Jakarta, CNN Indonesia -- Berita yang dimuat oleh salah satu media cetak lokal di Jawa Barat pada 31 Oktober lalu mengenai edukasi kepada warga Samarang di Garut oleh dua institut di Indonesia patut diacungi jempol atas kerja kerasnya. Kedua institut ini adalah Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Keduanya bekerja sama berniat secara simultan untuk mengedukasi masyarakat akan pentingnya hutan bagi keberlangsungan hidup.
Banjir bandang yang terjadi di Garut pada 20 Oktober lalu menimbulkan banyak kerugian, baik finansial maupun secara sosial. Sebanyak 20 orang tewas, ratusan rumah hancur diterjang banjir, 59 orang luka-luka, 15 orang hilang yang hingga kini belum ditemukan, dan 725 jiwa harus mengungsi dari rumah mereka yang telah porak-poranda kini.
Terjadinya banjir bandang di Garut tentu tak semata-mata murni karena hujan deras yang terjadi saja, tetapi ada faktor lain. Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Willem Rampangilei, ada empat faktor yang menyebabkan banjir bandang di Garut, salah satunya adalah hujan. Ketiga faktor lainnya adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk yang telah dangkal dan mengalami sedimentasi, tutupan hutan yang tak seimbang dengan DAS yang ada, dan terakhir adalah pemanfaatan tata ruang yang tak sesuai peruntukkan di hutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk faktor pertama, tentu tak perlu dibahas lagi karena faktor hujan deras adalah faktor alami yang terjadi. Namun, ada baiknya kita meneliti ketiga faktor lainnya, utamanya pada dua faktor terakhir, yakni faktor tak seimbangnya antara hutan dan DAS serta pemanfaatan tata ruang yang tak sesuai perlu lebih jauh disorot.
Pada 2015 lalu, Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar memimpin rapat pembentukan satuan khusus untuk menyelidiki rusaknya hutan Garut sebesar 600 hektare. Deddy pun mengatakan bahwa rusaknya lingkungan tersebut adalah disebabkan pembalakan dan penambangan liar.
Tak hanya merusak lingkungan, bahkan mereka dengan berani membuat jalan bagi pembalak dan penambang liar sepanjang enam kilometer menembus hutan lindung yang dikelola Perhutani di kawasan Cikelet, Garut. Hal ini menunjukkan seakan-akan tidak ada negara di sana yang mampu menghalangi mereka membangun mereka. Ini pun menunjukkan seakan-akan hukum yang berlaku pun tak dianggap oleh mereka.
Mirisnya, salah jika menganggap pembalak-pembalak liar tersebut berasal dari luar daerah. Seperti halnya dalam kasus asap di daerah Sumatera dan menjalar ke Singapura, kasus pembalakan liar ini justru dilakukan oleh kebanyakan warga asli Garut sendiri.
Hal ini tentu merupakan perih mendalam untuk mengetahui bahwa masyarakat justru seakan menggali kuburannya sendiri di tanah yang ditinggalinya. Hal ini tentu harus dihentikan.
Namun, penghentian ini tak dapat dilakukan jika seseorang masih berorientasi kepada uang dan pekerjaannya. Maka, edukasi menjadi penting untuk diajarkan pada masyarakat.
Penanaman makna pentingnya hutan untuk menjaga keberlangsungan hidup mereka tak cukup hanya dipahami oleh mereka yang terdidik, tetapi juga perlu dipahami oleh masyarakat secara luas, dalam konteks ini tentu masyarakat Garut.
Edukasi dapat mengubah pandangan seseorang dan meningkatkan taraf berpikir seseorang. Edukasi pengubahan pola pikir inilah yang seharusnya dikedepankan oleh pemerintah sehingga pembalakan dan perusakan lingkungan tak kembali terjadi layaknya lagu lama yang selalu diputar. Hanya dengan edukasi ini pula hutan pun dapat bertahap hidup dan terus memberikan oksigennya bagi bumi kita dan menyebarkan kebaikan abadi bagi bumi ini.
(ded/ded)