Konsekuensi langsung dari konflik ular-manusia yang makin tinggi adalah penyediaan anti bisa ular (ABU). Dalam kasus tujuh warga Baduy yang meninggal dunia, mereka tak mendapat suntikan ABU.
Sebagian tak segera dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat, sebagian lainnya karena stok ABU untuk ular tanah sedang kosong di Kabupaten Lebak.
"Data kami menyediakan informasi mendasar bagi pemerintah Indonesia untuk menginformasikan program mitigasi konflik manusia-ular ini. Termasuk upaya penyediaan antibisanya," tambah Prof Amir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pandangan senada disampaikan Dr Maharani. Saat menjadi pembicara dalam sebuah sesi daring dengan para praktisi toksikologi di Indonesia Agustus lalu, ia mengatakan penting untuk fokus pada produksi antivenom.
"Ketika populasi ular segitu banyaknya, populasi manusia juga segitu banyaknya, maka kita harus fokus mana yang perlu diprioritaskan. Fokus di sini adalah mencari tahu jenis ularnya apa sehingga diketahui karakter bisanya seperti apa. Meskipun ada 70 (spesies ular) yang berbisa, kan tidak semuanya menggigit. Jadi fokus pada yang banyak kasus gigitannya," kata Maharini.
WHO menyebut gigitan ular sebagai wabah penyakit yang diabaikan saking kecilnya perhatian dunia terhadap isu ini. Badan Kesehatan Dunia itu menyerukan agar riset dan produksi antibisa digalakkan sebagai satu-satunya obat yang dapat menyelamatkan korban dari kematian atau cacat permanen.
Produksi antibisa di Indonesia dilakukan oleh PT Bio Farma dalam jumlah sangat terbatas.
Data tahun 2019 menyebut kemampuan produksi produk antibisa Biosave baru mencapai 40 ribu ampul - sangat jauh dibandingkan dengan kebutuhan yang mencapai ratusan ribu kasus. ABU produksi lokal ini hanya mampu menetralisir bisa dari tiga jenis ular yaitu kobra Jawa, welang (Bungarus fasciatus), dan ular tanah.
Gigitan ular berbisa lain harus diatasi dengan antibisa yang diimpor dari Thailand atau Australia. Namun Kementerian Kesehatan menurut Maharani sudah berkomitmen mempercepat produksi antibisa untuk jenis ular hijau (green viper), yang juga sering makan korban dan belum diproduksi antibisanya di Indonesia.
"Tidak benar kita tidak punya riset untuk produksi antibisa ini. Biofarma sudah bersedia mengembangkan riset mereka untuk produksi antibisa green viper ini. Kemenkes juga sudah memberi lampu hijau agar produksi antibisa dapat dilakukan oleh pihak swasta. Dalam hal ini, Biotis Pharmaceutical sudah menyatakan bersedia turut serta dalam men-develop antibisanya," kata Maharani.
Di antara berbagai varian antibisa ular, saat ini masih banyak ular berbisa yang belum ada penawarnya. Misalnya ular putih (Micropechis ikaheka), ular endemik Papua yang sangat berbisa, namun belum tersedia serum penawar spesifiknya.
Contoh lainnya adalah serta Death adder (Acanthopis spp) yang antibisanya harus diimpor dari Australia. Akibatnya korban gigitannya sering tak dapat ditolong.
(vws)