Jakarta, CNN Indonesia --
“Dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan).”Itulah kutipan surat Pangeran Antasari, tertanggal 20 Juli 1861, kepada penjajah Belanda. Dia memang sosok yang pantang menyerah.
Pangeran Antasari adalah seorang bangsawan di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar. Dia putra Pangeran Mas’ud dan Gusti Hadijah, puteri Sultan Sulaiman. Dia juga cicit dari Sultan Aminullah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Antasari dinobatkan pada 14 Maret 1862 sebagai penguasa Kesultanan Banjar. Gelarnya, Panembahan Amiruddin Khalifatun Banjar, atau sebutan lain untuk Sutan Banjar.
Selain memimpin suku Banjar, ia juga merupakan pemimpin beberapa suku, di antaranya: suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainnya yang berdiam di kawasan dan pedalaman sepanjang Sungai Barito, baik yang beragama Islam maupun Kaharingan.
Ia juga dikenal sebagai pemuka agama. Tapi sosoknya lebih dikenal sebagai pejuang kemerdekaan. Dia bergabung dengan para pembela tanah air yang ingin mengusir Belanda dari nusantara.
Pangeran Antasari berhasil menyatukan gerakan-gerakan perlawanan yang tadinya berdiri sendiri, menjadi perlawanan yang lebih terkomando. Lewat kepemimpinannya, gerakan-gerakan kepemimipinan di kalangan rakyat Panembahan Aling di Muning, Tumenggung Jalil di Benua Lima, berhasil ia satukan.
Bahkan, ia memperluas wilayah perlawanan hingga mencakup wilayah Tanah Dusun Atas, Tabanio, Kuala Kapuas hingga tanah Bambu. Pengaruhnya yang begitu luas terhadap gerakan perlawan rakyat ini, juga mendapat dukungan dari para ulama Banjar.
Dengan dukungan 6.000 tentara, Pangeran Antasari melancarkan serangan pada 28 April 1859, yang kemudian disebut Perang Banjar. Dalam perjuangannya, Antasari menetapkan prinsip “Haram menyerah”.
Untuk memperingati selalu kepahlawanan Pangeran Antasari, pemerintah mencantumkan wajahnya di lembaran uang kertas pecahan Rp2.000.
(ded/ded)