Menggagas Pendidikan Toleransi

CNN Indonesia
Rabu, 05 Apr 2017 12:41 WIB
Pendidikan masih mengabaikan masalah-masalah SARA yang ada di dalam masyarakat sehingga tak menganggapnya relevan untuk dijadikan bahan kajian dalam pendidikan.
Foto: Pixabay/cherylholt
Jakarta, CNN Indonesia -- Masa-masa menjelang Pilgub DKI Jakarta 2017 kali ini punya aroma yang kurang sedap. Aroma buruk ini mulai mengarah pada politisasi isu-isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) yang kemudian menjalar pada polarisasi masyarakat.

Munculnya spanduk-spanduk provokatif serta larangan memilih calon lain atas dasar pertimbangan agama merupakan contoh nyata bagaimana isu-isu tersebut dipolitisasi. Tentu saja hal ini merupakan sebuah kemunduran dalam demokrasi.

Mestinya kita mengedepankan isu-isu politik yang lebih relevan ketimbang isu SARA. Yang menjadi pertanyaan saya kemudian adalah apakah eksploitasi isu SARA ini hanya menjadi bagian dari masalah politik ataukah ada dimensi lainnya yang sebenarnya juga bermasalah dan belum diselesaikan secara serius?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hemat saya ada, yaitu sistem pendidikan. Ada dua kemungkinan permasalahan yang bisa dianalisis. Pertama pendidikan masih mengabaikan masalah-masalah SARA yang ada di dalam masyarakat sehingga tak menganggapnya relevan untuk dijadikan bahan kajian dalam pendidikan. Kedua, boleh jadi pendidikan kita malah sudah dirasuki oleh masalah-masalah sosial tersebut sehingga tidak ada lagi perbedaan antara keduanya.

Penjara Politik Anggaran
Isu pendidikan dalam Pilgub DKI 2017 kali ini terkonsentrasi pada efektivitas Kartu Jakarta Pintar (KJP). Para cagub/cawagub lebih banyak melihat masalah pendidikan pada masalah anggaran, sarana/prasarana sekolah, serta akomodasi tunjangan tenaga pengajar atau tenaga guru.

Tidak ada yang salah dengan aspek-aspek itu sebab hal-hal tersebut memang merupakan bagian yang sangat penting dalam pendidikan. Mustahil kita berbicara tentang isu pendidikan tanpa memasukan politik anggaran sebagai bagian dari pembahasan. Namun, apakah pendidikan hanya berkutat pada politik anggaran? Di situlah letak permasalahannya.

Perdebatan dalam pilgub kali ini melupakan aspek penting lain dalam pendidikan yang sebenarnya punya relevansi untuk diperdebatkan yaitu soal model pendidikan. Pertarungan politik pilgub kali ini memenjarakan pendidikan sebagai isu anggaran semata, tak lebih tak kurang. Saya melihat bahwa justru di situ letak permasalahannya.

Isu pendidikan merupakan isu yang kompleks yang tidak dapat dipersempit pada alokasi anggaran semata. Sebab itu, jika para calon ingin menyelesaikan masalah pendidikan, maka mereka harus keluar dari penjara politik anggaran menuju pada isu pendidikan lainnya yang juga relevan untuk dibahas.

Belajar dari Purwakarta
Tahun lalu bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi membuat sebuah gebrakan dalam bidang pendidikan di kabupaten Purwakarta. Gebrakan itu berkaitan dengan larangan kepada pihak sekolah untuk memberikan tugas rumah akademis bagi para siswanya.

Ada dua hal yang menjadi pertimbangan utamanya. Pertama, kegiatan akademis semestinya selesai di sekolah. Membawa tugas akademis ke rumah hanya akan menambah kejenuhan anak didik dalam belajar. Kedua, sekolah mestinya berkaitan langsung dengan situasi kehidupan para siswanya.

Jika sekolah ingin memberikan tugas maka sebaiknya sekolah memberikan tugas yang berhubungan langsung dengan kehidupan sekitar tempat para murid tinggal (Media Indonesia, 8/9/2016).

Selain kebijakan tentang larangan pekerjaan rumah akademis para siswa, beliau juga membuat kebijakan lainnya berkaitan dengan pendidikan. Kebijakan yang terakhir ini mendapat apresiasi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy yaitu berkaitan dengan penetapan libur pada hari tertentu bagi para siswa yang harus digunakan untuk ikut secara langsung merasakan pekerjaan yang dilakukan oleh orang tua mereka.

Mulyadi berpendapat bahwa anak-anak mesti mendapatkan gambaran yang lebih nyata tentang apa yang dilakukan oleh tua mereka dalam mencari nafkah. Ini penting agar mereka bisa belajar dari orang tua mereka. Selain itu menurutnya kebijakan tersebut diambil sebagai bagian dari pendidikan karakter bagi para siswa. Kebijakan ini mendapat respon positif dari Kemendikbud yang hendak mewacanakan Purwakarta sebagai rujukan model pendidikan karakter nasional (Kompas.com, 23/2/2017).

Kebijakan yang diambil oleh bupati Purwakarta ini merupakan contoh bagaimana isu pendidikan tidak hanya diperbincangkan sebagai isu politik anggaran tetapi juga sebagai kebijakan praktis yang memiliki relevansi sosial. Bahkan kebijakan-kebijakan tersebut tidak membebankan penambahan anggaran baik kepada sekolah maupun pemerintah.

Walapun kebijakan ini masih bisa diperdebatkan dan dipertimbangkan, namun arah dari kebijakan ini perlu diparesiasi sebab Dedi Mulyadi sudah mulai membangun cara pandang dan cara perlakuan yang lebih luas terhadap aspek pendidikan. Apakah pola pikir seperti ini bisa juga diadaptasi untuk situasi dan kondisi di tempat yang berbeda? Tentu saja bisa. Yang jelas bahwa pola pikir seperti ini menuntut sikap kritis dari para pengambil kebijakan untuk mendisusikan isu pendidikan pada ranah yang lebih luas ketimbang hanya ‘memakunya’ sebagai salah item pada papan anggaran belanja daerah.

Pendidikan Toleransi
Sosiolog Indonesia Ignas Kleden pernah menulis satu tema yang cukup menarik tentang tema pendidikan yaitu tentang kapasitas linking dan delinking. Istilah ini sebenarnya merupakan istilah kebudayaan yang diadopsi untuk kemudian dipakai dalam menjelaskan kapasitas yang harus ada dalam sistem pendidikan kita.

Dalam lingkup kebudayaan linking dan delinking merupakan kemampuan untuk mengaitkan dan menghubungkan diri dengan (linking) serta melepaskan (delinking) diri dari sistem nilai yang dianut (Ignas Kleden, 2004:148-149).

Dalam dunia pendidikan, linking berkaitan dengan kemampuan institusi pendidikan mengaitkan relevansi pembelajarannya pada kehidupan masyarakat konkret. Dalam konteks ini, sekolah adalah miniatur masyarakat di mana anak dipersiapkan untuk masuk dalam kehidupan masyarakat. Singkatnya pendidikan mesti relevan bagi kehidupan sosial.

Namun, tak berhenti pada linking, institusi pendidikan mesti memiliki juga kapasitas delinking. Itu artinya, kendati pun sekolah merupakan miniatur masyarakat, toh sekolah tidak identik dengan masyarakat.

Institusi pendidikan seperti sekolah mestinya juga mampu melepaskan diri dari masyarakat. Ini penting terutama ketika kehidupan sosial dalam masyarakat sudah dicemari dengan permasalahan sosial seperti intoleransi, korupsi, tawuran serta berbagai masalah lainnya. Jika tidak, maka sekolah akan menjadi “miniatur masalah sosial” sebab masalah-masalah sosial yang ada di dalam masyarakat tumbuh subur di dalam institusi pendidikan. Sekolah mesti mengambil peran sebagai “miniatur kehidupan ideal”.

Kembali pada kontestasi pilgub DKI 2017, kita sebenarnya berharap agar para cagub dan cawagub melihat persoalan pendidikan secara lebih luas ketimbang berkutat pada politik anggaran. Isu yang menarik yang bisa diangkat sebagai bagian dari kebijakan dalam dunia pendidikan di Jakarta adalah masalah intoleransi.

Seharusnya para cagub dan cawagub lebih tertantang untuk mengatasi permasalahan ini dengan kebijakan praktis terkait masalah pendidikan sehingga pendidikan menjadi relevan (linking) dengan situasi sosial dan mampu menjadi institusi yang kritis pada masyarakat (delinking).

Sebagai contoh misalnya, sekolah-sekolah dianjurkan untuk merancang kegiatan yang berkaitan dengan interaksi dengan para siswa dari pemeluk agama lain. Program studi banding para siswa antar sekolah yang memiliki latar belakang agama yang berbeda juga bisa menjadi salah satu alternatif atau juga pertukaran guru di antara sekolah-sekolah yang dengan basis agama berbeda pun bisa menjadi pilihan.

Tentang pendidikan toleransi, satu contoh menarik dari Flores bisa membantu. Salah satu lembaga pendidikan bagi para calon pemimpin umat Katolik, yaitu Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero telah lama menjalin kerja sama dengan salah satu pesantren di Kabupaten Ende untuk mengirimkan tenaga pengajar yang nota bene merupakan calon pemimpin umat katolik ke pesantren tersebut sebagai tenaga pengajar setiap tahun. Kerja sama itu sudah berlangsung hampir sepuluh tahun.

Di pesantren tersebut mereka bertugas untuk membantu para pendamping santri mendidik para santri menjadi pemeluk agama Islam yang baik. Mereka menjadi pendamping para santri secara full time tanpa ada usaha kristenisasi. Para calon imam dan para santri saling belajar menghidupi toleransi dalam interaksi sehari-hari.

Di sana mereka makan bersama, belajar bersama, serta bekerja bersama. Setiap pagi calon imam katolik yang bertugas di pesantren tersebut membangunkan para santri mempersiapkan diri untuk salat. Mereka tetap berdoa dan menghidupi imannya dengan caranya masing-masing. Di tempat kuliah, para calon imam katolik tersebut belajar juga filsafat Islam secara mendalam sebagai bagian dari pengenalan dan penghargaan terhadap agama lain.

Belajar dari contoh di atas, pendidikan toleransi sebenarnya berangkat pada dua ranah yaitu pada ranah teoritis berupa pengetahuan tentang toleransi serta ranah praktis berupa interaksi dengan yang berbeda keyakinan maupun pandangan. Penyelesaian terhadap masalah intoleransi pun tak hanya bisa dikembalikan pada politik anggaran semata.

Kita berharap agar isu pendidikan dalam pilgub kali ini dapat diangkat pada taraf yang lebih tinggi, melampaui politik anggaran, menuju pada model pendidikan toleransi sebab itu yang lebih relevan. Ini penting sebab, mengutip Helen Keller, “toleransi adalah hasil tertinggi dari pendidikan”. Dengan belajar mengakui perbedaan, kita sedang menghargai kebersamaan.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER