Punya Citra Futuristik, Kenapa Jepang Tertinggal dalam Digitalisasi?

CNN Indonesia
Sabtu, 19 Jul 2025 11:00 WIB
Meski dikenal futuristik, Jepang ternyata tertinggal dalam adopsi teknologi digital. Serangan siber yang meningkat menunjukkan kerentanan.
Ilustrasi. Setelah pandemi Jepang baru dipaksa untuk menghadapi kekurangan digitalnya. (Foto: iStockphoto/Blue Planet Studio)

Setelah pandemi Jepang baru dipaksa untuk menghadapi kekurangan digitalnya. Menurut sebuah studi pada 2019, hanya 7,5 persen dari hampir 56.000 prosedur administratif yang dapat dilakukan sepenuhnya secara online.

Meski pekerjaan jarak jauh menekankan kebutuhan untuk memindahkan proses pemerintahan dan bisnis secara online, transisi di negara ini tidak berjalan mulus.

Salah satu simbol lambatnya digitalisasi Jepang adalah "hanko", stempel pribadi yang digunakan sebagai pengganti tanda tangan untuk banyak transaksi di bidang perbankan, real estat, dan dokumen perusahaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selama pandemi, hampir 60 persen orang yang bekerja dari rumah harus kembali ke kantor setidaknya setiap minggu, terutama untuk mengurus dokumen dan stempel dokumen.

Meskipun pemerintah telah menghapus persyaratan "hanko" dari sekitar 14.700 prosedur pada 2020, persyaratan tersebut tetap berlaku untuk 83 prosedur, seperti pendaftaran kendaraan dan perusahaan.

Para ahli mengatakan bahwa keengganan untuk melakukan modernisasi adalah bagian dari budaya. Orang Jepang memiliki prinsip yang cukup kuat dalam hal "menghindari ketidakpastian", yang berarti mereka cenderung memilih sistem yang stabil dan telah teruji daripada sistem yang baru.

"Sepertinya ada budaya tradisional di Jepang untuk mempertahankan sebuah sistem untuk waktu yang lama. Dalam istilah IT, hal ini disebut sistem warisan," kata Nawa.

Masyarakat Jepang yang semakin menua juga berperan dalam lambatnya digitalisasi. Hampir tiga dari 10 orang berusia di atas 65 tahun, dan sebuah studi pada 2021 menemukan bahwa hampir sepertiga orang Jepang yang berusia 50 hingga 79 tahun tidak antusias dengan digitalisasi.

Namun, kaum muda juga tidak menjadi pendorong perubahan.

"Banyak anak muda yang memilih opsi yang lebih mudah, [dengan] mengikuti budaya Jepang lawas dan cara-cara lama," tutur Nawa.

Sebagai contoh, seorang penerjemah bernama Yuriko mencoba memperbarui alamatnya melalui portal My Number milik pemerintah, dan ia merasa kewalahan.

"Jika saya mencari dan mengunduh formulir sendiri, bagaimana jika saya salah mengisi formulir?" katanya.

"Datang langsung ke kantor pemerintahan masih merupakan pilihan tercepat," lanjutnya.

Pada kalangan usaha kecil dan menengah (UKM) yang mencakup lebih dari 99 persen perusahaan di Jepang, laju digitalisasi juga bergerak sangat pelan.

Menurut Japan Institute for Promotion of Digital Economy and Community, hampir seperempat perusahaan dengan jumlah karyawan di bawah 300 orang mengatakan bahwa mereka belum mulai mendigitalkan proses kerja.

Data Badan Promosi Teknologi Informasi Jepang menyatakan dalam buku putih tahun 2023 bahwa enam dari 10 UKM dengan kurang dari 100 karyawan tidak memiliki tim yang didedikasikan untuk transformasi digital.

Selain itu, sekitar setengah dari perusahaan Jepang tidak membahas strategi keamanan siber di tingkat eksekutif. Banyak perusahaan memprioritaskan operasi sehari-hari di atas risiko IT.

"Hal ini dapat dikaitkan dengan fakta bahwa (manajemen) tidak merasakan adanya krisis mengenai hal ini, atau mereka tidak memahami IT," ujar Nawa.

(lom/dmi)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER