Menengok Makam Tjut Nja Dhien di Sumedang

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Kamis, 20 Okt 2016 12:06 WIB
Tjut Nja Dhien adalah pahlawan wanita dari Aceh. Tapi sosok karismatik ini justru dimakamkan di Sumedang, Jawa Barat. Bagaimana ceritanya?
Makam pahlawan nasional Tjut Nja Dhien di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan. Dia wafat pada 6 November 1908. (Foto: Elfride Isai Maranatha Siagian)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tjut Nja Dhien dilahirkan di Aceh pada 1848. Sejak lahir beliau mendapatkan pendidikan agama dari lingkungan bangsawan Aceh. Dia merupakan pahlawan wanita Aceh Barat yang dijuluki Srikandi Indonesia karena gigih melawan penjajah Belanda sejak perang Aceh meletus pada 1873.

Beliau merupakan anak dari Teuku Nanta Setia. Ibunya seorang bangsawan dari Lampagar. Kakaknya adalah Teuku Rayut.

Suami Tjut Nja Dhien pertama bernama Teuku Ibrahim dan yang kedua seorang panglima perang bernama Teuku Umar Johan Pahlawan. Dengan Teuku Nanta beliau melahirkan seorang putri bernama Cut Gambang. Sedangkan suami kedua meninggal tertembak Belanda pada 11 Februarui 1899, di Ujung Kala, Meulaboh.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tjut Nja Dhien memiliki semangat juang tinggi untuk melawan penjajahan Belanda di Aceh. Beliau seorang pahlawan wanita yang berjiwa ksatria membela bangsa, negara dan agama, dengan semangat yang berapi-api. Namun, semangat tersebut membuat beliau dianggap ancaman besar bagi kekuasaan Belanda. Akhirnya Belanda menangkap dan membuang beliau dari Aceh ke daerah terpencil di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.

Pembuangan bermula ketika Belanda menerima laporan dari panglima perang Teuku Panglot kepada Belanda terkait keberadaan Tjut Nja Dhien. Akhirnya, beliau ditangkap pada 6 November 1905.

“Tju Nja Dhien adalah pahlawan wanita yang benar-benar pahlawan, karena perang selama 33 tahun di dalam hutan, jasanya melebihi RA Kartini dan Sartika,” ujar Dadan R.Kusumah, selaku Ahli Waris Pengurus Makam atau disebut sebagai Juru Kunci makam Tjut Nja Dhien, sejak tahun 1993. Setelah sang nenek wafat, dialah yang meneruskan menjaga makam tersebut. Dia merupakan cucu dari orang yang sempat merawat Tjut Nja Dhien semasa hidup.

Panglima Perang Tengku Panglot melaporkan keberadaan Tjut Nja Dhien karena merasa kasihan dengan kondisinya yang menyedihkan dan sudah tidak dapat melihat. Ketika melaporkan, Tengku Panglot dan Belanda sudah membuat perjanjian bahwa Tjut Nja Dhien tidak boleh dianiaya ataupun diasingkan. Pihak Belanda berkhianat dan akhirnya Tjut Nja Dhien dibuang ke Sumedang pada 11 Desember 1906.

Pembuangan terjadi saat kepemimpinan Gubernur Jenderal Belanda J.B.V. Heuts dan saat itu Tjut Nja Dhien diserahkan kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja (Pangeran Mekah), anak dari Pangeran Aria Kusumah Adinata (Pangeran Sugih). Dia kemudian diserahkan kepada ulama Masjid Agung Sumedang yang sudah mendapat gelar Penghulu bernama K.H. Sanusi.

“Rumah K.H Sanusi direnovasi. Jadi, Tjut Nja Dhien dititipkan di rumah H. Ilyas selama dua hingga tiga minggu, tapi setelah selesai renovasi beliau kembali lagi ke rumah K.H Sanusi,” Dandan menjelaskan kronologis saat Tjut Nja Dhien dirawat di Sumedang.

Tjut Nja Dhien hanya dirawat selama satu tahun oleh K.H Sanusi karena K.H Sanusi meninggal pada 1907. H. Husna melanjutkan tugas dalam merawat Tjut Nja Dhien hingga beliau wafat. Selama dalam perawatan H. Husna dan Siti Hodijah, Tju Nja Dhien menderita gangguan penglihatan. Walaupun di tengah keterbatasannya beliau tidak pernah menerima bantuan yang diberikan oleh pihak Belanda. “Tetapi ada Pangeran Aria Sumariaatmaja sangat memperhatikan kebutuhan beliau dan orang yang paling dekat dengan beliau adalah H. Husna dan Siti Hodijah. Siti Hodijah adalah nenek saya,” Dadan menambahkan.

Dadan juga mengatakan, selama hidup Tjut Nja Dhien di tengah kebutaannya, beliau tetap memberikan pelajaran mengaji khususnya kepada kaum ibu masyarakat Sumedang. Melalui kegiatan tersebut Tjut Nja Dhien mendapat julukan Ibu Perbu atau Ibu Ratu. Masyarakat Sumedang secara khusus juga menyebut beliau sebagai Ibu Suci. Dalam berkomunikasi dengan H. Husna dan Siti Hodijah di rumah yang berada di belakang Masjid Agung Sumedang, Tjut Nja Dhien menggunakan bahasa Arab.

Tjut Nja Dhien wafat pada 6 November 1908 dan dimakamkan di lokasi Makam Keluarga H.Husna di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan. Sebelum 1959 tidak ada yang mengetahui bahwa makam tersebut adalah makam Pahlawan Nasional Tjut Nju Dhien, tetapi makam Ibu Perbu. Setelah H. Husna wafat tahun 1948 barulah diketahui bahwa itu adalah makam Tjut Nja Dhien seorang Pahlawan Nasional.

“Tjut Nja Dhien tidak dimakamkan di Aceh karena ia telah dibuang oleh Belanda ke Sumedang. Jika dibawa kembali ke Aceh untuk dimakamkan di sana, itu berarti kita sebagai saksi sejarah telah mengubah sejarah tersebut. Sejarah menjadi tidak utuh karena sudah direkayasa,” tutur Dadan menjelaskan penyebab pemakaman Tjut Nja Dhien yang berada bukan di tempat kelahirannya. “Sempat ada wacana ingin memindahkan makam ini, tetapi pihak Departemen Dalam Negeri (Depdagri) tidak mengizinkannya,” tambahnya.

Makam Tjut Nja Dhien ini merupakan pemakaman keluarga H. Husna. Melalui penjelasan Juru Kunci diketahui bahwa tidak ada orang lain selain keluarga H. Husna yang boleh dimakamkan di tempat tersebut.

“Tjut Nja Dhien sudah lama tinggal dan dirawat oleh H. Husna. Jadi, H. Husna memilih memakamkan beliau di tempat ini,” ujarnya. Di tempat pemakaman yang sama K.H. Sanusi, H. Husna, dan Siti Hodijah yang dimakamkan secara berdampingan berdekatan dengan makam Tjut Nja Dhien.

Di lokasi pemakaman tersebut terdapat sebuah meunasah yang berarti musala, yang dibangun bersamaan dengan renovasi pemakaman Tjut Nja Dhien oleh Pemerintah Daerah Sumedang dan Bustanil Arifin, Menteri Bulog pada 1987. Meunasah tersebut diresmikan oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Ibrahim Hasan.

Perbaikan pemakaman Tjut Nja Dien terus dilakukan agar sejarah tetap bisa terjaga dari generasi ke generasi. Pada 1983 dilakukan pembentengan area lokasi makam oleh Pemprov Aceh. Pada 2008 dilakukan renovasi sarana jalan menuju makam, perapihan jembatan meunasah, pembuatan toilet serta tempat wudhu. Dan pada 2013 dilakukan pemasangan prasasti Tjut Nja Dien.

“Semuanya direnovasi oleh Pemda Aceh bukan Sumedang,” jelas Dadan. “Gubernur Aceh, Irwan Djohan juga berencana membangun duplikat rumah Tjut Nja Dhien yang ada belakang Masjid Agung Sumedang, di kawasan pemakaman untuk dijadikan candi. Sebagai bukti bahwa Tjut Nja Dhien pernah berada lama di Sumedang.”

Seperti yang dilansir dari sebuah media, Kepala Dinas Pedidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumedang, Eem Hendrawan, melalui Kepala Bidang Kebudayaan Rusyana mengatakan Pemerintah Kabupaten Sumedang berkomitmen menjaga dan memelihara seluruh peninggalan Tjut Nja Dhien yang ada di Sumedang, mulai dari rumah tinggal hingga makam.

Makam Tjut Nja Dhien berdasarkan dokumen yang dimiliki pihak pengurus selalu ramai dikunjungi oleh para pelajar, majelis taklim, instansi pemerintahan, TNI, dan masyarakat Aceh yang rutin datang.

“Dalam sebulan bisa mencapai lebih dari 400 orang yang datang, kadang ada rombongan yang datang sampai 300 orang. Pada 6 November, memperingati hari wafat Tjut Nja Dhien, dari tingkat kepala desa hingga gubernur, mereka datang dari Aceh ke sini,” ujar Dadan.

Dadan selaku pengurus makam mengatakan, “Kita sebagai generasi penerus bangsa Indonesia wajib mengikuti jejak langkah perjuangan dan keagungan jiwa Tjut Nja Dhien.” Pelajaran mengenai sejarah harus terus diterapkan pada mahasiswa agar sejarah tidak hilang dan tetap bisa diketahui oleh generasi berikutnya.

Wawan Herlawan, Kasi Kepurbakalaan dan Sejarah Disdikbud mengatakan bahwa pihaknya selalu beusaha untuk mengenang jasa Tjut Nja Dhien bagi Sumedang. Pihak Disdikbud mengajak seluruh pelajar, tingkat TK hingga SMA di Kabupaten Sumedang untuk rutin berziarah ke makam Tjut Nja Dien. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER