Ketika Trekking adalah Belajar

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Selasa, 17 Mei 2016 14:00 WIB
Melihat secara langsung hal yang telah diajarkan membawa sensasi berbeda bagi murid-murid.
Ilustrasi (CNN Indonesia/ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)
Bogor, CNN Indonesia -- Pernah melihat ulat bulu? Saya yakin sebagian besar dari kita pasti bergidik dan memilih untuk menjauh.

Berbeda dengan yang terjadi minggu lalu saat saya dan murid-murid saya melakukan trekking. Saat melihat ulat bulu berwarna kuning dengan bulatan hitam di punggungnya, saya mengajak mereka untuk melihat lebih dekat. Sambil berjongkok, anak-anak usia playgroup tersebut asyik berkomentar tentang betapa lucunya ulat tersebut, ada juga yang berusaha untuk memegangnya. Saya pun memanfaatkan kesempatan itu untuk bertanya kepada mereka tentang warnanya, juga tahap apa yang akan dilalui ulat bulu setelah ini.

Ketika salah seorang dari mereka menjawab, “Kepompong!” saya sangat senang. Ini berarti, mereka memahami isi cerita yang saya bacakan. Kebetulan, sehari sebelumnya, saya membacakan sebuah giant book berjudul The Very Hungry Caterpillar yang merangkum tahap metamorfosis kupu-kupu melalui cerita yang cukup kocak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Memanfaatkan momen tersebut, kami pun melanjutkan trekking kami. Karena mereka masih balita, kami pun memilih rute yang aman, yaitu…komplek perumahan di sebelah sekolah!

Terlihat tidak menantang? Jangan salah. Mari kita lihat seberapa banyak mereka belajar.

Di awal perjalanan, kami bertemu dengan rumpun bunga soka berwarna merah yang semasa kecil sering saya petik dan hisap. Saya pun meminta mereka untuk mendekat, kemudian saya ajak mereka mengingat kembali ketika kepompong yang sudah berubah menjadi kupu-kupu dalam cerita kemarin hinggap di bunga dan menghisap nektar. Ketika saya petik satu dan saya hisap bagian tengahnya, semua murid pun antusias ingin mencoba. Mereka pun mencoba dan tahu bahwa cairan yang dihisap kupu-kupu itu ternyata manis.

Beberapa meter kemudian, kami menjumpai daun yang penuh lubang. Rekan kerja saya pun bergantian menjelaskan bahwa seperti di dalam buku, daun tersebut berlubang karena dimakan oleh ulat. “Mana ulatnya?”,tanya salah seorang dari mereka. Saya jawab, ulatnya mungkin sudah menjadi kepompong atau kupu-kupu. Kita memang harus siap dengan pertanyaan spontan semacam itu. Apabila tidak tahu, saya akan menjawab jujur bahwa saat ini saya belum mempunyai jawabannya.

Selepas mengamati daun, kami melanjutkan perjalanan. Ketika ada motor berjajar di tepi jalan, anak-anak pun saya tantang untuk menghitung jumlahnya. Mereka memang baru belajar konsep angka 1-8, tetapi mereka semangat menghitung motor-motor itu meskipun belum dengan urutan yang benar. Saya tetap memberikan pujian atas usaha mereka lalu mengulang proses berhitung yang benar bersama-sama.

Hingga kami sampai kembali di sekolah, anak-anak banyak belajar hal baru. Cerita di atas belum termasuk pertanyaan mereka tentang tanda dilarang parkir, lubang pembuangan di tepi got, hingga gardu listrik. Semuanya dirangkum dalam perjalanan trekking 30 menit di sebuah komplek perumahan.

Cara belajar seperti inilah yang saya dan teman-teman guru di sini sering lakukan untuk membuat murid menikmati proses belajar sekaligus memahaminya. Melihat secara langsung hal yang telah diajarkan membawa sensasi berbeda. Tentu saja, guru harus mendobrak pola berpikir satu arah dan berpikir kreatif. Berpikir kreatif haruslah dilatih terus menerus dengan banyak membaca dan bertukar pikiran dengan orang lain, termasuk murid. Salah satu kunci membuat proses belajar menyenangkan adalah dengan menempatkan diri kita sebagai murid, sehingga kita bisa memperkirakan hal apa yang membuat mereka semangat dan sebaliknya. Murid dan guru yang penuh semangat akan membuat sekolah menjadi tempat belajar yang menyenangkan. Setuju? #LombaMenulisHardiknas (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER