KRISIS IKLIM

Bumi Makin Gawat, Tandanya Muncul dari Hutan Amazon

CNN Indonesia
Senin, 18 Agu 2025 10:00 WIB
Peneliti memperingatkan bahwa hutan Amazon berisiko menghilang dalam 100 tahun akibat perubahan iklim dan deforestasi, berpotensi berubah menjadi sabana kering.
Peneliti memperingatkan bahwa hutan Amazon berisiko menghilang dalam 100 tahun akibat perubahan iklim dan deforestasi, berpotensi berubah menjadi sabana kering. (Foto: CNN Indonesia/Dewi Safitri)
Jakarta, CNN Indonesia --

Peneliti memperingatkan kondisi hutan Amazon yang semakin memburuk, bahkan kemungkinan menghilang dalam 100 tahun mendatang. Kondisi gawat ini disebut akibat perubahan iklim dan deforestasi yang tengah terjadi.

Para peneliti memperingatkan kondisi Amazon bisa semakin parah, dan bahkan bisa mengubah hutan hujan yang rimbun menjadi sabana yang kering dalam waktu satu abad.

Pergeseran besar-besaran ini disebut dipicu oleh kombinasi perubahan iklim dan deforestasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Amazon adalah hutan hujan tropis terbesar di dunia, dengan luas lebih dari 6 juta kilometer persegi dan menjadi rumah bagi 10 persen spesies tanaman dan hewan di dunia.

World Wide Fund (WWF) memperkirakan bahwa Amazon mengandung 99 miliar hingga 154 miliar ton (90 miliar hingga 140 miliar metrik ton) karbon dan menerima lebih dari 180 sentimeter hujan setiap tahunnya.

Dengan demikian, hutan ini merupakan komponen kunci dari siklus air dan karbon global, yang mengatur iklim.

Dalam satu abad terakhir, hutan hujan seperti Amazon telah menjadi semakin rentan terhadap kerusakan imbas kekeringan dan kebakaran hutan, yang disebabkan oleh perubahan iklim dan deforestasi yang meluas.

Global Forest Review dari World Resources Institute memperkirakan Amazon di Brasil kehilangan hutan seluas 28.000 km persegi pada 2024. Area tersebut kira-kira seluas Massachusetts, Amerika Serikat (AS).

Meski beberapa ilmuwan memperkirakan perubahan hutan hujan menjadi padang rumput kering, tetapi ada beberapa peneliti lain yang tidak setuju.

Dalam sebuah studi baru yang diterbitkan pada 1 Agustus di jurnal Geophysical Research Letters, para ilmuwan meninjau kembali masa depan Amazon yang tidak pasti.

"Kami cukup yakin bahwa pergeseran seperti itu mungkin terjadi," kata salah satu penulis studi tersebut, Andrew Friend, seorang profesor ilmu sistem bumi di University of Cambridge.

"Pertanyaannya adalah sejauh mana perubahan iklim dan/atau deforestasi akan menyebabkan sistem berubah," kata Friend, dikutip dari Live Science.

Dengan menggunakan model komputer, tim peneliti menguji bagaimana hutan hujan Amazon akan merespons dampak gabungan dari perubahan iklim dan deforestasi.

Mereka menggunakan apa yang dikenal sebagai "model kolom tunggal," yang dalam hal ini hanya mensimulasikan satu lokasi rata-rata di dalam cekungan Amazon untuk mewakili seluruh area yang dialiri Sungai Amazon dan anak-anak sungainya.

Jenis model ini dapat menangkap beberapa kompleksitas model iklim global 3D, tetapi tidak memperhitungkan bagaimana kelembaban dan curah hujan dapat berubah di berbagai wilayah cekungan.

Berdasarkan hasil model, para peneliti mengidentifikasi tiga titik kritis dalam sistem Amazon, yakni penurunan tutupan hutan sebesar 65 persen, penurunan kelembapan yang berasal dari Samudra Atlantik sebesar 10 persen, atau penurunan curah hujan sebesar 6 persen.

Di luar ambang batas tersebut, perubahan kecil pada iklim atau tutupan hutan di wilayah tersebut dapat mendorong hutan ke ambang batas, mengubah ekosistem menjadi padang rumput.

Inti dari perubahan ini adalah lingkaran antara tanah, vegetasi, dan kelembapan di atmosfer.

Pohon mengambil air dari tanah melalui akarnya dan melepaskan uap air ke atmosfer melalui daunnya, melalui penguapan dan transpirasi. Uap air tersebut mengembun di atmosfer dan membentuk hujan. Air hujan meresap ke dalam tanah, di mana pohon-pohon dapat mengaksesnya. Dan siklus ini terus berlanjut.

Friend menjelaskan bahwa dengan berkurangnya jumlah pohon, evapotranspirasi dan curah hujan akan berkurang, sehingga mengeringkan hutan dan pada akhirnya berubah menjadi sabana.

"Perubahan ini dapat disebabkan oleh deforestasi, tetapi perubahan iklim juga dapat menyebabkannya, yang mengubah jumlah total air yang masuk ke dalam cekungan dari Samudera Atlantik," katanya.

Tim peneliti mengakui bahwa salah satu keterbatasan model mereka adalah ketidakmampuannya untuk menyelesaikan perbedaan spasial di seluruh cekungan karena model tersebut hanya berfokus pada satu titik.

(lom/dmi)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER