Jakarta, CNN Indonesia -- Seperti yang kita tahu, pada 30 Maret 2016 dunia perfilman Indonesia merayakan hari besarnya. Semua postingan tentang hari itu, yang dikenal dengan nama Hari Film Nasional (HFN) muncul di berbagai media sosial saya. Dimulai dari ucapan selamat, mengulas kata-kata menarik dari film-film yang telah ditayangkan hingga membagikan tautan pemberitaan sejarah perfilman negeri ini.
Namun, ada hal yang menarik dibandingkan itu semua, yakni regulasi tentang perfilman. Mungkin banyak yang tidak tahu prosedur hukum dan aturan yang mengatur Perfilman Indonesia. Hal itu disebabkan kondisi masyarakat yang lebih condong sebagai penikmat film dan sarana hiburan diri setelah beraktivitas.
Saat masa sidang ke-3 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dimulai dari 11 Januari hingga 18 Maret 2016, komisi X DPR sering mengadakan rapat panitia kerja (panja) perfilman. Panja perfilman ini dibentuk untuk membahas hambatan dan kebutuhan dunia industri film di Tanah Air [1]. Dalam rapat panja tersebut, komisi X DPR sering mengadakan rapat dengar pendapat (RDP) dengan praktisi perfilman, pakar film, hingga akademisi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tujuan diadakannya panja adalah untuk menerima masukan, saran dan usulan dari masyarakat untuk menyusun revisi UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Menurut pemerintah dan masyarakat, UU saat ini belum menyeluruh dan masih ada konten yang harus diatur ulang. Hal ini juga ditambahkan oleh Ketua Panja Perfilman komisi X DPR RI Abdul Kharis yang menyatakan panja ini dibentuk untuk mencari solusi terbaik dalam mengatasi permasalahan degradasi mutu film nasional [2].
Pada laman DPR, Venna Melinda yang juga anggota komisi X DPR menyatakan revisi UU Perfilman disebabkan karena adanya multitafsir pada UU tersebut. Lalu, pemerintah belum mengeluarkan bahkan menyusun Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen) [3]. Kondisi tersebut mengakibatkan pelaku perfilman tidak mempunyai landasan hukum yang kuat.
Permasalahan tidak hanya terjadi sampai hal tersebut. Semenjak dihapuskannya perfilman dari Daftar Negatif Investasi (DNI), kini pemilik modal dapat menguasai 100 persen jasa teknik, produksi, distribusi dan eksibisi bioskop, termasuk investor asing. Hal yang ditakutkan dalam kondisi tersebut, jumlah layar film nasional di bioskop semakin berkurang. Pada saat masih berada di DNI, jumlah layar film nasional hanya 20 persen [4]. Padahal, dalam UU Perfilman menyatakan jumlah layar film nasional seharusnya memiliki kuota 60 persen dan film impor hanya 40 persen saja.
Bagaimana selanjutnya? Oleh karena itu, penguatan regulasi harus benar-benar diupayakan maksimal oleh anggota dewan. RDP harus sering dilakukan untuk menjalin aspirasi pelaku perfilman negeri ini. Semua multitafsir yang masih ada dalam UU Perfilman harus segera dipecahkan.
Badan Perfilman IndonesiaDalam UU Perfilman saat ini diamanatkan sebuah lembaga baru yang bernama Badan Perfilman Indonesia (BPI). Keberadaan BPI saat ini merupakan sebuah oase untuk manajemen industri perfilman Tanah Air.
Ketika perfilman ingin dihapuskan dari DNI, BPI mengajukan pertimbangan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Walaupun, pada paket kebijakan X pemerintah telah menghapus industri perfilman dari DNI. Hal ini akhirnya membawa beban tersendiri bagi BPI untuk menaikkan kualitas perfilman Indonesia ketika industri perfilman tidak tercantum dalam DNI.
Namun, BPI memiliki inkonsistensi terutama dalam bidang pengelolaan websitenya yakni https://www.bpi.or.id/ masih memiliki kekurangan. Konten yang tercantum di website tersebut masih konten lama yang terakhir dipublikasikan pada tahun 2015. Data perfilman juga hanya memuat UU Perfilman dan kesalahan yang paling fatal adalah tidak adanya kebaruan di tampilan struktur kepengurusan BPI. Padahal, ketua BPI telah berganti dari Almarhum Alex Komang menjadi Kemala Atmojo [5].
Untuk saat ini, saya berpendapat BPI masih belum dominan dalam melakukan tugas dan fungsinya. Pertama, adanya ketidakjelasan lembaga ini untuk berada di bawah naungan Kementerian Pariwisata atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Seharusnya suatu lembaga memiliki kejelasan untuk bernaung dalam satu kementerian. Lalu, melihat dari kurangnya pembaruan di website BPI dan visi-misi BPI yang belum terasa, maka harus adanya PP atau Permen yang mendukung dan menguatkan BPI, terutama dalam hal pendanaan.
Revisi dan Implementasi UUPada akhirnya, RUU Perfilman merupakan agenda terpenting DPR terutama Komisi X setelah menjalani masa reses, walaupun Presiden Joko Widodo sempat menyindir DPR yang sedang on fire dalam hal legislasi. DPR juga sekali lagi jangan melupakan aspirasi yang telah dikeluarkan oleh teman-teman kita di dunia industri perfilman dan mencari solusinya. Apalagi fakta di lapangan menyatakan bahwa saat ini banyak peminat film, tapi konsepnya belum jelas.
Implementasi dari UU Perfilman juga harus diutamakan. Saya setuju dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) yang memaparkan kondisi terkini di Indonesia. Menurutnya kualitas film Indonesia rendah karena jumlah sekolah film jenjang S1 di Indonesia rmasih kurang yaitu di bawah 10 dan jika dibandingkan dengan Korea Selatan yang memiliki 300 sekolah film, kita masih kalah jauh.
Kemudian belum adanya transparansi data penonton film Indonesia dan Impor yang memiliki manfaat untuk menganalisa pasar [6]. Komposisi layar film lokal juga harus ditingkatkan dan jangan sampai pelaku industri malah pesimis dengan mengatakan hanya tersedia 20 persen layar film lokal di bioskop.Pemerintah juga harus menjalin kerja sama dengan pelaku industri film agar mereka mengerti bahwa komposisi layar di bioskop sesuai UU Perfilman adalah 60 persen lokal dan 40 persen untuk film impor.
Pemerintah juga harus melakukan cara-cara yang tepat untuk meningkatkan film nasional yang berkualitas agar implementasi UU dapat berjalan baik. Lalu, agar industri perfilman tidak memiliki beban karena dipaksa membuat film yang mengadaptasi budaya luar. Film berkualitas jelek pun seharusnya tidak ditayangkan di bioskop agar adanya kompetisi di antara pelaku perfilman dalam usahanya membuat karya terbaik.
Tak lupa, pemerintah harus cepat dalam menerbitkan PP dan Permen.
Selamat Hari Film Nasional ke-66!
Catatan Kaki:
[1] https://lifestyle.bisnis.com/read/20150910/254/470821/dpr-akan-bentuk-panja-perfilman
[2] https://www.lintasparlemen.com/parlementaria/panja-perfilman-dpr-minta-seniman-tingkatkan-mutu-film-yang-dibuat/
[3] https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/12067 [4] https://hiburan.metrotvnews.com/read/2016/02/09/481801/indonesia-butuh-lebih-banyak-layar-bioskop
[5] https://filmplus.co/47189/kemala-atmojo-gantikan-alex-komang-jadi-ketua-bpi
[6] https://chirpstory.com/li/308000
(ded/ded)