Jakarta, CNN Indonesia --
Sekelompok ilmuwan sedang mengembangkan vaksin 'kentut sapi' untuk membantu mengatasi masalah krisis iklim. Bagaimana caranya?
Ide ini bermula ketika para pakar menyadari bahwa sapi dapat bertahan hidup hanya dengan makan rumput. Namun, ada harga mahal yang harus dibayar dari keajaiban sapi tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat rumput berfermentasi di dalam rumen - salah satu dari empat kompartemen di dalam perut hewan - secara alami menghasilkan metana, gas rumah kaca yang 28 kali lebih kuat daripada CO2, meskipun umurnya lebih pendek di atmosfer.
Metana tersebut dilepaskan melalui sendawa dan kentut, dan rata-rata, seekor sapi dapat menghasilkan sekitar 200 pon metana per tahun. Gas ini juga dilepaskan melalui kotoran, dan ternak menyumbang sekitar sepertiga dari emisi metana yang dihasilkan manusia, yang secara kolektif bertanggung jawab atas sekitar 30 persen pemanasan global.
Beberapa peternakan yang memberi makan sapi di pekarangan sudah menggunakan bahan tambahan makanan yang membantu mengurangi produksi metana dalam perut sapi, tetapi mereka memiliki kelemahan, seperti kemanjuran yang bervariasi dan kebutuhan untuk terus dipasok, yang sulit dilakukan jika hewan-hewan tersebut bebas berkeliaran.
Pirbright Institute di Inggris, sebuah laboratorium virologi yang berfokus pada ternak, kemudian mencetuskan ide untuk mengembangkan vaksin yang dapat menjadi alternatif mengurasi produk metana dalam perut sapi.
"Daya tarik vaksin sebagai bagian dari solusi adalah karena vaksin merupakan praktik yang sudah diadopsi dengan sangat baik, praktik yang umum, dengan infrastruktur yang sudah mampu melakukannya, dan orang-orang sudah mengetahui manfaat vaksinasi bagi kesehatan hewan secara umum," ujar John Hammond, direktur penelitian di Pirbright Institute, melansir CNN, Senin (10/2).
Upaya internasional ini didukung oleh dana sebesar US$9,4 juta dolar dari Bezos Earth Fund, badan filantropi pendiri Amazon untuk memerangi perubahan iklim. Proyek ini juga melibatkan Royal Veterinary College di Inggris, dan AgResearch, laboratorium inovasi pertanian di Selandia Baru.
"Harapannya adalah vaksin ini akan familiar - akan seperti vaksin lainnya," kata Hammond. "Skenario terbaiknya, ini akan menjadi vaksin dosis tunggal yang akan diterima hewan pada usia yang relatif muda, yang akan terus memberikan efek, dan targetnya adalah pengurangan emisi metana sebesar 30 persen," jelas dia.
Vaksin yang tidak biasa
Hammond mengungkap para ilmuwan telah mengerjakan ide vaksin 'kentut sapi' selama lebih dari satu dekade. Namun, sampai saat ini belum ada hasil yang nyata.
"Sudah ada investasi yang signifikan di berbagai negara untuk mencoba mengembangkan vaksin yang tidak biasa ini, karena vaksin ini tidak selalu untuk kepentingan hewan, tetapi untuk kepentingan emisi yang mungkin dihasilkan oleh hewan tersebut," katanya.
Hammond mengungkap bahwa saat ini belum ada produk vaksin 'kentut sapi', tetapi ada literatur ilmiah yang menunjukkan bahwa vaksin ini bisa dan akan berhasil.
"Agar dapat bekerja, vaksin ini harus menghasilkan antibodi yang mengikat bakteri di dalam rumen yang menghasilkan metana, dan menghentikannya," papar dia.
Namun, ia menambahkan, mengembangkannya merupakan tantangan yang sangat kompleks, karena antibodi - protein yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh setelah menerima vaksin, untuk menyerang zat-zat asing - tidak diketahui bekerja dengan baik di dalam rumen.
Masalah potensial lainnya adalah kesejahteraan hewan, dan meskipun ada harapan bahwa tidak akan ada "efek nol" pada kesehatan mereka, Hammond mengatakan, hal itu belum terbukti.
Mungkin juga ada pengurangan jumlah pakan yang dapat diserap oleh rumen, yang berarti ternak mungkin membutuhkan lebih banyak makanan, sehingga meningkatkan biaya bagi peternak.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan menciptakan "bukti konsep" yang kemudian dapat digunakan untuk mengembangkan obat yang sebenarnya.
Dirk Werling, profesor Imunologi Molekuler di Royal Veterinary College, yang juga bekerja pada proyek ini mengatakan keuntungan utama dari vaksin adalah bahwa ia dapat diberikan kepada anak sapi setelah lahir, mirip dengan vaksin untuk melawan penyakit, yang sudah digunakan.
"Jika kita dapat mengidentifikasi pendekatan vaksin yang sesuai, ini juga bisa berarti bahwa kita berpotensi memvaksinasi induk sapi," Dirk.
"Hal ini akan menghasilkan produksi antibodi yang diteruskan melalui kolostrum (susu pertama yang diproduksi setelah melahirkan). Jadi, ada beberapa cara yang berpotensi untuk menggunakan pertahanan sapi itu sendiri, tetapi semua itu masih harus dilihat," tambahnya.
'Cawan Suci'
Joseph McFadden, profesor Biologi Sapi Perah di Cornell University, yang tidak terlibat dalam proyek ini, mengatakan vaksin untuk melawan emisi metana akan menjadi "semacam cawan suci", karena satu dosis akan mengurangi emisi metana sapi dalam jangka panjang, sehingga lebih mudah diimplementasikan daripada solusi lainnya.
Namun, ia menambahkan, belum ada indikasi pasti bahwa vaksin ini akan berhasil.
"Ini akan membutuhkan waktu, dan banyak hewan, untuk melakukan pekerjaan semacam itu, dan itu tidak akan terjadi dalam semalam," ujar dia.
McFadden mengatakan vaksin hanya salah satu dari sekian banyak solusi untuk menangani masalah ini, yang saat ini mencakup pembiakan selektif, enzim, penyuntingan genetik mikroba yang mengeluarkan metana, dan aditif pakan, yang sejauh ini merupakan yang paling maju saat ini.
Namun, bahan tambahan pakan tidak lepas dari kontroversi. Bukti menunjukkan pemberian pakan rumput laut merah pada sapi dapat mengurangi metana secara dramatis, tetapi ada kekhawatiran tentang bahan aktifnya, bromoform, yang diklasifikasikan sebagai "kemungkinan karsinogen pada manusia" di AS.
Jika sapi memakannya dalam jumlah yang cukup, bahan ini dapat masuk ke dalam susu, namun penelitian hanya mendeteksi bahan ini pada tingkat yang jauh di bawah batas yang dapat diterima oleh manusia.
"Ini menarik karena Anda bisa mendapatkan pengurangan yang luar biasa, 80 atau 90 persen, yang terlihat bagus di atas kertas, tetapi ada juga penurunan asupan pakan, dan beberapa kekhawatiran terbatas terkait kesehatan hewan," kata McFadden.
[Gambas:Photo CNN]
Pada akhir tahun 2024, Bovaer, aditif pakan berbasis nitrat yang tidak mengandung bromoform, menjadi pusat badai media sosial di Inggris setelah Arla, salah satu perusahaan susu terbesar di negara tersebut, mengumumkan bahwa mereka akan mengujicobakannya di beberapa peternakannya.
Meskipun Bovaer telah disetujui untuk digunakan dan dianggap aman untuk sapi, informasi yang salah menyebar secara online tentang potensi residu beracun dalam susu dan efek buruk pada hewan, yang menyebabkan beberapa orang memboikot merek tersebut.
Badan Standar Makanan Inggris diminta untuk menerbitkan sebuah artikel yang menyatakan bahwa "bahan tambahan tersebut dimetabolisme oleh sapi sehingga tidak masuk ke dalam susu."
Namun, reaksi keras tersebut menunjukkan rintangan potensial lain untuk penyebaran vaksin yang sukses, bagaimana menangani informasi yang salah dan penerimaan konsumen.
"Kami tidak siap untuk itu," kata McFadden. "Saya melihat adanya investasi dalam ilmu pengetahuan untuk mendapatkan teknologi, tetapi saya tidak melihat adanya investasi untuk memikirkan bagaimana hal-hal ini, begitu masuk ke pasar, akan diterima oleh konsumen."
Dirk mengatakan bahwa setelah 15 tahun di bidang ini, ia telah belajar bahwa beberapa orang bersedia untuk mendengarkan dan belajar dari data dan hasil, sementara yang lain tidak, dan pendekatan utamanya adalah berkomunikasi secara objektif, mendengarkan argumen, dan menjawab dengan tepat.
"Saya merasa bahwa sejak pandemi, setiap hal hanya dibahas sebagai hitam atau putih, jadi apa pun yang kita temukan akan selalu ada yang mengkritik kita, dan ada juga yang memuji kita," katanya.
"Pada akhirnya, jika pekerjaan yang kami lakukan membantu mengurangi dampak pemanasan global secara keseluruhan, itu - bagi saya pribadi - adalah pekerjaan yang telah dilakukan dengan baik," pungkas dia.