian ekosistem terumbu karang di kawasan Sunda Kecil (yang di dalamnya termasuk perairan NTT), Bentang Laut Kepala Burung di Papua, dan juga Laut Banda. Perjanjian ini menyepakati penghapusan utang Indonesia sebesar US$35 juta atau Rp565,53 miliar dan diganti dengan upaya konservasi terumbu karang.

Konservasi Indonesia masuk sebagai Oversight Committee yang berperan dalam menyusun, mengarahkan, dan mengawasi program ini. TFCCA tidak hanya fokus dalam membangun Marine Protected Area (MPA) yang baru, atau meningkatkan kinerja MPA yang sudah ada, tetapi juga berperan dalam pemberdayaan masyarakat, penguatan dan peningkatan kapasitas organisasi konservasi, termasuk staf pemerintah pusat dan daerah yang memiliki tanggung jawab langsung dalam pengelolaan terumbu karang.

Fokus lainnya adalah rehabilitasi terumbu karang dan ekosistem terkait seperti mangrove dan padang lamun. Tentu saja, di dalam ekosistem perairan itu sendiri ada rumput laut, dan beberapa kegiatan budi daya.

“Pengelolaan kawasan bentang laut ini memang penting sekali dan butuh mobilisasi dana lebih banyak lagi. Debt for nature swap menjadi penting karena disitu ada mekanisme mobilisasi pendanaan yang lebih cepat. Sedangkan, salah satu tantangan yang kita hadapi di pengelolaan kawasan konservasi atau di pemberdayaan masyarakat adalah kebutuhan dana yang cukup tinggi,” ungkap Meizani.

Lebih lanjut, dia menegaskan, dalam perjanjian ini Konservasi Indonesia bekerja sebagai mitra pemerintah, bukan sebagai beneficiary atau penerima manfaat. “Beneficiary itu akan ada di tingkatan lokal. Bisa teman-teman di LSM atau di universitas yang menjadi mitra pengelola konservasi terumbu karang dan sistem ekonomi berkelanjutan yang nantinya akan membawa dampak positif terhadap ekosistem terumbu karang itu sendiri,” tuturnya.

Praktik bisnis yang berkelanjutan dan pendanaan konservasi yang inovatif telah dipromosikan oleh Konservasi Indonesia sejak 2022, melalui kerja sama program TeKSI (Terumbu Karang Sehat Indonesia) yang bermitra dengan Conservation International dan didukung oleh GFCR (Global Fund for Coral Reefs).

Liputan ini merupakan bagian kerja sama antara CNN Indonesia dan Konservasi Indonesia.