Jakarta, CNN Indonesia -- “Tol air hanya mempercepat menggelontorkan air ke hilir. Sementara itu, secara ekologis, harusnya solusi itu ialah bagaimana air diresapkan.” Ucap Taufan Suranto, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda dalam diskusi “Banjir Bandung, Salah Ridwan Kamil?
Itulah salah satu pernyataan yang dikutip dari Pikiran Rakyat Bandung, Sabtu (29/10).
Seketika terbersit dalam pikiran saya, bagaimana jadinya jika banjir terus terjadi setiap tahunnya dan di sisi lain Bandung hanya mengandalkan program tol airnya, yang pada Selasa lalu (25/10) dibangga-banggakan oleh orang nomor satu di Bandung, tetapi tiga hari setelahnya kata-kata tersebut hagus karena tol air tersebut tak mampu membendung banjir yang terjadi di beberapa titik di Bandung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam Tempo.co, Jumat (28/10), Ridwan Kamil mengatakan teknologi tol air ini adalah sebuah saluran khusus yang tidak bercabang. Air yang melewati saluran tersebut akan langsung dibuang ke sungai. Teknologi ini dikatakan sudah berjalan selama dua bulan dan selama itu hasilnya Gedebage tidak banjir lagi. Namun sayangnya, hasil dari program ini hanya bertahan sebentar layaknya uji coba. Padahal di Gedebage sendiri sudah ada tiga pompa yang disediakan untuk menyedot genangan air.
Pasalnya banjir tidak hanya terjadi di daerah Gedebage saja. Senin lalu (24/10) hujan deras yang mengguyur Bandung mengakibatkan daerah Pagarsih dan Pasteur tergenang banjir. Hal ini dikarenakan sungai Citepus yang dinilai bermasalah dalam jumlah debit airnya ini akhirnya meluap dan berimbas pada dua titik tersebut. Melihat pemasangan teknologi tol air yang dirasa efektif oleh Kang Emil sebelum banjir Gedebage terjadi, tadinya ia sudah merencanakan untuk menerapkan program yang serupa di Pagarsih dan Pasteur.
Berbagai Solusi Dijalankan Lagi-lagi, teknologi tol air yang dielu-elukan Walikota Bandung, Ridwan Kamil dan Dinas Bina Marga dan Pengairan, Iskandar Zulkarnain, terkesan dianggap paling efektif dibandingkan dengan program rumah pompa (
house pump) dan perbaikan gorong-gorong di sejumlah titik jalanan di Bandung.
Dalam berita langsung yang menjadi inspirasi saya untuk menulis artikel ini, dikatakan bahwa Iskandar Zulkarnain menganggap tol ini efektif karena genangan banjir lebih cepat surut. Ia membandingkan dengan keadaan sebelum adanya tol air di mana sebelumnya jika terjadi banjir di siang hari, banjir baru surut saat malam hari. Namun dengan adanya tol air, banjir dapat surut dalam waktu yang lebih cepat dari itu.
Namun teknologi tol air ini diperkirakan hanya memindahkan masalah saja. Ada yang menilai sebagai solusi parsial, berjalan sebagai solusi jangka pendek saja, juga tidak sesuai dengan kaidah ekologis. Taufan Suranto kembali mengatakan adanya tol air ini berarti ada perubahan kecepatan air mengalir. Menurutnya inovasi ini sebenarnya bisa tetap diajukan tetapi dengan penyesuaian konsep penanganan dari pusat. Di mana sebaiknya Pemkot melakukam koordinasi terlebih dahulu.
Selain teknologi tol air ini sebenarnya masih banyak solusi lain dari Pemkot. Mulai dari pembangunan rumah pompa, pembesaran gorong-gorong, dan danau buatan raksasa yang menjadi solusi jangka panjang dari Ridwan Kamil dalam menangani banjir.
Semua program ini memasuki tahap pembangunan, di mana perbaikan gorong-gorong sudah mulai berjalan di 19 titik daerah di Bandung dan rumah pompa yang dikabarkan pembangunannya sedang berjalan setelah akhir September lalu selesai pelelangannya. Rencananya rumah pompa baru akan dibangun lagi di daerah Penyileukan dan Citepus.
Program ini juga menjadi harapan warga dalam menghadapi banjir. Jika sesuai dengan kontrak perjanjian, pengoprasian rumah pompa ini mulai bisa dilakukan di akhir tahun 2016.
Peran Masyarakat DibutuhkanIronisnya, jika kita sebagai warga Bandung mau sedikit mengintrospeksi diri dan tidak egois, kita akan sadar bahwa penyebab banjir tidak hanya disebabkan oleh buruknya cuaca dan drainase yang buruk. Faktor tangan manusia merupakan penyebab lain yang harus diakui, menyadari bahwa kita juga yang sedikit banyak “berkontribusi” dalam peristiwa banjir ini.
Hal ini seakan secara sengaja diabaikan karena masyarakat hanya bisa berkomentar dan terus meminta solusi dari pemerintah. Padahal warga Bandung sendiri bisa memberikan kontribusi langsung tanpa menunggu aksi dari pemerintah. Jika kita mau berpikir sedikit, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mencegah banjir Bandung.
Salah satunya dengan berhenti membuang sampah sembarangan. Perintah ini terkesan disepelekan oleh manusia-manusia yang mengaku selalu mematuhinya padahal kenyataannya tidak. Mereka membuang sampah di tempat yang dilumrahkan menjadi tempat pembuangan, padahal tidak semua tempat berkumpulnya sampah itu menjadi tempat sampah.
Contoh termudahnya adalah pinggir jalan yang secara terang-terangan menaruh peringatan seperti, “Jangan Membuang Sampah di Sini” tetapi di bawah tulisan itu banyak sampah berkumpul dengan manisnya.
Aksi lain yang bisa dilakukan adalah berhenti menggunakan
styrofoam seperti yang sudah diperintahkan dan dijadikan kebijakan sejak 1 November 2016, yaitu pelarangan menggunakan
styrofoam. Pasalnya bahan
styrofoam ini adalah bahan yang sukar dihancurkan dan bahan kimia yang terkandung di dalamnya bisa membahayakan kita. Menurut Hikmat Ginanjar, Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Bandung, setiap bulannya ada sebanyak 27 ton sampah
styrofoam dan banjir juga disebabkan oleh banyaknya sampah
styrofoam.
Selain itu pun masih banyak lagi aksi yang bisa dilakukan masyarakat dalam menghindari banjir. Jika kita terus berpangku tangan hanya bisa menunggu pemerintah yang mengatasi ini semua, bisa dipastikan penanggulangan banjir ini akan berjalan sangat lama.
Pemerintah pun butuh bantuan serta kerjasama dari warga Bandung. Mungkin memang tidak membuang sampah sembarangan dan stop penggunaan
styrofoam terlihat sepele jika dilakukan oleh individu, tetapi tentunya akan besar dampaknya jika dilakukan oleh banyak orang. Dengan adanya program yang dibangun oleh Pemerintah Kota Bandung serta kepedulian dari warga Bandung, pasti bisa menciptakan Kota Bandung yang bersih tanpa sampah.
*Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
(ded/ded)