Dua miliuner pemilik perusahaan antariksa, Jeff Bezos dan Elon Musk, diam-diam berambisi membangun pusat data kecerdasan buatan (AI) di luar angkasa.
Perusahaan antariksa milik Jeff Bezos, Blue Origin, dilaporkan tengah mengembangkan teknologi untuk membangun pusat data AI di luar angkasa. Upaya pengembangan ini disebut telah berlangsung selama lebih dari satu tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut laporan The Wall Street Journal pada Rabu (10/12), mengutip sumber internal yang mengetahui proyek tersebut, rencana ini menandai langkah baru Blue Origin dalam memanfaatkan ruang angkasa sebagai lingkungan alternatif untuk komputasi berdaya tinggi.
Pada bulan Oktober, Bezos memprediksi bahwa pusat data berskala gigawatt akan dibangun di luar angkasa dalam 10 hingga 20 tahun ke depan.Ia menambahkan bahwa, berkat ketersediaan energi surya yang terus-menerus, pusat data tersebut pada akhirnya akan outperform pusat data yang berbasis di Bumi.
"Kami akan mampu mengalahkan biaya pusat data darat di ruang angkasa dalam dua dekade ke depan," kata Bezos saat itu.
"Kluster pelatihan raksasa ini, akan lebih baik dibangun di ruang angkasa, karena di sana kita memiliki tenaga surya 24/7. Tidak ada awan, tidak ada hujan, dan tidak ada cuaca," lanjutnya.
Sementara itu SpaceX, perusahaan milik Elon Musk, berencana menggunakan versi yang ditingkatkan dari satelit Starlink-nya untuk menampung muatan komputasi kecerdasan buatan.
Melansir New York Post, teknologi ini diusulkan sebagai bagian dari penawaran saham yang dapat menilai perusahaan tersebut sebesar US$800 miliar (Rp13.336 triliun), menurut orang-orang yang terlibat dalam pembicaraan yang dikutip dalam laporan tersebut.
Minggu lalu, Musk membantah laporan yang menyebutkan bahwa SpaceX sedang menggalang dana dengan valuasi sebesar Rp13.336 triliun, dan menyebutnya sebagai informasi yang tidak akurat.
Baik SpaceX maupun Blue Origin tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Konsep pusat data orbital telah mendapatkan perhatian dari raksasa teknologi, seiring dengan meningkatnya permintaan akan listrik dan air untuk mendinginkan server di Bumi.
Google sebelumnya juga dikabarkan berencana membangun pusat data luar angkasa pada awal 2027.
Raksasa teknologi asal California, Amerika Serikat, itu berharap dapat memanfaatkan tenaga surya dan mengurangi biaya peluncuran roket. Peralatan uji coba pertama diluncurkan ke orbit dalam waktu dekat.
Para ilmuwan dan insinyur Google berpendapat bahwa sekitar 80 satelit bertenaga surya dapat diatur di orbit sekitar 400 mil di atas permukaan Bumi dan dilengkapi dengan prosesor bertenaga tinggi untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat untuk akal imitasi.
Dilansir dari The Guardian, penelitian yang dirilis oleh Google pada Selasa (4/11), biaya peluncuran ke luar angkasa akan menurun dengan cepat, sehingga pada pertengahan tahun 2030-an biaya operasional pusat data berbasis luar angkasa akan sebanding dengan yang ada di Bumi.
Untuk mendinginkan pusat data saat ini, penggunaan satelit dapat meminimalkan penggunaan sumber daya darat dan air.
Pusat data akan dilengkapi oleh panel surya yang dapat menghasilkan energi delapan kali lipat lebih efisien dibandingkan panel surya setelah berada di orbit dari pada panel surya di Bumi. Namun, peluncuran satu roket dapat menghasilkan emisi karbon dioksida hingga ratusan ton.
Para astronom mungkin menentang hal ini karena jumlah satelit yang semakin banyak di orbit rendah dapat mengganggu pengamatan mereka tentang alam semesta.
Dalam proyek Suncatcher, pusat data yang mengorbit akan mengirimkan hasilnya kembali melalui tautan optikyang biasanya menggunakan cahaya atau sinar laser untuk mengirimkan informasi.
Perusahaan teknologi besar yang mengejar kemajuan pesat AI, diperkirakan akan membeli pusat data darat di mana-mana seperti Lincolnshire hingga Brasil, dan India hingga Texas. Pengeluaran ini telah menimbulkan kekhawatiran tentang dampak emisi karbon jika energi bersih tidak ditemukan untuk menggerakkan proyek.
"Di masa depan, ruang angkasa mungkin menjadi tempat terbaik untuk mengembangkan komputer AI," kata Google dalam risetnya.
(wpj/dmi)