Surabaya, CNN Indonesia -- Di tahun 2007, Indonesia sempat digemparkan dengan kasus pencurian budaya. Pasalnya, salah satu negara tetangga, Malaysia, mengklaim kesenian Reog Ponorogo sebagai salah satu warisan budaya mereka. Kejadian tersebut bukanlah satu-satunya. Di tahun-tahun berikutnya, sejumlah warisan budaya bangsa Indonesia seperti Tari Tor Tor, Tari Pendet, alat musik Angklung dan Gordang Sambilan, bahkan kerajinan batik juga sempat diakui oleh Negeri Jiran tersebut.
Bagai raksasa yang terbangun dari tidur panjangnya, dalam beberapa tahun terjadinya pengklaiman budaya tersebut, rakyat Indonesia serentak mulai melek budaya. Tidak hanya mahasiswa dan pelaku seni, masyarakat awam Indonesia turut geram dan ikut berdemonstrasi di depan Gedung Kedutaan Besar Malaysia. Berbondong-bondong mereka datang, menyerukan protes terhadap pengklaiman yang terjadi, hingga menuduh Malaysia sebagai pencuri. Acara-acara berita, diskusi, maupun talkshow di televisi kala itu heboh benar membahas topik yang sama hampir setiap harinya. Sejumlah diskusi juga dilakukan di pelbagai kalangan masyarakat.
Pembahasan akan klaim budaya oleh Malaysia ini lambat laun sampai kepada sebuah konklusi. Bahwasanya, Indonesia tidak dapat sepenuhnya mempersalahkan Malaysia. Rakyat Indonesia sendiri sesungguhnya kurang memberikan apresiasi terhadap kebudayaan nasional. Rakyat Indonesia sendiri yang belum mumpuni dalam menjaga kebudayaannya sendiri. Pemerintah dicap kurang serius dalam melindungi budaya Indonesia, tetapi museum-museum kebudayaan sepi pengunjung. Banyak orang turun ke jalan mengangkat spanduk bertuliskan ‘Malingsia’, namun tak pernah datang di pentas-pentas tradisional daerah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tersadar bahwa bangsanya sudah terseret arus deras modernisasi, sejumlah kalangan tua dengan kalap mengatakan hal-hal semacam, "Mana anak muda kita? Kok tidak bisa menjaga budaya bangsanya?" atau, "Jadi anak Jawa kok tidak bisa menulis aksara Jawa?" atau lagi, "Sekarang mana ada cewek-cewek pakai kebaya, pakainya
dress sama rok mini semua." Guru-guru dan dosen-dosen kala itu menjadi latah, menyebut anak-anak muda Indonesia sebagai generasi malas, yang kerjanya hanya bermain
handphone. Para orang tua mulai membanding-bandingkan zaman mereka muda dengan sekarang, ditambah dengan bumbu klise, "Anak-anak zaman sekarang cuek, tidak peduli dengan budayanya sendiri." Sedihnya,
stereotype semacam itu masih ada hingga saat ini.
Keadaan ini mengingatkan kita akan sebuah adegan dalam Tokyo Monogatari (atau Tokyo Story), sebuah film produksi Jepang. Pada pertengahan film yang disutradarai oleh Yasujiro Ozu ini, tampak tiga laki-laki lanjut usia sedang minum-minum di kedai
sake. Sambil setengah mabuk, mereka berkeluh kesah tentang anak-anak mereka yang sudah dewasa. Seorang yang bernama Numata menganggap anaknya gagal sebagai laki-laki, karena hanya bisa menjadi kepala asisten di sebuah perusahaan. Akan tetapi temannya, Shukichi, menjawab, “Saya juga sama tidak puasnya dengan Anda. Tetapi kita tidak bisa berharap terlalu banyak dari anak-anak kita. Zaman telah berubah. Kita harus memaklumi mereka.”
Meskipun dibuat di tahun 1953, kisah yang diangkat dalam Tokyo Monogatari masih relevan di masa sekarang. Terlebih lagi dewasa ini, saat kita sudah memasuki zaman modern. Peralihan dari abad ke-20 menuju abad ke-21 sering disebut oleh para ahli sosial sebagai batas besar antara generasi pra-digital dan generasi digital. Dalam konteks Indonesia, bonus demografi yang saat ini dialami, yaitu banyaknya populasi penduduk usia produktif terutama remaja, menandakan bahwa generasi digital tengah membeludak pula jumlahnya.
Karena itu, ucapan generasi Y (mereka yang lahir di tahun 1980-1994) di Indonesia yang mempersalahkan generasi muda saat ini, misalnya karena sering bermain
handphone sehingga cenderung malas untuk membuka buku, tidak bisa sepenuhnya dibenarkan. Zaman telah berubah. Teknologi dan Internet merevolusi peradaban manusia. Komunikasi dan pertukaran informasi menjadi semakin cepat. Kebutuhan-kebutuhan semakin mudah terpenuhi. Singkatnya, kehidupan manusia menjadi semakin mudah lagi. Secara otomatis, generasi muda masa kini, yang sedari lahir sudah akrab dengan teknologi dan gawai, terbiasa menjalani kehidupan yang lebih mudah dibanding generasi Y. Bukan salah mereka jika mereka memiliki mentalitas “lebih santai”. Mereka bahkan tidak meminta dilahirkan di zaman serba modern ini.
Kaitannya dengan kebudayaan Indonesia, generasi muda saat ini juga tidak dapat dipersalahkan apabila mereka tidak hapal lagu-lagu daerah atau kurang gemar mengenakan busana batik. Sebelum ramai-ramai pengklaiman budaya Indonesia oleh Malaysia, generasi Y juga kurang proaktif dalam mengenalkan budaya nasional kepada generasi yang lebih muda. Mereka justru memuji dan bersorak saat anak mereka menampilkan tarian hip hop, namun memindah saluran televisi apabila acara ludruk sedang tayang. Mereka menggemari grup-grup band aliran pop yang notabene adalah adaptasi dari budaya luar, namun tidak pernah memperdengarkan lagu-lagu daerah Indonesia di rumah.
Jawaban akan pertanyaan bagaimana dalam menghadapi terpaan budaya luar bangsa, seperti yang ada dalam soal ujian nasional SMA, adalah menerima budaya luar tersebut namun tidak sepenuhnya dan disesuaikan dengan budaya bangsa. Itu memang benar. Namun, yang terjadi pada kebanyakan orang dari generasi Y adalah mereka terlanjur keblinger dengan budaya luar yang seolah tidak terbendung karena majunya teknologi. Sehingga mereka nyaris sepenuhnya meninggalkan budaya bangsa, dan menjadi lupa untuk menurunkan warisan-warisan budaya seperti lagu-lagu, tari-tarian, beladiri, dan kerajinan-kerajinan tradisional.
Keluarga adalah tempat sosialisasi yang pertama dan utama bagi setiap individu. Kaitannya dengan bahasan kali ini adalah apabila orang tua menginginkan anaknya untuk mempunyai rasa memiliki terhadap warisan budaya nasional, merekalah orang pertama yang seharusnya menurunkan warisan budaya tersebut kepada anak-anak mereka. Pada kenyataannya, banyak dari generasi Y yang dahulu tidak mengenalkan budaya tersebut. Sehingga tak heran apabila anak-anak Indonesia zaman sekarang seolah kaget dan terkagum dengan budayanya sendiri, yang sesungguhnya sudah ada dari dulu.
Sehingga, tidak seharusnya generasi lampau mempersalahkan anak muda karena tidak menggemari kebudayaan asli bangsa. Selain karena terpaan modernisasi, mereka juga kurang dibiasakan terhadap budaya bangsa sedari kecil. Jangan sampai
stereotype akan sikap acuh tak acuh anak muda terhadap budaya bangsa justru menjadi acuan konsep diri mereka. Karena tidak ada bangsa tanpa budaya, dan budaya tidak akan bertahan apabila tidak diwariskan. Maka, mempertahankan dan menurunkan warisan budaya adalah tugas tiap generasi demi keberlangsungan dan kejayaan bangsa Indonesia.
(ded/ded)