1 Dekade Perjanjian Paris, Sejauh Apa Dunia dari Target 1,5 Celsius?

CNN Indonesia
Minggu, 16 Nov 2025 09:10 WIB
Perjanjian Paris merayakan 10 tahun upaya menekan pemanasan global. Dunia masih berjuang untuk mencapai target 1,5 derajat Celcius meski tantangan besar.
Ilustrasi. Perjanjian Paris merayakan 10 tahun upaya menekan pemanasan global. Dunia masih berjuang untuk mencapai target 1,5 derajat Celcius meski tantangan besar. (Foto: REUTERS/Bhawika Chhabra)
Jakarta, CNN Indonesia --

Perjanjian Paris merayakan hari jadinya yang ke-10 dalam misi menekan pemanasan global tak lebih dari 1,5 derajat Celcius dibandingkan periode pra-industri. Meski tak berjalan mulus, misi ini terus diupayakan.

Sekelompok negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, yang menyebut diri mereka Koalisi Ambisi Tinggi, bersatu untuk mendorong target Perjanjian Paris.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada COP 2015 di Paris, para delegasi melanjutkan tema yang berima dengan mengenakan pin yang bertuliskan, "1,5 untuk bertahan hidup," sebagai referensi terhadap ancaman eksistensial yang ditimbulkan oleh pemanasan global, terutama bagi wilayah-wilayah rendah yang terendam banjir akibat mencairnya es dan naiknya permukaan laut.

Misi 1,5 derajat Celcius tersebut, seperti yang kita ketahui sekarang, hampir pasti tidak tercapai. Kita sudah melewati batas tersebut atau menuju ke arah sana.

Setiap ton polusi yang menangkap panas membuat dunia menjadi lebih berbahaya. Sebaliknya, setiap ton polusi yang dikurangi membuat dunia menjadi lebih aman bagi generasi mendatang.

Meski upaya-upaya yang dilakukan belum memberikan hasil yang sesuai harapan, tetapi yang perjalanan memerangi perubahan iklim ini bukan tidak berprogres.

"Kita telah menempuh perjalanan yang luar biasa jauh sejak Paris," kata Jean Su, direktur keadilan energi dan pengacara senior di Center for Biological Diversity, Minggu (9/11), dikutip dari CNN.

Menurut Su yang patut dicatat adalah fakta bahwa pemimpin dunia pada COP 2023 di Dubai menambahkan ke dalam Perjanjian Paris yang menyerukan untuk beralih dari bahan bakar fosil.

Dalam pertemuan tersebut, Su mengatakan "kita benar-benar mencapai puncak dalam hal menangani akar penyebab darurat iklim."

Perang melawan perubahan iklim menjadi urgensi global karena dampaknya yang sudah semakin mengancam. Beberapa kejadian seperti badai besar yang melanda Puerto Rico pada 2017 hingga Jamaika pada Oktober ini, menunjukkan badai Atlantik terkuat yang pernah tercatat.

Memalingkan wajah dari fakta tersebut, pada musim gugur ini, Presiden AS Donald Trump menentang konsensus ilmiah tentang pemanasan global dengan menyatakan bahwa perubahan iklim adalah "penipuan terbesar yang pernah dilakukan terhadap dunia."

Pernyataan tersebut dilontarkan Trump setelah membatalkan miliaran dolar untuk proyek energi bersih dan berencana membuka wilayah luas di Arktik untuk penambangan minyak.

Ironisnya, langkah Trump tersebut terjadi ketika para ilmuwan menyadari bahwa mereka telah meremehkan beberapa ancaman perubahan iklim.

Sebagai contoh, bulan lalu para peneliti melaporkan bahwa Bumi telah melewati salah satu titik kritis iklim pertamanya, dengan persentase yang sangat besar dari terumbu karang mengalami kesulitan akibat pemanasan global, sehingga kita memasuki "kenyataan baru" di mana terumbu karang tersebut tidak akan dapat pulih.

Meski Trump menganggap perubahan iklim sebagai penipuan, bukan berarti seluruh dunia setuju.

Henn, aktivis iklim, menyoroti energi terbarukan sebagai titik terang. Pada paruh pertama 2025, energi terbarukan untuk pertama kalinya menggeser batu bara sebagai sumber energi utama dunia.

Tenaga angin dan surya, yang tidak menghasilkan polusi penangkap panas seperti batu bara dan gas, diperkirakan akan memenuhi 90 persen permintaan listrik baru tahun ini.

"Transisi ini berlangsung lebih cepat dari yang diperkirakan orang pada tahun 2015," kata Henn.

Menurut lembaga nirlaba Energy and Climate Intelligence Unit, pertumbuhan ini bahkan 15 kali lebih cepat, jika kita melihat instalasi tenaga surya.

Sementara itu, dalam sebuah survey pada 2024, pandangan publik terhadap isu ini menunjukkan 89 persen responden global mendukung tindakan politik yang lebih kuat dalam menangani perubahan iklim.

"Itu adalah mayoritas super," kata Mark Hertsgaard, direktur eksekutif Covering Climate Now, kelompok di balik kolaborasi media yang disebut 89 Percent Project.

"Dan itu adalah mayoritas yang tidak menyadari bahwa mereka adalah mayoritas. Orang-orang dalam mayoritas itu berpikir bahwa mereka hanya 29 persen dari populasi. Mereka berpikir mereka adalah minoritas," tambahnya.

Dukungan tersebut bahkan datang dari AS dengan 79 persen pemilih terdaftar yang disurvei pada Mei 2025 mengatakan mereka mendukung Amerika Serikat menjadi bagian dari Perjanjian Paris, dan 75 persen mendukung regulasi karbon dioksida sebagai polutan.

Para aktivis iklim sedang merencanakan upaya baru untuk memanfaatkan mayoritas super ini, di antaranya adalah dorongan untuk Perjanjian Nonproliferasi Bahan Bakar Fosil.

Alex Rafalowicz, direktur eksekutif inisiatif tersebut, mengatakan bahwa ide perjanjian ini didasarkan pada putusan Mahkamah Internasional pada awal tahun ini yang menyatakan negara-negara secara hukum bertanggung jawab untuk mengurangi polusi yang memicu pemanasan global.

(lom/dmi)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER