Jakarta, CNN Indonesia -- Setiap anak memiliki pendapatnya sendiri tentang sekolah dan pendidikan. Bagi anak-anak di suku adat, pendidikan formal adalah istilah yang tidak populer.
Coba perhatikan beberapa petikan pendapat mereka, ketika ditanya pendapatnya tentang sekolah formal.
"Setelah kami bisa membaca dan menulis, apakah berarti kami dapat melawan pebalok/pencuri kayu?" ujar salah satu anak Sokola Rimba Jambi, selasa (17/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kenapa sekolah harus dimulai dari jam tujuh pagi hingga jam dua belas siang? Kenapa tidak ada sekolah yang menyesuaikan dengan waktu kami? Pada pagi hari kami harus menjemur padi, menilik jerat atau bekerja di ladang kami" cerita anak Sokola Rimba Jambi.
"Di sekolah kami harus duduk rapi, mendengar guru berbicara dari pagi hingga siang, lebih menyenangkan mandi-mandi di sungai, atau pergi kehutan bantu mama pangkur sagu,” jawab anak sokola Rimba Asmat, Kampung Mumugu Batas Batu, Asmat Papua.
”Kenapa sekolah harus berseragam merah dan putih, sedangkan adat kami mewajibkan kami menggunakan pakaian hitam dan putih?” tanya murid Sokola Rimba Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Bagi mereka, persoalan akses pendidikan merupakan persoalan budaya dan cara hidup. Pendidikan haruslah mencangkup adat, kepercayaan dan pengetahuan. Meski seringkali mendapat stigma primitif, terasing dan terbelakang, hak atas pendidikan mereka merupakan jaminan dari negara. Pendidikan seharusnya tidak melunturkan kebudayaan mereka.
(ded/ded)