Jakarta, CNN Indonesia -- Ini bukan hingar bingar euforia jungkir balik kehilangan orbit tata surya. Pelanggaran hal-hal pada kaidah tersebut barangkali akan menyebabkan disorientasi plural. Berakibat pada disorientasi tradisi, disorientasi fungsi sosial, disorientasi moral. Pada ruang-ruang sosial universal semesta.
Maka tertulis negatif opini dari komedi situasi perilaku makhluk penghuni planet di semesta. Jika mungkin hal tersebut di atas terjadi. Sebagai makhluk sosial universal. Barangkali begitu, semoga tidak ada dan tidak mungkin terjadi.
Seumpama kata, ibarat ada hakim langit melanggar kode etik norma berlaku umum di semesta. Sebagai hakim langit pasti berkedudukan di kelas makhluk utama. Lalu semisal berperilaku tak memberi keteladanan, sebab akibat, sebagai makhluk oknum itu gagal memberi keteladanan.
Kepada siapa akan belajar keteladanan tertib moral semesta?
Peradaban akan bertanya pula. Kepada siapa tanya akan disampaikan tentang pelajaran kebenaran? Jika kepercayaan makhluk semesta direnggut oleh pola laku pelanggaran etika perilaku sosial universal sekelas tingkat intelegensi hakim langit itu, di lembaga komponen aturan pasal-pasal moral tata perilaku langit tempat para dewa bermukim.
Siapa tolok ukur kepatuhan norma hidup dan hubungan antar zaman ke zaman? Sebab hidup adalah kewajaran realitas. Bukan pelanggaran norma aturan di realitas. Pemuka utama keagungan mahkamah langit tidak boleh dikotori oleh setitik debu sekalipun. Bukankah begitu harusnya jika mungkin bisa bertanya pada para dewa.
Musim penghujan modernisme pada tata laku planet-planet ujung pangkalnya mendadak seakan-akan out of focus.
Lembaga mahkamah aturan moral tertinggi sebagai sebuah himpunan, satuan tata laku para planet, dari unsur-unsur bilangan-bilangan tak terhingga, tidak boleh kehilangan kontrol tujuan dari cita-cita moral baik dan benar, tidak boleh terjun bebas di euforia hingar bingar. Sekalipun sekelas oknum personal, tentu akan berdampak fatal pada kinerja tata laku aturan dewa untuk makhluk hidup.
Cita-cita. Luhur di “akal-budi”. Embun mulia di huma-huma, di daun tumbuhan perdu, di pucuk daun jambu. Oh! Bianglala senja memerahkan tanah, langit, udara, gunung-gunung dan gugusan mega jadi indah. Subur dan makmur jika kesadaran pada pentingnya menjaga lestari norma-norma sosial universal di ranah aturan kehidupan bagi makhluk semesta.
Suburkan zaman. Dendangkan lagu hijau di atas bukit-bukit gugusan pegunungan, perbukitan bebatuan milik hidup semesta. Masih banyak cinta dan keteladanan di langit, di sana bermukim para dewa bijaksana. Satu gugur, tumbuh seribu kebaikan di kebijaksanaan. Bahagia dalam cinta kasih hingga kekal kehidupan. Semoga. Salam Indonesia Unit.