Bulan Juli Harusnya Musim Kemarau, tapi Kenapa Hujan?
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut hujan yang terjadi pada musim kemarau ini disebabkan oleh sejumlah dinamika atmosfer, mulai dari monsun Australia hingga sirkulasi siklonik.
"Jadi sebetulnya yang terjadi kurang lebih beberapa hari yang lalu, adalah adanya dinamika atmosfer, yang terutama dikontrol oleh lemahnya monsun dari Australia, yang harusnya membawa, mengakibatkan musim kemarau," ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam wawancara bersama CNN Indonesia, Selasa (8/7).
"Singkat kata, berbagai fenomena itu berinteraksi, memacu pertemuan awan-awan hujan yang intensif," tambahnya.
Selain monsun Australia, Dwikorita juga menyebut cuaca hujan di kemarau ini dipengaruhi sirkulasi siklonik di sebelah barat Bengkulu, serta pengaruh tidak langsung dari badai tropis di utara Indonesia.
Kemudian, cuaca ini juga disebabkan adanya pertemuan angin dari arah timur, dari bagian selatan Jawa sampai Lombok, serta angin yang bertiup dari barat.
"Zona pertemuan itu berada di zona tadi, Jawa Barat sampai Lombok. Terutama yang efektif itu adalah di Jawa Barat, Jabodetabek, karna ada kontrol sirkulasi siklonik tadi. Dampaknya apa? Mengakibatkan perlambatan dan pembelokan arah angin menuju ke arah utara, dan itu akibatnya memacu pertemuan awan-awan hujan yang sangat intensif," jelas Dwikorita.
Hal ini, katanya, diperparah oleh suhu muka air laut yang masih hangat di wilayah perairan Indonesia.
Fenomena tersebut telah dideteksi BMKG pada 28 Juni lalu, dan membuat mereka mengeluarkan peringatan dini. Pada 4 Juli, peringatan dini serupa dikeluarkan.
Menurut Dwikorita, fenomena ini sudah mulai mereda dan akan bergeser ke Indonesia bagian tengah.
Ia menyebut sirkulasi siklonik yang ada di sebelah barat Bengkulu masih ada, tetapi sudah mulai melemah. Sirkulasi badai tropsi juga sudah sangat berkurang, bahkan sudah tidak berpengaruh lagi.
Dengan demikian, monsun Australia yang membawa udara dingin mulai secara bertahap mengintrusi masuk ke wilayah Indonesia.
"Sehingga diharapkan kondisi hujan lebat ini berangsur-angsur, mulai berkurang besok, dan nanti sekitar tanggal 10 sudah bergeser ke wilayah Indonesia Tengah, seperti di Kalimantan Timur, Sulawesi, dan selanjutnya ke Maluku dan Papua," pungkas Dwikorita.
Sejak Maret 2024, BMKG telah merilis prediksi bahwa awal musim kemarau 2025 akan mengalami kemunduran pada sekitar 29 persen Zona Musim (ZOM), terutama di wilayah Lampung, sebagian besar Pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT.
Berdasarkan pemantauan BMKG hingga akhir Juni 2025, menunjukkan bahwa baru sekitar 30 persen zona musim di Indonesia yang telah memasuki periode musim kemarau.
Angka ini hanya mencapai setengah dari kondisi normal, dimana sekitar 64 persen jumlah zona musim yang secara klimatologis biasanya telah mengalami musim kemarau pada akhir Juni.
Meskipun kondisi iklim global saat ini menunjukkan bahwa ENSO dan IOD berada dalam fase netral dan diperkirakan akan tetap netral hingga akhir tahun 2025, anomali curah hujan yang telah terjadi sejak Mei diperkirakan akan terus berlangsung hingga Oktober 2025.
(lom/mik)