Merayakan 62 Tahun Universitas Airlangga dengan Wayang

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Senin, 21 Nov 2016 16:19 WIB
Kisah di wayang kulit tak cuma soal Ramayana atau Mahabharata. Lewat dies natalis Unair, diperkenalkan kisah-kisah lain wayang kulit.
Ilustrasi (Foto: CNN Indonesia/ANTARA FOTO/Anis Efizudin)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ada yang menarik pada peringatan 62 tahun Universitas Airlangga, Surabaya, pada pekan lalu. Acara penutupan dimeriahkan dengan pagelaran wayang kulit dengan dalang Dr. Bambang Suwarno Sindu Tanoyo, M.Hum. Semua kru wayang kulit didatangkan dari Solo. Adapun lakonnya adalah Airlangga Sumbaga Wiratama.

Bintang tamu pada pagelaran itu adalah Agus Hadi Sudjiwo atau biasa dipanggil Sujiwo Tejo. Sujiwo Tejo adalah sosok yang berkiprah di dunia pertunjukan wayang kulit.

Wayang merupakan budaya Indonesia yang dinobatkan sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity, warisan budaya non-benda yang perlu dilestarikan, pada 7 November 2013 lalu. Hal ini merupakan kesempatan emas bagi mahasiswa Universitas Airlangga untuk terus memajukan budaya sendiri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Memang tak mudah membuat mahasiswa menyukai budaya lokal itu, apalagi bahasanya sulit dimengerti. Tapi tujuan dari acara ini adalah untuk mengungkapkan bahwa lakon wayang kulit itu sangat variatif, bukan cuma semata kisah Mahabharata atau Ramayana.

Bahwa ada kisah lain, seperti kisah Prabu Airlangga dari Majapahit, yang menjadi dasar nama universitas Airlangga. Terbukti, kisah ini menarik minat banyak mahasiswa Unair, bahkan yang dari fakultas lain pun berdatangan untuk menonton pagelaran yang dilakukan di halaman Magister Managemen Unair itu.

“Ini untuk menggali–gali kearifan lokal dengan mengenal budaya Jombang, Banyuwangi dan banyak lagi. Seluruh Alumni UNAIR minimal kenal, tari remo, remo gaya malang, Gitu aja sih,” kata Mbah Sujiwo Tejo.

Sementara dosen Fakultas Ilmu Budaya, Moch.Jalal, S.S., M.Hum, mengatakan: “Maksud dan tujuan kembali ke awal untuk mengenal cerita pewayangan selain Mahabharata dan Ramayana. Dengan begitu sebagai salah satu pelestarian budaya dan meningkatkan eksistensi UNAIR sehingga acara bisa diadakan kembali.”

Sejarah prabu Airlangga dapat diketahui dari sebuah prasasti yang disebut “Batu Calcutta”. Disebut demikian, karena batu itu dibawa oleh Rafless dari Jawa dan kini disimpan di museum Calcutta. Airlangga dilahirkan di Bali pada Tahun 1000 Masehi. Ia dikenal sebagai putera dari Pangeran Udayana dan Ratit Mahendradatta yang memegang pemerintahan di pulau itu.

Mahendradatta
Nama Airlangga dipilih oleh para pendiri Universitas Airlangga sebagai suatu perwujudan penghormatan terhadap seorang Raja yang sekaligus sebagai pahlawan di masa lampau dalam abad IX yang bernama Prabu Airlangga. Dia memerintah kerajaan di Jawa Timur hingga wilayahnya mencapai Indonesia Timur.

Airlangga yang berarti “Peminum Air” adalah nama dari seorang raja yang memerintah di Jawa Timur di masa 1019-1042. Airlangga lahir di Bali, karena ketika ia lahir tahun 1001, orang tuanya memerintah di luar Bali, sebagai utusan dan menjadi Raja Jawa.

Ibunya Sri Gunaprijadharmapatmi, atau Mahendradatta, dan ayahnya Sri Dharmodayanawarmadewa, yang biasa dipanggil Udayana. Mahendradatta adalah keturunan Empu Sendok yang sangat ternama, la juga masih saudara dari Raja Makuttawangsawardana di Jawa, yang kemungkinan besar juga memerintah sebagai utusan di luar Bali, sebagai perwakilan ayahnya dan dibantu suaminya, Udayana.

Sekitar tahun 1000, Raja Jawa Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramattunggadewa, dijadikan suami oleh saudara perempuan Mahendradatta. Di tahun 1016 Pangeran Airlangga, yang masih 16 tahun diangkat menjadi menantu Dharmawangsa. Di tahun yang sama, sebuah bencana menimpa Jawa Timur.

Pertama, sebuah serangan besar yang dilakukan oleh Sriwjaya di bawah pimpinan Haji Wurawari. Setelah itu terjadi pemberontakan dari dalam pecah. Raja Dharmawangsa tewas, ibukota direbut musuh, dan kerajaan terpecah. Pangeran Airlangga yang disertai pengikut setia, melarikan diri ke hutan. Dan di sanalah ia mulai melakukan meditasi kehidupan, dan mempersiapkan diri untuk tugas berikutnya.

Di tahun 1019 Airlangga dinobatkan sebagai raja oleh para pengikutnya, dan memerintah hingga 1042. Nama lengkapnya sebagai raja adalah Rakar Galu Sri Lakeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramattunggadewa. Dalam kurun periode lebih dari 20 tahun, Airlangga sukses memperkuat posisinya dan meraih kembali kedudukannya sebagai raja.

Bahkan wilayah kekuasaannya menjadi lebih luas. Selain seluruh Jawa Timur, juga sebagian dari Kepulauan Sumba (Nusa Tenggara). Dan akhirnya di Indonesia tumbuh menjadi dua kerajaan besar; di timur Kerajaan Airlangga, dan di barat Kerajaan Sriwijaya, dengan pusat pemerintahan di Palembang.

Sejak Airlangga menjadi raja, muncul kebijakan untuk memperbaiki hubungan dengan Sriwijaya. Dan hasilnya, ia menikahi saudara perempuan raja Sriwjaya tahun 1023.

Dengan kerja keras Airlangga berusaha mengembangkan kehidupan damai dalam bermasyarakat dan bernegara, la mencoba menyelaraskan dua kerajaan dan kekuatan besar, yang diyakini sebagai usaha awal untuk membangun jalan kesatuan Indonesia.

Selama memerintah Airlangga mengerahkan seluruh energi untuk mengembangkan kemakmuran bagi rakyatnya, la mulai mengembangkan irigasi, komunikasi, dan perdagangan, la juga menaruh perhatian yang tinggi pada bidang pendidikan dan kehidupan spiritual. Dengan kehidupan spiritualnya yang tinggi, ia kemudian juga dinobatkan sebagai pemuka agama dengan nama Resi Gentaya.

Setelah wafat tahun 1042, ia diabadikan dalam bentuk patung yang menunjukkan Airlangga sebagai Batara Wishnu sedang mengendarai Garuda dan membawa guci. Airlangga diyakini telah dipilih Tuhan untuk menghalau malapetaka, mengembangkan kemakmuran dan kebahagiaan, serta menyempurnakan Hukum Suci, sebagai pilar kehidupan bermasyarakat.

Pendek kata, Airlangga memegang tugas kunci untuk membangan negara yang berbasis keadilan.

Di awal kelahiran Universitas Airlangga, rektor pertama Prof Mr AG Pringgodigdo menemukan meterai atau segel Prabu Airlangga di Gedung Arca, Museum Nasional, Jakarta. Meterai kerajaan tersebut menggambarkan burung garuda tunggangan wisnu yang membawa guci berisikan air amrta. Konon, air tersebut dapat menghidupkan orang yang telah meninggal dan bersifat abadi.

Tungganggan Wisnu itulah yang disebut Garuda Muka, dipakai sebagai lambang Universitas Airlangga sebagai sumber ilmu abadi.

Demikian dari sejarah baik prabu Airlangga ataupun UNAIR yang justru mampu memberikan inspirasi dan motivasi bagi mahasiswa. Cerita sepanjang sejarah Indonesia akan tetap dikenang apabila generasi penerus mempelajarinya. Bukan lagi masalah jika bahasa yang menjadikan rumit untuk dimengerti, tetapi bagaimana usaha kita dengan setulus hati. Begitu juga wayang salah satu yang merupakan kajian dari akademi. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER