Pendiri Tesla dan SpaceX, Elon Musk, melontarkan sindiran tajam terhadap perlombaan global membangun reaktor fusi nuklir atau yang biasa disebut sebagai 'Matahari buatan' atau 'Matahari KW'.
Dalam unggahan terbarunya di platform X, Musk menyebut Matahari sebagai reaktor fusi raksasa dan gratis di langit. Ia juga menilai upaya menciptakan versi kecilnya di Bumi sebagai tindakan yang sangat bodoh dan buang-buang duit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Matahari adalah reaktor fusi raksasa yang bebas di langit. Sangat bodoh untuk membuat reaktor fusi kecil di Bumi," kata Musk dalam cuitannya, Senin (15/12).
Menurut Musk, bahkan jika empat planet seukuran Jupiter "dibakar", kontribusi energinya tetap nyaris tak berarti dibandingkan total energi yang dihasilkan Matahari sepanjang umur tata surya.
"Sekalipun kamu membakar 4 Jupiter, Matahari tetap akan menghasilkan hampir 100 persen dari seluruh energi yang akan pernah dihasilkan di Tata Surya!" ujar dia.
Musk, yang merupakan orang terkaya di dunia dengan harta mencapai lebih dari Rp8.400 triliun, menegaskan bahwa pengembangan reaktor fusi skala kecil hanya masuk akal bila secara jujur diakui sebagai proyek sains eksperimental, bukan solusi energi praktis.
"Berhenti membuang-buang uang untuk reaktor-reaktor kecil yang tidak berguna, kecuali jika Anda secara aktif mengakui bahwa mereka hanya ada untuk proyek sains kesayangan Anda," ujar dia.
Pernyataan ini muncul di tengah memanasnya persaingan global dalam pengembangan energi fusi, teknologi yang selama puluhan tahun digadang-gadang sebagai sumber listrik bersih masa depan, namun terus menghadapi tantangan teknis dan pembengkakan biaya.
Lanskap energi fusi global memang menunjukkan akselerasi. Publikasi Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) bertajuk World Fusion Outlook 2025 mencatat bahwa riset fusi telah bergeser dari sekadar eksperimen ilmiah menjadi prioritas strategis nasional di banyak negara.
Saat ini, lebih dari 160 fasilitas fusi beroperasi, dibangun, atau direncanakan di seluruh dunia. Investasi swasta global di sektor ini bahkan telah melampaui US$10 miliar (Rp166,34 triliun), didorong oleh dana kekayaan negara, korporasi besar, dan pengguna energi.
Publikasi IAEA berjudul "World Fusion Outlook 2025" menyoroti perkembangan global utama dalam bidang energi fusi. ITER, eksperimen fusi terbesar di dunia, tetap menjadi upaya internasional utama yang mendorong kemajuan ilmiah dan teknis.
Sebanyak 33 negara dan ribuan insinyur serta ilmuwan bekerja sama untuk membangun dan mengoperasikan perangkat fusi magnetik bernama Tokamak, yang dirancang untuk membuktikan kelayakan fusi sebagai sumber energi berskala besar dan bebas karbon.
Sementara itu, pemerintah, industri swasta, dan perusahaan utilitas meluncurkan inisiatif yang melengkapi upaya ini dan memperluas lanskap fusi global. Fasilitas baru mulai dibangun, kemitraan antara sektor swasta dan publik semakin berkembang, dan regulator mengembangkan kerangka kerja khusus untuk mengikuti perkembangan ini.
Selain itu, pengguna akhir menunjukkan kepercayaan yang semakin besar terhadap teknologi ini dengan menandatangani perjanjian pembelian listrik awal.
Menurut IAEA, dalam laman resminya, energi fusi Matahari buatan ini diperkirakan akan memainkan peran signifikan dalam memenuhi permintaan global yang terus meningkat akan listrik bersih dan andal.
Untuk pertama kalinya, Laporan Prospek Fusi Dunia IAEA memasukkan model global penerapan energi fusi yang dikembangkan oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT). Studi ini mengeksplorasi bagaimana fusi dapat berkontribusi pada campuran listrik masa depan di bawah berbagai skenario kebijakan, biaya, dan teknologi.
IAEA juga mengungkap bahwa saat ini teknologi fusi berkembang melalui berbagai upaya paralel. Berlandaskan fondasi yang dibangun oleh kolaborasi internasional berskala besar seperti ITER, berbagai pendekatan dikembangkan di sektor publik dan swasta, termasuk Tokamak, stellarator, konsep konfinemen laser dan inersial, konsep magneto-inersial, mesin cermin, konfigurasi medan terbalik, dan pinches.
Keragaman ini mendorong inovasi dan memperkuat sektor ini dalam upaya mencari cara untuk mewujudkan energi fusi.
Laporan IAEA juga memasukkan model penerapan fusi global yang dikembangkan oleh Massachusetts Institute of Technology, yang memproyeksikan bahwa fusi berpotensi menyumbang hingga 50 persen listrik global pada 2100 dalam skenario biaya terendah.
(wpj/dmi)