Jakarta, CNN Indonesia -- Sebuah artikel di kategori Edukasi dalam situs CNN Student ini menarik minat saya. Tulisan berjudul “Mari Menulis Sepakbola Indonesia” itu membahas hal yang menarik, literasi sepakbola. Istilah itu adalah hal benar-benar baru bagi saya dan mungkin bagi masyarakat pula pada umumnya.
Penulis artikel itu, Angga Septiawan mengemukakan bahwa literasi sepakbola, terutama sepakbola Indonesia adalah hal yang penting. Oleh karena itu, menurut penulis artikel, literasi sepakbola Indonesia harus didukung oleh pemerintah. Dukungan dari pemerintah itu bisa berupa penugasan lembaga tertentu untuk menyediakan statistik sepakbola Indonesia atau pemberian fasilitas pada media-media yang bekerja untuk mencatat statistik sepakbola.
Sang penulis berharap dengan bantuan dari pemerintah itu, tulisan-tulisan mengenai sepakbola Indonesia berbentuk analisis taktik pertandingan lengkap dengan statistiknya bisa tumbuh subur. Maka, pada akhirnya masyarakat akan tertarik pula untuk ikut terlibat dalam dunia penulisan sepakbola, sehingga estafet penulisan di bidang itu bisa terus berlanjut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Inti gagasan artikel itu menjadi menarik bila kita melihat kondisi sepakbola Indonesia saat ini. Sepakbola kita sedang tertidur.
Belakangan, mungkin “mata” sepakbola sudah sedikit terbuka, tetapi untuk menyebutnya sudah benar-benar terbangun adalah hal yang kurang tepat. Sebab, pada saat tulisan ini dibuat, pemilihan petingi-petinggi PSSI masih dilakukan.
Kompetisi resmi sepakbola yang dinaungi nama “Indonesia Soccer Champinonship” (ISC), selain baru dibuat, pun akan berganti nama menjadi Indonesia Super League pada pertengahan 2017.
Dikhawatirkan pergantian nama itu akan mengubah lagi sistem kompetisi yang digunakan sekarang. Klub-klub sepakbola Indonesia sendiri masih dipertanyakan kesiapannya dalam hal manajemen dan kematangan permainan. Dalam kondisi seperti itu, kurang tepat bila kita mengalihkan pandangan pada hal yang kurang mendesak. Lalu, apa hal yang lebih mendesak?
Literasi dan Sepakbola IndonesiaSebelum membahas lebih jauh, kita perlu memahami dulu apa itu literasi. Kata “literasi” memang sudah sering digunakan dalam berbagai kesempatan. Namun, tidak ada definisi resmi dari kata itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Maka, kita pun perlu merujuk pada sumber lain. Menurut kamus dalam jaringan Merriam Webster, literasi bermakna kemampuan membaca dan menulis atau keadaan yang menunjukkan seseorang sudah terdidik dan memiliki pengetahuan yang kompeten atas suatu hal.
Menurut The National Institute for Literacy dan Unesco, literasi adalah kebutuhan, hak dasar umat manusia, dan fondasi pemikiran yang dapat digunakan sepanjang hidup untuk memahami serta mempelajari dunia. Kemampuan literasi dibutuhkan agar manusia bisa saling bertukar ide dan memecahkan masalah.
Singkatnya, literasi dibutuhkan agar manusia dapat berfungsi dengan baik atau dapat benar-benar merasakan hidup dan berpartisipasi dalam masyarakat. Secara praktis, peningkatan literasi, yang dilakukan lewat pendidikan formal maupun informal, adalah untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan serta mencegah terjadinya alienasi dan kekerasan pada individu atau golongan tertentu.
Ada kesamaan definisi dari tiga sumber itu. Disimpulkan bahwa literasi adalah keadaan yang menunjukkan seseorang sudah terdidik yang membuatnya bisa berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat.
Kemudian, kita perlu menafsir terlebih dahulu istilah “literasi sepakbola” dalam artikel yang ditulis oleh Saudara Angga. Literasi sepakbola atau saya tafsirkan sebagai pengajaran sepakbola secara mendalam, terutama yang menggunakan sarana penulisan lewat media massa, memang berkembang pesat belakangan.
Bila ditanyakan kapan tepatnya literasi jenis itu mulai berkembang, maka jawabannya adalah pada tahun 2010, terutama pasca Piala Dunia Sepakbola.
Pemantiknya adalah situs buatan Michael Cox yang bernama Zonal Marking. Situs itu mengkhususkan diri membahas startegi dan taktik sepakbola Inggris dengan berbagai penjelasan teknis, seperti statisitik. Kemunculan situs itu disebabkan minimnya ulasan bagaimana cara sepakbola dimainkan dan jumlah berita kuning atau gosip yang lebih banyak. Zonal Marking pun memunculkan tren untuk bisa lebih kritis menonton pertandingan sepakbola di seluruh dunia. (Siahaan, 2014b : 26)
Literasi sepakbola itu tentu merupakan sebuah inovasi baru yang patut kita ikuti. Masyarakat Indonesia yang sudah diketahui umum sangat mencintai sepakbola perlu diajak untuk lebih kritis bila menyaksikan pertandingan sepakbola. Namun, membahas fanatisme suporter yang mengakibatkan taktik sepakbola terabaikan, seperti sebatas membahas dahan pohon yang mengganggu.
Akibatnya, kita melupakan bahwa sebenarnya ada sebuah pohon yang lebih mengganggu, bahwa sebenarnya ada masalah yang lebih besar pada sepakbola Indonesia. Pohon itu memang bertautan dengan dahan pohon yang dibahas tadi, tapi kita akhirnya hanya memotong dahan pohon itu karena yang kita ketahui adalah dahan itu saja.
Permasalahan belum tentu selesai karena nantinya dahan yang kita potong itu bisa tumbuh lagi dan kita menemui kembali permasalahan yang sama. Oleh karena itu, akan lebih tepat bila kita terlebih dahulu menebang atau setidaknya memperbaiki keseluruhan tatanan pohon yang dianggap mengganggu, lebih tepat bila kita memperbaiki masalah besar itu.
Masalah BesarSaudara Angga dalam tulisannya menyebut bahwa media-media yang membuat analisis taktik yang dilengkapi statistik tidak memerhatikan sepakbola Indonesia. Sebabnya adalah karena ketiadaan lembaga penyedia statistik sepakbola Indonesia, minat masyarakat Indonesia yang kurang terhadap sepakbola lokal, dan carut-marutnya sistem persepakbolaan kita.
Penulis artikel itu mengabaikan fakta bahwa dua alasan yang pertama disebutkan sebenarnya berakar pada alasan ketiga yang sebenarnya pun disebutkannya sendiri.
Mengapa lembaga penyedia statistik sepakbola tidak ada di Indonesia? Sebab sistem persepakbolaan kita belum stabil. Ini bisa kita lihat pada latar belakang pembentukan Zonal Marking.
Zonal Marking, pelopor literasi sepakbola lahir pada 2010 di Inggris. Inggris terkenal sebagai negara tempat kelahiran sepakbola. Liga sepakbola di Inggris pun adalah salah satu liga sepakbola tertua dan terbaik di dunia. Liga Inggris adalah sebuah liga yang profesional dari segi manajemen, baik menajemen liga maupun manajemen klub.
Penerapan taktik pun sudah mereka lakukan sejak lama dan perkembangan taktik dalam liga sepakbola mereka jauh lebih baik daripada kita. Namun, sebuah negara dengan liga dan klub yang begitu profesional ternyata membutuhkan waktu berdekade-dekade hingga terlahir sebuah gerakan literasi sepakbola yang berbasis pada statistik. Bagaimana bisa sebuah negara dengan sistem sepakbola yang carut-marut mengharapkan itu bisa terjadi secara instan?
Kurangnya minat masyarakat Indonesia pada sepakbola lokal pun jelas terhubung pada sistem kompetisi dan pembinaan sepakbola kita. Taktik permainan sepakbola Indonesia, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, kalah jauh dibandingkan dengan sepakbola luar negeri. Kurangnya profesionalisme pembinaan pemain dan manajemen liga serta klub di Indonesia pun menjadi faktor lain yang menurunkan minat masyarakat pada sepakbola Indonesia. Akibatnya, masyarakat Indonesia pun lebih tertarik menonton laga sepakbola luar negeri, terutama sepakbola Eropa.
Untuk Sepakbola IndonesiaSetelah melihat kenyataan-kenyataan tersebut, naif rasanya bila kita masih melihat literasi pada sepakbola hanya sebagai sarana pengajaran sepakbola secara mendalam. Literasi sepakbola akan lebih tepat bila dilakukan sesuai definisi dari tiga sumber di atas, yaitu untuk mendidik manusia agar bisa berpartisipasi penuh dalam masyarakat.
Literasi sepakbola yang saya sebutkan ini adalah usaha agar masyarakat Indonesia mau mengawal kerja para pengambil kebijakan yang berhubungan dengan sepakbola Indonesia. Dengan hal itu, tentu saja sepakbola kita bisa berkembang, media pun mau lebih memerhatikannya dan akhirnya pengetahuan tentang taktik bisa tersebar pada masyarakat yang lebih luas.
Lalu, bagaimana caranya? Dengan menyampaikan keadaan sepakbola kita saat ini di media massa. Kita bisa menjadi kontributor media massa, terlibat dalam citizen journalism, atau bahkan kita bisa pula mendirikan media massa sendiri yang khusus membahas sepakbola Indonesia. Mengapa lewat media massa? Sebab media massa dapat memengaruhi pikiran dan tindakan masyarakat (Karlinah, Ardianto, dan Komala, 2007:58).
Tak cukup dengan menyampaikan tentang sepakbola Indonesia, kita pun harus memfokuskan diri pada agenda yang penting, yaitu kelebihan, kekurangan, dan apa yang dibutuhkan oleh sepakbola Indonesia. Pembuatan agenda itu dibutuhkan karena agenda yang disampaikan oleh media massa akan dianggap penting oleh khalayak (Karlinah, dkk, 2007 : 76-77).
Dengan dua hal itu, masyarakat pun akan tergerak untuk ikut mengawal perkembangan sepakbola Indonesia. Masyarakat yang peduli pada sepakbola Indonesia itu akan menjadi pressure group bagi pemerintah sehingga keputusan yang diambil tidak menghambat perkembangan sepakbola lokal.
Terakhir, literasi sepakbola Indonesia juga sebaiknya tidak dibatasi dalam dalam bentuk-bentuk tertentu. Kita dapat membuat berita dalam bentuk tulisan, foto, infografis, video, atau audio. Kita juga sebaiknya tidak membatasi diri untuk hanya menulis analisis taktik dalam sepakbola Indonesia.
Berita, seperti pemain sepakbola yang tidak digaji selama berbulan-bulan atau stadion sepakbola yang rusak, pun bisa dibuat dan dikirim ke media massa.
Dengan tidak adanya pembatasan bentuk literasi, kita bisa mengatasi hambatan berupa minimnya sumber data yang akan kita jumpai bila membatasi literasi sepakbola hanya dalam bentuk tulisan yang berisi analisis dan data statistik. Maka, alih-alih membutuhkan bantuan dari pemerintah, tindakan literasi sepakbola yang saya maksud ini bisa kita lakukan dengan swadaya. Kita bisa mengubah masyarakat sehingga lebih terdidik dalam arti luas, pun kita bisa mengubah pandangan masyarakat sehingga mau memerhatikan sepakbola lokal.
Akhirnya, mari lakukan literasi untuk sepakbola Indonesia! Hidup sepakbola Indonesia!
(ded/ded)