Teknologi kecerdasan buatan (AI) tak hanya dimanfaatkan untuk produktivitas, tetapi juga oleh penjahat siber yang menjadi sisi gelap teknologi ini. AI bahkan bisa mempersingkat pembuatan ransomware dari semula 9 hari menjadi hanya 15 menit.
"Untuk bad actor develop satu ransomware, 3-4 tahun yang lalu butuh 9 hari. Namun kita lihat di saat ini, hanya butuh 15 menit," ujar Adi Rusli, Country Manager Indonesia, Palo Alto Networks dalam sesi Media Roundtable bersama Virtus di Jakarta, Rabu (1/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adi memaparkan 4 tahun lalu penjahat siber membutuhkan 9 hari untuk membuat satu ransomware. Kini mereka membutuhkan waktu 3 jam, dan diproyeksikan akan menjadi hanya 15 menit mulai 2026 mendatang.
Kemudian, ia juga mengatakan penjahat siber biasanya membutuhkan 9 hari untuk menyusup ke sistem dan mencuri data. Kini, mereka hanya membutuhkan waktu satu hari, dan diproyeksikan akan menjadi hanya 20 menit mulai 2026 mendatang.
Adi juga menjelaskan bagaimana beberapa tahun lalu penjahat siber membutuhkan waktu 9 minggu untuk mengeksploitasi kerentanan. Kini, mereka hanya memerlukan waktu satu hari, dan diproyeksikan akan menjadi kurang dari 60 menit.
Pemanfaatan AI oleh penjahat siber tak hanya berkutat dari kecepatan serangan, tetapi juga variasi serangan. Adi mengatakan saat ini 70 persen insiden siber menyerang tiga atau lebih titik serangan.
"70 persen dari insiden siber itu attack bukan hanya satu entry, misalkan end point, tablet, mobile phone, smartphone, atau TV. Tapi dari tiga, minimum tiga attack surface yang di attack," jelasnya.
Menurut Adi, hal ini menjelaskan bagaimana AI membuka peluang besar, bukan hanya untuk tujuan produktivitas tetapi juga penjahat siber.
Maka dari itu, penggunaan AI harus diimbangi dengan strategi keamanan modern berbasis Zero Trust untuk menghadapi ancaman siber yang semakin kompleks.
Salah satu yang menjadi elemen penting dalam keamanan teknologi di era AI adalah sisi infrastruktur. Kesiapan infrastruktur kini menjadi faktor krusial yang menentukan apakah AI dapat mendongkrak produktivitas atau justru menghadirkan risiko baru.
"Banyak organisasi sudah memahami potensi AI, tetapi yang perlu diperhatikan sejak awal adalah menyiapkan fondasi infrastruktur yang kuat. Mulai dari sisi data, keamanan, maupun komputasi agar dampak nilai bisnis AI bisa dioptimalkan," tutur Christian Atmadjaja, Direktur Virtus Technology Indonesia.
"Kesiapan infrastruktur tidak berarti perusahaan harus membangun segalanya sekaligus. Yang penting adalah menyiapkan fondasi yang scalable dan fleksibel untuk dapat mengikuti dinamika perkembangan AI," tambahnya.
Lebih lanjut, berdasarkan Global AI Index 2024, Indonesia menempati peringkat 49 dari 83 negara, dengan kelemahan utama pada aspek infrastruktur nasional, mulai dari daya komputasi, konektivitas, hingga pusat data yang menjadi fondasi penting pemanfaatan AI.
Kondisi ini menegaskan urgensi bagi perusahaan untuk tidak hanya memahami potensi AI, tetapi juga menyiapkan infrastruktur IT internal yang tangguh, sehingga mampu menjembatani kesenjangan tersebut dan memastikan adopsi AI berjalan aman, efisien, dan produktif.
(lom/dmi)