Jakarta, CNN Indonesia -- Mungkin kamu akan heran apa arti "sarjana power point" ini. Sarjana ini bukanlah orang yang menyelesaikan pendidikan Strata-1 nya dalam bidang per-
powerpoint-an. Tapi maksudnya adalah lulusan perguruan tinggi yang memiliki IPK bagus tapi memiliki kualitas yang biasa-biasa saja.
Seketika mungkin kamu langsung mencibir saya karena menghina orang-orang yang sudah lulus susah payah itu. Memangnya saya siapa bisa-bisanya menyebut kualiatas orang lain itu hanya biasa-biasa saja? Sebelum beranjak lebih jauh lagi, saya ingin tekankan bahwa tulisan ini hanya sebuah OPINI, mohon dimaafkan kalau tidak sependapat dengan apa yang kamu pikirkan.
Masih tingginya tingkat pengangguran
fresh graduate di Indonesia bukan hanya ditentukan oleh nasib semata, tapi memang karena minimnya
life skill,
hard skill, maupun
soft skill yang dimiliki para
fresh graduate.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebanyakan sarjana tersebut saat menempuh pendidikan di perguruan tingginya masing-masing hanya semata-mata membaca materi perkuliahan dari
print out power point yang digunakan dosennya saat menyampaikan materi perkuliahan dan di waktu luang lebih memilih membaca status di berbagai
social media yang tersimpan rapi dalam
smartphone-nya, dibanding membaca literatur atau referensi lain untuk menunjang kegiatan perkuliahan.
Ditambah lagi dengan rutinitas: datang kuliah-pulang-internetan-makan-tidur-kuliah lagi dan begitu terus diulang-ulang sampai lulus. Dengan rutinitas membosankan seperti itu tidak akan memunculkan sesuatu yang akan bisa dibanggakan saat menjawab pertanyaan tim rekrutmen saat
interview kerja nanti (hal ini tak berlaku untuk Entrepreneur ya).
Sudah penguasaan teori yang buruk,
skill yang tidak mumpuni, ditambah lagi dengan tak ada yang bisa dibanggakan di dalam CV, lengkap sudah
starter pack seorang pengangguran (tapi tenang, hal ini tidak akan berlaku jika kamu memiliki ‘kenalan’ atau ‘orang dalem’ di perusahaan tempat kamu melamar pekerjaan).
Tak perlu panjang-panjang mengkritisi hidup orang lain, itu hanya akan menambah kebencian orang lain kepada saya saja. Langsung saja dalam kesempatan kali ini saya ingin berfokus pada hobi kebanyakan mahasiswa kekinian yang dalam mencari ilmu sering cuma bermodalkan
print out power point saja.
Ingat, saya bilang kebanyakan yang artinya tidak semuanya seperti begitu. Yang masih berstatus mahasiswa baik itu baru maupun bangkotan pasti pernah belajar dari
print out slide power point yang dipakai dosennya saat mengajar di kelas.
Tak jarang pula (malah sangat banyak) yang hanya mengandalkan materi tersebut dalam mempersiapkan UTS maupun UAS. Padahal sebenarnya
slide power point tersebut hanya bersifat penunjang. Tak mungkin semua isi literatur akan di
copy-paste ke dalam
slide tersebut. Makanya nama
software buatan Microsft itu adalah
power point, yang artinya hanya poin-poin utama saja yang ditampilkan.
Sayangnya hal ini sering ditafsirkan lain oleh mahasiswa dalam proses perkuliahan. Banyak yang jadi berpikir bahwa yang tercantum dalam
power point itu adalah hal-hal yang memang penting saja dan tak perlu mencari dari referensi lainnya. Kebiasaan buruk ini terus dilakukan hingga selesai menempuh pendidikan dan pada akhirnya menciptakan sarjana yang jangankan dalam praktik, penguasaan teorinya saja amat sangat dangkal.
Celakanya kebiasaan buruk ini ternyata juga berasal dari kebiasaan para dosen. Banyak dosen yang dalam membuat soal UTS maupun UAS berpedoman penuh pada
slide yang dibuatnya mirip
text book itu (1
slide terdiri dari 20 baris tulisan dengan ukuran font yang kecil sekali), sehingga mahasiswa berpikir bahwa yang penting dipelajari hanya yang akan keluar saat ujian saja.
Yang tidak keluar saat ujian mungkin bisa dibaca di lain waktu atau tidak perlu dibaca selamanya. Maka dari kebiasaan inilah terciptalah sarjana
power point (S.PPT), yaitu sarjana yang hanya bermodalkan
print out materi
power point selama proses menimba ilmu di perguruan tinggi.
Tak imbang rasanya jika terlalu menyudutkan mahasiswa terus-menerus. Mari kita lihat dari sisi sistem tenaga pendidiknya. Masih banyak dosen dalam kegiatan pengajaran membuat
slide yang sudah saya ibaratka tadi mirip dengan
text book, maksudnya adalah dalam satu
slidenya berisi 15-25 baris tulisan yang ukuran fontnya kecil minta ampun.
Mungkin bagi mahasiswa yang duduk di baris 1 sampai 5 masih dapat melihatnya, lantas bagaimana dengan ‘penunggu barisan belakang’? Sudah duduknya yang paling belakang,
slide yang ditampilkan juga tak kelihatan, hilang sudah niat untuk mengikuti kegiatan perkuliahan.
Seharusnya, dalam membuat materi
power point yang baik itu tidak lebih dari 5 baris dalam satu
slide. Jikalau dianggap perlu bisa ditambah ilustrasi pendukung sehingga mahasiswa pun tidak merasa bosan dengan tampilan
slide yang biasanya hanya terdiri dari huruf dan angka saja.
Dalam
slide yang baik juga seharusnya hanya menampilkan poin-poin utamanya saja, untuk penjelasannya bisa diutarakan secara lisan oleh dosen itu sendiri. Saya ambil contoh ketika almarhum Steve Jobs (ya walaupun dia bukan dosen tapi gaya presentasinya diakui sangat baik oleh banyak orang) melakukan presentasi salah satu produk Apple, dia hanya menggunakan 1-3 kalimat ditambah dengan ilustrasi pendukung sehingga presentasinya tidak membosankan untuk diikuti para
audience.
Gaya ini saya kira bisa diterapkan dalam sistem pengajaran di kampus-kampus Indonesia. Dengan hal sederhana seperti memperbaiki kualitas materi dalam bentuk
power point itu bisa merangsang mahasiswa untuk lebih aktif mencatat dan memperhatikan dosen ketika menerangkan materi perkuliahan.
Hal ini terjadi karena
slide yang ditampilkan dosen dibuat sesederhana mungkin tapi sudah mewakili apa yang ingin dosen sampaikan sehingga bagi mahasiswa yang tidak memperhatikan bisa ketinggalan materi perkualiahan.
Para mahasiswa pun menjadi lebih ‘terpaksa’ membaca literatur atau referensi lainnya karena merasa catatannya maupun apa yang disampaikan dosen saat kegiatan perkuliahan mungkin masih kurang lengkap. Hal ini juga bisa menekan jumlah mahasiswa yang biasanya pada saat kegiatan perkuliahan menurunkan kepalanya 60 derajat ke bawah menghadap layar
smartphone-nya masing-masing ketika dosen sedang menyampaikan materi.
Pada akhirnya sarjana yang berkualitas itu tergantung pada diri kita sendiri, tapi bukan berarti kampus tak memiliki peran penting dalam menciptakan lulusan yang berkualitas. Keinginan untuk menjadi sumber daya manusia yang unggul harus selalu ditanamkan sejak dini, peran tenaga pendidik dalam memotivasi mahasiswa untuk selalu kritis dan gemar membaca literatur juga harus lebih digalakkan lagi.
Apalagi sejak 2015 kemarin Masyarakat Ekonomi ASEAN sudah resmi berlaku, sehingga persaingan dunia kerja tak lagi hanya dengan sesama warga negara sendiri tapi juga dengan negara tetangga lainnya. Ekspansi tenaga kerja secara masif dari negara lain ini harus diantisipasi sebaik mungkin agar pada akhirnya tidak berakhir menjadi budak di negera sendiri.
Bagi yang belum lulus dari bangku kuliah mungkin bisa mengusulkan gaya mengajar seperti yang saya utarakan atau barangkali punya ide yang lebih bagus lagi dalam hal peningkatan kualitas lulusan perguruan tinggi. Hal ini kiranya bisa diusulkan kepada dosen yang bersangkutan maupun langsung ke pihak fakultas atau universitas masing-masing.
Marilah bersama kita wujudkan citra sarjana unggulan dari diri sendiri terlebih dahulu. Agar yang namanya sarjana
power point itu tidak menjamur lagi dan bisa meningkatkan daya saing sumber daya manusia Indonesia di tingkat ASEAN maupun dunia.
(ded/ded)