-- Jakarta dan kemacetan merupakan dua variabel yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya sudah begitu erat dan melekat.
Kemacetan sendiri bahkan sudah menjadi identitas kota Jakarta. Bukan Jakarta kalau tidak macet adalah ungkapan khas warga Jakarta yang setiap harinya bergelut dengan kemacetan Ibu Kota.
Hal ini juga diamini oleh studi yang dilakukan perusahaan oli Castrol pada tahun 2014 lalu, yang menyebutkan bahwa Jakarta adalah kota yang paling macet di dunia berdasarkan indikator frekuensi pengemudi berhenti dan berjalan di jalanan, atau seberapa sering mereka menginjak rem dan gas selama perjalanan. Studi tersebut merilis, rata-rata pengemudi di Jakarta melakukannya 33.240 kali dalam setahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu pusat kemacetan Ibu kota terletak pada sepanjang jalan Sudirman – Thamrin. Seperti yang kita ketahui bersama jalan Sudirman-Thamrin merupakan jalur kepala naga di mana sepanjang jalan tersebut terdapat gedung-gedung atau
landmark perkantoran megapolitan serta pusat perbelanjaan kelas dunia.
Akibatnya, rute Sudirman – Thamrin menjadi rute mobilisasi terpadat bagi warga Jakarta. Wabil khusus kepadatan tersebut akan mencapai beban puncaknya pada jam masuk dan keluar kantor.
Permasalahan kemacetan diperparah karena pengguna jalan Sudirman – Thamrin bukan hanya mereka yang berkantor di sepanjang jalan tersebut melainkan mereka juga yang hanya sekedar numpang lewat.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pada 11 tahun silam pemerintah telah membuat sebuah kebijakan 3 in 1. Dalam kebijakan 3 in 1 ini menetapkan bahwa setiap kendaraan, khususnya kendaraan beroda empat yang akan melintasi jalan Sudirman – Thamrin harus berpenumpang 3 orang atau lebih. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi jumlah kendaraan yang melewati rute tersebut yang berimplikasi pada menurunnya volume kemacetan.
Selama pengimplementasiaannya ternyata kebijakan ini berhasil disiasati dengan munculnya “joki 3 in 1” yang bermunculan di sekitar jalur 3 in 1. Artinya, kebijakan ini belum berhasil mencapai tujuannya tadi karena pada pengaplikasiannya, jalur tersebut tetap saja macet bahkan menuai fenomena baru yang berindikasi adanya ekploitasi anak dari kegiatan “joki 3 in 1” tadi. Persoalan ekploitasi anak disoroti betul oleh Bapak Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama.
Berangkat dari persoalan tersebut, Gubernur DKI Jakarta berencana menghapus sistem 3 in 1 ini dan akan digantikan dengan sistem ERP atau Electronic Road Pricing. Dalam sistem ERP ini setiap kendaraan yang melintasi jalur Sudirman –Thamrin harus membayar sejumlah uang pada jam – jam ketika mobilitas sedang tinggi yaitu sekitar jam 7 – 10 pagi.
ERP ini hampir serupa dengan kebijakan 3 in 1, hanya sistem ERP ini tidak bisa disiasati karena dengan menggunakan sistem sensor yang membuat kebijakan ini lebih kredibel dengan tujuannya, yaitu agar jalan Sudirman – Thamrin dapat menjalankan fungsinya untuk bermobilitas.
Hal ini sesuai dengan kajian ekonomi publik yaitu Peak Load Pricing yaitu menetapkan harga tinggi ketika beban terjadi beban puncak. Dalam hal ini beban puncak yang dimaksud adalah ketika jalan yang digunakan sedang padat – padatnya. Oleh karena itu, mereka yang ingin melalui jalan ini harus membayar. Namun, pada kenyataannya sistem ERP ini belum berjalan optimal sebagaimana fungsinya. Hal inilah yang harus kita soroti bersama, apakah ERP tadi mampu menyelesaikan persoalan kemacetan di jalan Sudirman-Thamrin?
Jika kita lihat penyebabnya bahwa kemacetan yang terjadi di sepanjang jalan Sudirman-Thamrin tadi itu karena banyaknya orang-orang yang bermobilitas melalui jalur dan waktu yang bersamaan, baik mereka yang memiliki kepentingan di sepanjang jalan tersebut atau tidak. Yang tidak memiliki kepentingan inilah yang menjadi titik api persoalan kemacetan di sepanjang jalan tersebut.
Dirasa dengan adanya penetapan ERP tersebut juga tidak akan memberikan efek untuk masalah kemacetan. Karena, para pengguna jalan tidak akan merasa diberatkan jika memang harus membayar ERP tadi dibandingkan mereka harus mencari jalan lain yang membuat jarak tempuh ke tempat tujuannya menjadi lebih jauh.
Ditambah dengan sistem pembayarannya yang dilakukan di akhir bulan semakin membuat mereka berlenggang kangkung untuk melewati jalur tersebut karena biaya tadi tidak harus mereka bayarkan secara langsung namun, ditangguhkan diakhir bulan. Namun, lain ceritanya bagi mereka yang memang berkantor di sepanjang di jalan tersebut, justru kebijakan ini akan menuai kritik karena mau ke kantor saja mereka harus bayar. Kebijakan ini diprediksi akan menuai kontroversi dikemudian hari.
Solusi yang mungkin dapat diterapkan pemerintah adalah dengan memberikan kebijakan bahwa pada jam-jam dengan beban puncak, yang diperbolehkan melintasi jalur tersebut hanya mereka yang memiliki kepentingan di sepanjang jalan Sudirman – Thamrin, atau dipersempit lagi jalur tersebut pada jam tertentu hanya boleh dilalui oleh para pekerja yang berkantor di sepanjang jalan Sudirman – Thamrin tadi.
Dengan memberikan bukti kartu karyawan yang mereka miliki dipergunakan sebagai syarat untuk mereka mendapat akses untuk melintasi jalan tersebut pada jam-jam masuk dan keluar kantor. Dengan begitu, mau tidak mau mereka yang tidak memiliki kepentingan khususnya yang hanya numpang lewat tadi bisa menggunakan jalur lain untuk mencapai tujuannya pada jam-jam dengan beban puncak, sehingga volume kendaraan yang membuat kemacetan jalan tersebut dapat berkurang.
Kemudian, barulah setelah jam – jam masuk kantor usai mereka kembali diperbolehkan untuk melintasi jalur Sudirman – Thamrin tadi hingga batas waktu sampai jam pulang kantor jalan Sudirman – Thamrin tadi kembali ditutup untuk publik.