Kekhawatiran Bens Leo tentang Regenerasi Profesi Jurnalis

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Senin, 14 Nov 2016 16:25 WIB
Memulai karier sebagai jurnalis pada usia 19 tahun, Bens Leo, kini diliputi kekhawatiran soal regenerasi jurnalis dan pengamat musik tanah air.
Foto: CNn Indonesia/M. Andika Putra
Jakarta, CNN Indonesia -- Di ruang tamu rumahnya yang dominan oranye dan coklat di Cirendeu, Jawa Barat, Bens Leo duduk di kursi berbahan dasar kayu. Jumat pagi pertengahan Mei lalu, pria 63 tahun itu bercerita tentang pengalamannya sebagai jurnalis musik dan profesi lain yang telah ia cicipi selama lebih dari dua jam. Di ruangan yang penuh dengan barang antik dan penghargaan itu, ia memberikan pesan dan harapan untuk para jurnalis saat ini.

Rumahnya terasa begitu sepi dan kosong. Hal itu memang ia akui karena istrinya, Pauline Endang adalah seorang dokter spesialis sedang praktek di rumah sakit yang tak jauh dari rumah. Georgius Addo Gustaf Putera atau biasa dipanggil Edo, anak satu-satunya kini sedang menjalani masa studi di Australia. Tinggallah ia bersama dua pembantunya di rumah yang telah ia beli sebelum menikah dari hasil kerjanya sebagai seorang jurnalis.

Memulai karier sebagai jurnalis pada usia 19 tahun, Bens Leo yang memiliki nama lengkap Benny Hadi Utomo dengan nama baptis Benedictus itu merasa khawatir dengan regenerasi jurnalis dan pengamat musik tanah air.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Sampai saat ini, kalau ada berita-berita di televisi saya merasa sedih karena regenerasi sulit. Saya yang paling sering diwawancarai orang. Bahkan paling menyedihkan ada kasus artis cerai datang ke saya,” ujar pria asal Jawa Timur tersebut.

Pilihannya menjadi jurnalis musik memang pada mulanya dipertanyakan oleh kakak sepupunya. Sempat diragukan karena ia tidak memilih bidang politik atau bidang lainnya, Bens Leo membuktikan diri sebagai jurnalis musik saat dikirim oleh majalah Aktuil sebagai wartawan termuda ke festival pop dunia di Jepang pada 1976. Ia berkesempatan meliput sebagai jurnalis majalah asal Bandung tersebut saat usianya masih 23 tahun. Harus meliput World Popular Song di Jepang pada usia muda itulah menjadi salah satu pengalaman jurnalisnya yang paling menarik.

Mewawancarai seorang pencipta lagu asal Perancis, Andre Popp juga menjadi salah satu liputannya yang terkenang dan tersulit. Saat itu ia harus dihadapkan dengan keterbatan bahasa untuk wawancara.

“Sewaktu saya mau wawancara, ia tidak bisa bahasa Inggris. Anda bisa bayangkan berita di luar negeri lalu tidak menguasai bahasa ibu negara itu, kita akan kerepotan sekali,” ucapnya.

Ia menambahkan cukup kerepotan saat wawancara pada saat dituntut untuk membawa tulisan profil seorang tokoh tingkat dunia yang mampu memengaruhi musik dunia saat pulang ke Bandung untuk majalah Aktuil. Pada hari berikutnya Andre Popp baru bisa diwawancarai Bens Leo setelah tim manajemennya datang dan ada orang-orang yang bisa berbahasa Inggris.

“Saat itu saya deg-degannnya setengah mati, karena takut tulisan saya bisa tidak menarik. Sulit untuk bertemu Andre Popp tokoh dunia.”

Disinggung soal takut tidaknya pertama kali wawancara dengan tokoh dunia, Bens Leo yang juga pencipta lagu ini menjawab lebih takut tidak bisa makan. Saat liputan ke Jepang itu bahkan sebelum keberangkatannya ia diajak makan masakan Jepang oleh pimpinannya. Itu dilakukan agar nantinya ia dapat lebih menyesuaikan diri di Jepang.

“Begitu tugas ke luar negeri, kita memang harus menyiapkan hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, kemampuan kita sebagai wartawan, dan manajemen keuangan serta waktu.”

Minat dan bakat
Menjadi seorang jurnalis adalah pilihan ketiga hidupnya. Ia mengakui setelah tamat SMA sempat ikut seleksi Akpol dan pilot di Curug, tapi hidupnya berujung sebagai jurnalis. Anak terakhir dari lima bersaudara itu pun memutar otak mencari jalan untuk tetap melanjutkan pendidikannya dengan jalan beasiswa. Pilihan-pilihan itulah yang ia coba di tengah ekonomi yang sulit karena sejak SMP ayahnya sudah meninggal. Gagal dalam seleksi Akpol dan pilot, ia memutuskan untuk menjadi jurnalis. Ditanya soal mengapa memilih musik, Bens Leo yang lebih senang dipanggil Mas Bens mengaku karena pada masa itu jurnalis musik masih sedikit. Melalui liputan itu orang-orang memang menilai dirinya tepat menjadi jurnalis musik.

Salah satu momen yang paling meyakinkannya menjadi jurnalis adalah saat liputannya tentang Koes Bersaudara dimuat di majalah Yudha Sport & Film sebagai berita utama. Liputan yang ia lakukan saat itu tidaklah mudah. Bens Leo mengaku harus beberapa kali datang ke kompleks rumah Koes Bersaudara. Pada kedatangannya yang keempatlah baru ia diperkenankan Tonny Koeswoyo untuk wawancara. Merasa Koes Bersaudara kurang diliput medialah yang membuat Bens Leo semakin yakin membuat berita tersebut ditambah lagi berita yang paling mudah dimuat media menurutnya adalah berita yang jarang ditulis orang, saat itu adalah berita musik.

Semasa SMA memang Bens Leo sudah ditunjuk menjadi pimpinan majalah di sekolahnya. Melalui majalah itulah minat dan bakatnya dalam dunia tulis menulis tersalurkan.

“Saya adalah salah satu orang yang percaya terhadap bakat. Lalu dikembangkan melalui minat,” ucap pria yang mengidolakan Indra Lesmana itu.
Bakatnya dalam tulis menulis dan minatnya dalam dunia musik mengantarnya hingga saat ini. Tak hanya menjadi jurnalis musik, Bens Leo sering menjadi juri di berbagai perlombaan musik. Ia juga sempat menjadi produser album pertama Kahitna. Saat itu Kahitna yang diragukan para produser lain mencuat di pasaran berkat keberanian Bens Leo untuk memproduseri mereka dengan biaya yang minim. Bens Leo juga sempat menjadi manajer promosi Slank dalam rangakaian tur wilayah Jawa-Bali.

Minatnya dalam bidang jurnalistik juga membuatnya sempat mencicipi beberapa media tanah air. Tidak sekedar musik, Bens Leo juga pernah berkontribusi di majalah Gadis. Selain itu menjadi pemimpin redaksi di majalah Anita Cemerlang. Setelah itulah baru ia kembali hadir di majalah musik, yakni Musik News yang serupa dengan majalah pertamanya dulu, Aktuil.

Profesi jurnalis
Menjadi jurnalis acap kali dianggap remeh banyak orang, bahkan hingga saat ini. Itulah yang sekiranya diungkapkan Bens Leo saat menyinggung tentang realita jurnalis yang ada. Ia bahkan sempat mengalami keraguan dari calon ibu mertuanya dulu dengan statusnya sebagai seornag jurnalis.

“Calon mertua saya waktu itu tidak percaya bahwa anaknya akan dilamar oleh seorang jurnalis,” ucap Bens.

Ia menambahkan calon mertua dan keluargnya itu melakukan investigasi kepadanya. Namun, berkat media namanya dikenal keluarga calon istrinya tersebut. Hal terakhir yang dicari saat itu ialah statusnya apakah sudah menjadi sarjana. Beruntungnya, Bens telah mendapat gelar sarjana hukum dari salah satu universitas di tanah Jawa.

“Baru setelah tahu saya sarjana, saya diizinkan berpacaran,” tawa Bens.

Dari kisahnya itu, Bens mengutarakan profesi apapun tidak boleh diremehkan, termasuk jurnalis. Jurnalis yang jarang mencantumkan gelar dalam namanya di media bukan berarti tidak memiliki latar belakang pendidikan yang baik.

“Profesi adalah pengabdian kita terhadap dunia dalam bentuk serius menggeluti bidang itu secara maksimal,” ucapnya.

Seseorang memang menurutnya harus serius dalam memilih profesi. Selain itu dalam menggeluti profesinya, terutama jurnalis harus mampu membaca arah ke depan. Ia mencontohkan saat bekerja di majalah perempuan yang kecil kemungkinan seorang pria menjadi pimpinan. Oleh karena itulah ia hengkang dari majalah tersebut dan beralih ke majalah lain.

Disinggung soal kesehjateraan jurnalis, Bens Leo mengungkapkan seorang jurnalis haruslah konsisten dan kreatif. Ia menampik bahwa menjadi jurnalis akan miskin. Ayah yang mampu menyekolahkan anaknya dari S1 di Singapura, Pre Master di Inggris, dan S2 di Australia ini bercerita banyak tentang dirinya yang sempat direndahkan karena gaji jurnalis dianggap kecil.

“Banyak orang menghitung-hitung biaya saya menyekolahkan Edo (anak Bens Leo) ke luar negeri minimal membutuhkan biaya besar. Orang-orang mengira hal itu karena istri saya adalah seorang dokter spesialis, padahal tidak juga,” ujar Bens.

Konsistensi dalam minat dan bakat diperlukan jurnalis untuk mencari uang tambahan. Menjadi juri di berbagai perlombaan tentu menurutnya memiliki gaji yang lebih besar dibanding menjadi jurnalis. Kini Bens Leo juga menjadi pimpinan sebuah media dalam jaringan, Xpose Indonesia dan Dreamcast, sebuah televisi berjaringan internet di Indonesia.

Terlepas dari hal itu, menjadi jurnalis menurut Bens Leo dapat berkeliling ke banyak negara. Total sudah 21 negara yang ia kunjungi dalam rangka tugas liputan.
“Kalau bukan karena menjadi jurnalis, saya tidak mungkin dapat mengunjungi negara-negara itu. Jadi jangan takut jadi jurnalis!”

Hal yang dibutuhkan jurnalis
Jurnalis kini menurut Bens Leo terdapat beberapa perbedaan dengan jurnalis dulu. Hal itu terutama dari segi riset dan kedekatan kepada narasumber. Dulu karena tidak ada internet, referensi datang melalui wawancara langsung dan itu merupakan hal yang diharuskan. Ia menambahkan kalau sekarang kadang banyak jurnalis terlebih dahulu dengan mudahnya riset di internet lalu menelpon dan melalukan wawancara tanpa bertemu langsung. Padahal menurutnya bertemu langsung dengan narasumber itu penting karena akan mendapat hal-hal tambahan yang penting.

“Wartawan dulu lebih mendapat kesempatan menulis dengan berita-berita yang sifatnya humanist dibanding wartawan sekarang yang tidak mendapatkan langsung dari narasumbernya,” kata Bens sembari membenarkan posisi duduknya.

Hal itu memang sejalan pula dengan prinsipnya bahwa setiap kali bertemu orang, Bens Leo selalu menggap lawa bicaranya sebagai orang yang memberi ilmu kepada. Ia selalu mendapat pengalaman baru dari orang-orang sekitarnya, bahkan yang belum ia kenal secara mendalam. Tak hanya itu, ia juga menekankan pada kedekatan seorang jurnalis dengan narasumbernya. Menurutnya, dimulai dari riset internet dan wawancara yang tidak langsung bertemu membuat kedekatan antar pribadi berkurang.

“Satu hal yang saya lakukan saat berhadapan dengan artis atau musisi adalah saya selalu menempatkan diri sebagai teman kepada mereka. Dengan begitu saya akan mendapatkan yang berbeda dari wartawan lain.”

Kedua hal itulah yang ia soroti saat ini. Menjadi jurnalis pun menurutnya harus konsisten terhadap apa yang menjadi minat dan bakatnya tersebut. Hal-hal kecil yang dianggap sepele banyak orang pun sepatutnya perlu ditumbuhkan kembali kepada jurnalis masa kini. Ia menyarankan jurnalis sekarang tidak hanya merekam melalui perangkat teknologi modern, tetapi juga ditulis manual.

“Tiap kali mewawancarai seseorang hendaknya apabila meminta biodata seseorang ditulis sendiri. Dengan begitu tulisan kita ngga keliru,” ucapnya.

Menjadi jurnalis yang besar dan terkenal menurut Bens Leo pastinya membutuhkan waktu yang lama. Dibutuhkan kesabaran dan ketekunan dalam menjalani profesi yang bergeliat dengan tenggat waktu mepet tersebut. Ia menyarankan para jurnalis muda untuk mencontoh kisah sukses para jurnalis yang telah berhasil meraih berbagai posisi tinggi. Jurnalis kini menurutnya telah dihadapkan oleh berbagai kesempatan, tinggal bagaimana jurnalis tersebut memanfaatkannya dengan baik.

Mengamati musik
Banyak hal yang menurut Bens Leo menjadi aspek dalam seseorang menilai musik. Disinggung soal apa genre musik kegemarannya, ia mengaku sudah dalam tahap tidak mengotak-ngotakan musik. Menurutnya sepak terjangnya yang cukup lama sebagai jurnalis musik membuatnya semakin kaya referensi musik dan tidak membedakan tiap musik. Aspek utama dalam mengamati musik dapat dilihat dari lirik, harmonisasi, melodi, dan lain sebagainya. Ia mengungkapkan untuk sering-sering membaca agar wawasan bertambah.

Menurutnya, musik yang bagus adalah musik yang memenuhi aspek-aspek tersebut. Musik yang subjektif membuatnya tidak dapat menilai musik yang bagus dan tidak karena setiap orang memiliki pendapat masing-masing. Hal itu tercermin di Indonesia yang beragam jenis musik dan banyaknya musisi bermunculan. Ia menilai bahwa perkembangan musik di Indonesia dinamis dengan selera musik yang beragam. Musik indie saat ini dinilai menjanjikan, begitu pula dengan produksi piringan hitam yang kini mulai kembali berkembang di masyarakat.

Tak hanya itu, ia melihat musik ke depannya akan terjadi berbagai percampuran budaya tradisional dengan modern, khususnya elektronik. Musisi harus lebih peka terhadap perkembangan zaman. Begitu pula dengan perkembangan industri media musik yang harus peka terhadap perkembangan teknologi. Majalah musik yang tutup acap kali karena terlambat melihat masa depan.

Tutupnya sejumlah media bukan berarti memudarkan opitmismenya pada dunia jurnalisme musik. Menurutnya industri media perlu mencontoh Rolling Stone Indonesia yang kian melebarkan sayapnya tak hanya melalui majalah bulanan, tapi juga ke café sebagai wadah musisi pula. Intinya adalah media perlu membaca masa depan secepat mungkin dan mengambil tindakan secara tepat.

Seorang ayah
Terlepas dari segala kesibukannya, Bens Leo masih menjadi sosok ayah dan pemimpin keluarga. Ia telah berhasil membesarkan anak semata wayangnya yang ia akrab panggil Mas Edo. Menempuh jenjang S1 di Singapura, Pre Master di Inggris, kini Edo sedang menempuh pendidikan S2 di Australia.

“Beliau (Bens Leo) sibuk, tapi selalu menyempatkan waktu buat keluarga,” ujar Edo melalui surat elektronik.

Ia juga menambahkan, Bens Leo memberikan dukungan dan pelajaran yang sangat berguna.

“Beliau (Bens Leo) adalah sosok ayah yang inspirasional,” kata Edo.

Disinggung soal keseharian Bens Leo, Edo bercerita bahwa ayahnya itu selalu mengamati media, baik itu televisi, radio, ataupun cetak. Hal menarik yang belum diketahui banyak orang menurut Edo ialah ayahnya selalu menyetir mobil sendiri ke mana-mana dan sering kali mengantar keluarganya juga. Pria yang akan segera lulus dari jenjang S2 itu juga menyebutkan Bens Leo suka engoleksi lukisan dan foto keluarga sampai semua dinding di rumah penuh dengan lukisan dan foto. Hal itu benar adanya karena di rumahnya berbagai lukisan dan foto tergantung. Tak hanya berasal dari dalam negeri, lukisan yang dikoleksi pun tak segan-segan Bens Leo beli dari luar negeri saat ia tugas meliput.

Hidup jauh dari ayah dalam waktu yang lama ternyata memang membuat Edo cukup rindu sosok ayah. Ia sangat rindu dengan berbagai cerita tentang pengalam karir ayahnya itu. Pria penggemar budaya Korea itu juga menyebutkan sangat merasakan nilai kerja keras di dalam diri Bens Leo. Selain itu ia juga melihat Bens Leo sebagai orang yang berani tampil beda dan berjiwa sosial.

*Mahasiswa Prodi Jurnalistik, Fikom Unpad (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER