Antropolog politik komparatif University of Amsterdam Ward Berenschot menyebut fenomena pendengung atau buzzer di dunia maya telah menjadi suatu industri di Indonesia.
"Kami sudah sekitar lima tahun melakukan riset tentang fenomena kejahatan siber di Indonesia," kata Ward saat workshop yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jumat (22/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Riset dilakukan dengan mewawancarai orang-orang dengan 'profesi' buzzer, mengerti bagaimana cara kerjanya, serta dari mana uang yang digunakan untuk membiayai berasal.
"Temuannya memang [buzzer] menjadi industri karena justru banyak elite politik, elite bisnis yang mendanai tentara siber tersebut untuk memengaruhi opini publik di media sosial," tambahnya.
Ia berharap agar hasil penelitian tersebut bisa meningkatkan kesadaran masyarakat tentang fenomena buzzer. Menurutnya, pemerintah Indonesia juga harus membuat kebijakan untuk menghentikan fenomena tersebut.
"Pemilik suatu akun media sosial harus jujur ketika unggahannya dibayar, harus transparan," katanya.
Sementara itu, Wakil Rektor (Warek) IV Undip Semarang Wijayanto mengatakan, alasan penelitian tersebut dilakukan di Indonesia adalah karena negara ini menjadi salah satu pengguna media sosial terbesar. Adanya praktik pemilihan langsung juga jadi alasan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, menurut dia, diperoleh kesimpulan tentang perlunya peningkatan literasi digital, etika politik, serta transparansi platform digital.
"Kita harus membantu memastikan ruang publik bebas dari kabar bohong dan tidak mudah dimanipulasi," katanya.
(antara/asr)