Bogor, CNN Indonesia -- “Dirimu gak capek, Yes?”
Awalnya pertanyaan semacam ini membuat saya mengernyitkan dahi, karena seakan menggiring saya ke pemahaman bahwa saya memang sudah seharusnya capek. Capek karena harus sekolah terus, tanpa jeda.
Saya menghabiskan lebih dari separuh usia (kalau bisa dikatakan hampir seumur hidup) saya untuk bersekolah. Sebut saja 2 tahun di Taman Kanak-Kanak, 6 tahun di Sekolah Dasar, 3 tahun di Sekolah Menengah Pertama, 3 tahun di Sekolah Menengah Atas, 3 tahun di bangku kuliah Sarjana (S1), 2 tahun di Magister (S2) dan 4 tahun di Doktoral (S3-on process). Seakan saya hanya punya waktu 3 tahun untuk diri sendiri untuk kemudian “terbebas” dari yang namanya dunia formal akademik dari total keseluruhan usia saya saat ini, 26 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Barangkali sekolah masih menjadi hal yang mengasyikkan sehingga saya belum menemukan kejemuan dalam menempuh pelbagai jenjang studi tersebut. Bisa jadi juga sekolah merupakan tempat yang menyenangkan baik untuk belajar, bermain, bersahabat dan menjadi pribadi yang lebih baik. Atau, lebih tepatnya saya “belum selesai belajar” sehingga bersekolah masih merupakan konsumsi wajib hingga saat ini.
Saya tersentak ketika membaca judul buku “Kalau Mau Kaya Ngapain Sekolah!” karya Edy Zaqeus. Tokoh yang diwawancarai pun tidak main-main, rerata mereka merupakan para entrepreneur sejati. Sebut saja, Bob Sadino. Ketika ditanya “Lebih utama pengalaman atau sesuatu yang didapat dari bangku sekolah?”, beliau menjawab “Saya tidak bisa ngomong karena saya enggak sekolah. Saya ini orang yang belajar, tetapi orang yang tidak pernah sekolah”.
Adalagi buku “Kisah Sukses 25 Milyarder Dunia Drop Out: Sukses Tidak Ditentukan oleh Gelar”, yang membahas tentang mereka yang bersekolah tetapi lalu drop out. Kendati demikian buku ini mengklaim diri bahwa maksud kehadirannya bukan untuk menomorduakan pendidikan melainkan sekedar membukakan fakta (dan mungkin juga membesarkan hati) bahwa kesuksesan seseorang tidak “melulu” ditentukan oleh gelar yang disandangnya.
Belum cukup buku-buku tersebut diatas, saya lantas mendengar dan membaca ulasan pakar dan Guru Besar di bidang manajemen, beliau penulis dan bagi saya pribadi merupakan seorang motivator serta inspirator sejati, sebut saja Prof. Rhenald Kasali yang dalam salah satu tulisannya pernah menulis “Sekolah untuk Apa?”.
Pertanyaan ini serupa dengan “Untuk Apa Menikah?”, sebagaimana menjadi bab pembuka dalam tulisan Aisyah B. Lemu dalam bukunya “Istri Muslim Ideal”. Pertanyaan yang jawabannya bisa jadi sangat subjektif, mungkin juga objektif, bahkan spekulatif. (Tapi ini akan menjadi bahasan lain, di artikel bertema “Menikah itu Asyik” mungkin, ehehe)
Kendati demikian sekolah harus menjadi tempat belajar yang menggembirakan! Kenapa? Salah satu alasannya ialah karena inilah “rumah kedua” kita, tempat dimana kecerdasan secara intelektual kita ditempa. Prosesnya memakan waktu yang tidak singkat (dan tidak mudah!) sehingga oleh karenanya tempat dimana kita akan menghabiskan waktu bersamanya dalam kurun waktu yang tidak lama ini haruslah merupakan tempat yang membuat kita nyaman, enjoy dan happy. Kalaupun semisal belum atau bukan merupakan tempat yang nikmat sebagaimana yang kita inginkan dan kita harapkan selayaknya hunian kita di rumah maka jalan satu-satunya ialah haruslah kita ubah sesuai kehendak kita.
Nah, bagaimana caranya? “You don’t have to be friends, but be nice to them is just enough to make the space around you better.”
Jujur, ini sulit!
Saya pribadi bukan tipikal yang kecerdasan emosinya mumpuni. Saya mulai memahami hal tersebut dan lambat laun secara perlahan berusaha menerima dan mengubah keadaan. Karena hal ini merupakan salah satu yang dapat menjadikan sekolah itu mengasyikkan, terlepas dari apapun karakter pribadi seseorang, atmosfer mengasyikkan antar pelajar, antar pelajar dan pengajar maupun antar pengajar haruslah tercipta.
Kombinasi peran pengajar dengan orang tua serta lingkungan dan aktivitas dapat menunjang ketertarikan anak untuk menjadi senang belajar di sekolah. Beraktivitas tidak hanya dalam ruangan, tapi keluar ruangan juga akan sangat membantu. Pastinya, dukungan semua pihak terhadap sekolah merupakan satu hal yang paling penting.
Lantas, inovasi apa yang perlu dilakukan sekolah dalam proses belajar mengajarnya sehingga sekolah itu mengasyikkan?
Pada 2014 silam, saya terlibat dalam proyek penelitian terkait dengan pendidikan berbasis online yang bernama Jakarta Learning Center. Platform pendidikan berbasis online ini diharapkan dapat menjadi salah satu inovasi dalam proses pembelajaran khususnya di sekolah. Masifnya informasi di era teknologi seperti sekarang ini mulai merambah usia muda, setidaknya dengan dikenalkannya teknologi internet melalui pembelajaran maka diharapkan dapat memberi dampak positif dan lebih ramah bagi pengguna terutama anak usia sekolah.
Satu hal lagi, “When a student struggles, the question is not what’s wrong with the student or what’s wrong with the teacher. The question is, what’s wrong with the system?”
Benahi sistem!
Tapi, sistem yang mana? Sistem yang seperti apa? Apakah berarti saya telah menjadi “korban” sistem pendidikan Indonesia sekitar 23 tahun lamanya, tanpa saya menyadarinya? Pun, orang tua saya telah mengorbankan saya dalam sistem pendidikan formal yang – ah, sudahlah! Atau, guru dan dosen saya telah memberikan pengajaran yang kurang “mengasyikkan” karena belum adanya inovasi dalam proses belajar mengajar yang mereka lakukan selama ini? Yang pasti mari kita renungkan bersama tentang sistem yang telah-sedang-akan kita tempuh dan jalani, serta tentang diri kita sendiri yang terlibat penuh (dan dengan sadar dan sukarela) berada di dalam sistem tersebut.
Referensi:
https://www.essayandletters.com/essay-on-how-i-can-make-my-school-a-happy-place/
https://theconversation.com/how-parents-and-teachers-can-make-school-a-happy-place-for-kids-53314
https://www.edweek.org/tm/articles/2014/06/24/ctq_faridi_finland.html#
Zaqeus, E. 2004. Kalau Mau Kaya Ngapain Sekolah. Yogyakarta: Gradien Book
(ded/ded)