Kenapa Anak Muda Punya Kreativitas Kelewat Batas?

CNN Indonesia
Rabu, 23 Des 2015 13:21 WIB
Gambar para pahlawan dan kata-kata mereka diplesetkan di era "Quote Kampret". Kreativitas yang kelewat batas?
Anak-anak di taman makam pahlawan. (CNN Indonesia/Antara Photo/Didik Suhartono)
Serang, CNN Indonesia -- Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Itulah semboyan yang didengungkan Bapak pendiri bangsa, Soekarno. Kata yang sering kita dengar di hari-hari besar berbau kebangsaan seperti Hari kemerdekaan, Hari Sumpah Pemuda, dan Hari Pahlawan. Tapi sudahkah semboyan itu dijalankan?

Atau hanya sekedar semboyan dan perayaan seremonial? Masihkan anak muda Indonesia tahu siapa pahlawan mereka? Sudah sepantasnya anak muda, generasi penerus bangsa terus mengenang dan menjadikan pahlawan sebagai panutan. Jasanya perlu diingat, untuk jadi cerminan bahwa negaranya kini tak didapat dari belas kasihan, tapi perjuangan penuh pengorbanan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya, istilah umum kala perayaan Hari Pahlawan di 10 November setiap tahunnya.

Generasi muda, generasi penuh gairah, semangat dan kreativitas. Kreativitas tanpa batas, itulah semboyan dalam berkreasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Termasuk kala perayaan hari pahlawan. Momen ini dijadikan momentum mengekspresikan diri melalui seni. Kreator perfilman membuat kisah perjuangan para pahlawan dalam kemasan audio-visual, musisi mencipta musik berbau semangat perjuangan, ahli desain visual membuat poster-poster wajah pahlawan berisi pekikan perjuangan. Berbagai macam karya dapat kita jumpai di social media, yang bersifat positif sampai yang berkonotasi negatif. Entah disadari atau tidak terkadang kita melihat kiriman gambar yang menggunakan tokoh pahlawan namun isinya sama sekali tidak mencerminkan sifat kepahlawanan maupun semangat perjuangan, melainkan bahan tertawaan.

Lihat saja pada gambar Kartini, pejuang perempuan dengan judul bukunya yang terkenal ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ berpenampilan normal layaknya perempuan Jawa dengan kebaya dan sanggul, dirombak sedemikian rupa menjadi wanita bersanggul, berkacamata, dengan pakaian terbuka. Kata-kata ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ diplesetkan menjadi ‘Berangkat Gelap Pulangnya Terang’, menggambarkan perbandingan anak muda dulu dan kini.

Saat ini juga tengah marak tren ‘quote kampret’ yang berisi kutipan-kutipan bernada kegalauan maupun kenyelenehan anak muda jaman sekarang dan dikaitkan pada tokoh-tokoh terkenal, salah satunya pahlawan nasional. Tan Malaka, dengan salah satu kalimat paling terkenalnya saat dia berpidato di Kongres Komunis Internasional (Kominter) pada 1922. "Kalau saya berdiri di depan Tuhan, saya adalah seorang muslim. Bila saya berdiri di depan manusia saya bukan seorang muslim," seperti itu bunyinya. Kata-kata itu dirubah, diparodikan menjadi ‘Di hadapan Tuhan, aku seorang muslim; di hadapan manusia, aku seorang komunis; di hadapan mantan... Aku hanya butiran debu’.

Entah apa yang melatarbelakangi pembuatan karya-karya semacam ini. Sebagai tokoh pejuang bangsa tak pantas rasanya menjadikan para pahlawan sebagai bahan guyonan dan tertawaaan. Penyuntingan gambar Kartini boleh jadi yang terparah, hal sangat tidak terpuji, merusak nama baik Kartini. Pernahkah terpikir, apa yang dirasakan oleh keluarga Kartini jika melihat Istrinya, Ibunya, Tantenya, Bibinya, adik perempuannya, kakak perempuannya dijadikan bahan guyonan dengan menjadikannya tokoh tak senonoh. Dimana rasa hormat pada tokoh yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa?

Ada pula hal lain yang sering kita jumpai yaitu, tindakan mencorat-coret uang dengan gambar pahlawan. Dan yang paling populer adalah Kapitan Pattimura, pada mata uang seribu rupiah. Ya, karena nilainya yang dirasa tidak terlalu besar dibanding mata uang Imam Bonjol, Sultan Mahmud Badaruddin, Otto Iskandar Dinata, I Gusti Ngurah Rai dan Soekarno-Hatta.

Mata uang Kapitan Pattimura jadi yang terpopuler sebagai objek percobaan. Pengeditan manual hingga digital dilakukan. Kerap kali kita melihat Pattimura berganti wujud menjadi tokoh-tokoh lain mulai dari Spider-Man, Naruto, power Ranger hingga Pattimura melakukan selfie dengan tongkat narsis yang tengah digemari.

Tindakan ini telah menghilangkan nilai tukar dari mata uang itu sendiri, seperti yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana BAB X Tentang Pemalsuan Mata Uang dan Uang Kertas. Penggunaan tokoh pahlawan menjai ikon di mata uang pastilah memiliki tujuan terpuji. Agar kita para penerus bangsa terus mengenang dan menghargai jasa para pahlawan. Dengan uang kita diingatkan agar tak lupa dan terus belajar akan semangat berjuang dari para pahlawan untuk mengisi kemerdekaan. Tindakan mencorat-coret wajah pahlawan bukanlah tindakan mengahargai melainkan menodai.

Ya, anak muda Indonesia memang begitu kreatif. Namun kreativitasnya terkadang kelewat batas. Tak melihat siapa yang menjadi objek berseni. Di mana etika dan rasa hormat yang dianut bangsa? Tak etis menjadikan tokoh pejuang bangsa sebagai bahan candaan, melihat jasa yang begitu besar telah mereka torehkan. Bayangkan dimasa depan, anak-anak cucu melihat hal ini. Sepertinya tak akan ada lagi sosok pahlawan penuh kisah semangat pengorbanan, habis sudah dimakan candaan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawan, bukan yang menjadikan pahlawan sebagai bahan hiburan.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER