Kampung Ketandan: Akulturasi Indah di Yogyakarta

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Jumat, 27 Mei 2016 17:58 WIB
Melihat akulturasi indah di riuhnya jalanan Malioboro, Yogyakarta.
Jalan Malioboro, Yogyakarta. (Gunawan Kartapranata via Wikimedia (CC BY-SA 3.0)
Condong Catur, CNN Indonesia -- Masyarakat Kampung Ketandan merupakan saksi akulturasi antara tradisi Tionghoa dan Yogyakarta.

Dari bawah gapura, senja perlahan turun melukiskan semburat cahaya kuning keemasan nan lembut di ujung cakrawala. Perlahan kemudian, dari sisi cakrawala lain sang rembulan merambat naik dengan cahaya putih kekuningan.

Bersamaan dengan turunnya matahari sore itu, beberapa orang yang tadinya menjaga toko bergegas naik ke atas rumah untuk melaksanakan sembahyang kepada leluhur mereka. Bau dupa dan cahaya lilin nampak mengintip dari sela-sela jendela lanatai dua rumah tersebut, tak lama kemudian menusuk hidung tanda bahwa sembahyang tengah dipanjatkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beberapa saat setelah itu, “Ko Edo naik sini, sembahyang dulu…” teriakan Yeni (42) terdengar samar-samar di antara raungan bunyi kendaraan yang memenuhi jalanan Malioboro.

Maksud teriakan itu menginformasikan bahwa waktu sembahyang telah tiba kepada anaknya, Edo (16) yang baru pulang dari sekolah. Maklum saja jika masyarakat menyebut untuk masuk ke dalam rumah dengan kata ke atas, hal tersebut karena arsitektur bangunan di sini berbentuk ruko (rumah toko).

Bangunan di lantai satu merupakan toko emas dan warung, di lantai dua dan selebihnya biasanya digunakan sebagai tempat tinggal masyarakat Kampung Ketandan setiap harinya. Arsitektur bangunan ini merupakan peninggalan sejarah masyarakat Tionghoa tempo dulu yang menjadikan kampung ini sebagai pusat pemukiman etnis Tionghoa sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono II.

Dengan panggilan itu Ko Edo bergegas naik untuk bergabung memulai sembahyang kepada leluhur yang dilakukan setidaknya tiga kali sehari, pagi, siang dan malam. Ko atau Koko adalah sebutan bagi pemuda laki-laki keturunan Tionghoa.

Hiruk pikuk aktivitas perkampungan ini akan sejenak berhenti ketika waktu sembahyang datang, daya tarik tersendiri dari wilayah ini dengan keistimewaannya serta tradisi Tionghoa yang masih melekat di setiap sendi kehidupan masyarakatnya.

Kehidupan di kampung pecinan ini menjadi cerminan warisan leluhur tempo dulu. Akulturasi budaya dari masyarakat Tionghoa dan pribumi Yogyakarta telah menciptakan ciri khas tersendiri yang tersaji di pemukiman ini. Jalanan kecil yang panjangnya tidak ada satu kilometer ini merupakan bagian dari kelurahan Ngupasan, kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta.

Hanya beberapa menit dari gapura tadi, akan banyak ditemui toko-toko emas yang menjadi identitas kampung Ketandan yang lainnya. Selain menjadi kampung pecinan, Kampung Ketandan juga dikenal sebagai kawasan toko penjual emas di sekitaran Malioboro. Namun toko emas bukanlah satu-satunya jenis toko yang ada di wilayah ini, masih banyak seperti toko obat-obat tradisional Tiongkok, jajanan serta warung makan dengan menu khas Cina yang dijual di sini.

Jika dihitung, sekitar dua menit berjalan kaki dari gapura Kampung Ketandan, kita akan sampai toko emas “Berkah” milik Cik Yeni yang sekilas tak beda jauh dengan toko emas kiri-kanannya. Cik atau cicik merupakan panggilan kepada perempuan keturunan Tionghoa.

Setelah sembayang kepada leluhur, Cik Yeni memperkenalkan anaknya Edo yang tengah sembahyang malam itu. Ko Edo menyulut dupa kemudian ditempelkannya dupa itu di dekat keningnya serta memanjatkan doa serta harapan pada leluhur.

Ditancapkannya dupa itu di tempat berupa tembikar besi yang telah banyak terisi abu bekas dupa sebelumnya. Berdampingan dengan tempat dupa itu terdapat buah-buahan sebagai sesaji pada leluhur, di dinding menempel foto leluhur. Cukup banyak leluhur yang keluarga ini sembahyangkan, karena mereka merupakan salah satu keluarga yang menetap dan tinggal di tempat ini semenjak awal lahirnya Kampung Ketandan ini. Selain foto, guci berisi abu sisa pembakaran jenazah leluhur keluarga ini pun juga nampak ditata rapi di atas tempat dupa dan sesaji tersebut.

Ritual sederhana tersebut hanyalah bagian kecil dari masyarakat Kampung Ketandan sehari-hari yang hingga kini masih setia merawat tradisi dan kepercayaan leluhur. Selain sembahyang dirumah, sering masyarakat Kampung Ketandan sembahyang di klenteng. Klenteng terdekat dari kampung ini ialah Klenteng Zhen Ling Gong di daerah Poncowinatan dan Klenteng Gondomanan. Memang klenteng sendiri tidak bisa dilepaskan dari masyarakat Tionghoa, terutama ketika hari-hari besar klenteng menjadi salah satu tempat yang ramai dikunjungi untuk sembahyang memohon berkat.

Suasana kampung pecinan di tengah Malioboro ini nampak lebih bersih daripada biasanya, karena belum lama ini masyarakat sekitar merayakan tahun baru Cina pada bulan Februari lalu. Lampion serta hiasan berbau Tionghoa nampak masih meramaikan isi dalam toko serta dinding-dinding depan ruko yang berjajar rapi di jalanan ini. Bentuk bangunan di Kampung Ketandan ini di dominasi dengan bangunan berarsitektur Tiongkok, dengan sentuhan atap yang mulai memasukkan unsur Jawa.

Hal tersebut menjadi bukti serta tanda dari akulturasi yang terjadi di kampung pecinan ini. Ditambah lagi bangunan disini yang bisa dikatakan seragam, memanjang kebelakang. Bangunan disini akan terlihat sempit dimuka namun seperti naga, memanjang ke belakang. Tidak jarang beberapa bangunan di sini sudah mulai direnovasi bukan karena hendak meninggalkan tradisi yang diwariskan, namun karena bangunan yang ada mulai kalah dengan waktu yang terus berputar.

Menelusuri jalan Kampung Ketandan ini tidak akan memakan waktu selama menelusuri jalanan Malioboro yang terbentang dari Hotel Inna Garuda hingga titik nol Kota Yogyakarta, bahkan tidak akan menghabiskan waktu hingga setengah jam. Namun dari jalan pendek itulah banyak pelajaran yang bisa didapatkan, seperti belajar peninggalan sejarah Tionghoa dalam keikutsertaannya membangun Yogyakarta terutama dalam aspek ekonomi. Lokasi Kampung Ketandan yang berbatasan langsung dengan Jalan Malioboro, Jalan Jendral A. Yani, Jalan Pajeksan dan Jalan Suryatmajan Yogyakarta memberi nilai positif dan negatif sekaligus pada wilayah ini.

Popularitas Kampung Ketandan masih kalah dibandingkan dengan wisata Malioboro dan pasar Beringharjo yang letaknya hanya di kiri-kanan Kampung Ketandan ini. Ya sudah dapat ditebak, arus globalisasi yang lebih mudah masuk ke Malioboro dan Pasar Beringharjo membuat kedua wilayah tersebut cepat naik daun, begitu juga sebaliknya. Hal ini menjadi sebuah keprihatinan, karena Kampung Ketandan sendiri berada di tengah-tengah kawasan Malioboro dan tepat bertetangga dengan Pasar Beringharjo. Apalagi kini, dengan adanya gapura merah dengan ciri khas Tionghoa berdiri gagah di ujung jalan akan menyita perhatian bagi orang yang melewatinya.

Hal ini menjadi salah satu tantangan pemerintah Kota Yogyakarta untuk dapat memanfaatkan peninggalan sejarah serta aset wisata budaya yang sudah ada sejak tempo dulu. Mungkin penataan ulang kota Yogyakarta bisa menjadi salah satu solusi dari permasalahan yang dihadapi Kampung Ketandan ini. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER