Jakarta, CNN Indonesia -- Pembangunan ekonomi nasional tidak dapat dipisahkan dari pemanfaatan sumber daya alam. Salah satu persoalan politik hukum yang kemudian muncul adalah perihal pemaknaan norma penguasaan sumber daya alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hal ini dapat dicermati dari inkonsistensi Mahkamah Konstitusi (MK) di dalam beberapa putusannya. Contoh yang dapat diambil adalah Putusan MK mengenai Pengujian UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air (sebelum dibatalkan MK pada tahun 2015) dengan Putusan MK mengenai Pengujian UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan.
Dari kedua putusan tersebut, masing-masing Pemohon sama-sama mendalilkan permohonan agar UU a quo dibatalkan seluruhnya. Argumentasinya adalah terdapat kecenderungan privatisasi sumber daya alam dan kerugian pada BUMN/D yang hal itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD NRI 1946 (Andhika P. Sudarman, 2011). MK kemudian mengabulkan permohonan untuk UU Ketenagalistrikan namun menolak permohonan untuk UU SDA.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertimbangan hukum terkait ketenagalistrikan adalah negara perlu memberikan perlindungan kepada perusahaan negara karena dalam kompetisi penyediaan listrik akan dimenangkan oleh usaha yang kuat (swasta). Sementara pada pengelolaan sumber daya air, menurut MK, diperlukan keterlibatan masyarakat guna menghindari monopoli dan mengingkatkan keterbukaan serta profesionalisme. Selain kedua putusan a quo, masih terdapat beberapa putusan MK terkait penguasaan sumber daya alam yang inkonsisten.
Pasal 33 UUD NRI 1945 sesungguhnya memuat prinsip-prinsip dasar pembangunan ekonomi nasional. Pasal a quo menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi nasional didasarkan atas demokrasi ekonomi yang disusun berdasarkan asas kekeluargaan. Landasan tersebut memberikan arahan dan peranan bagi negara untuk berhak menguasai sumber daya alam bagi kesejahteraan sosial. Selain itu pemaknaan asas kekeluargaan adalah pembangunan ekonomi harus diselenggarakan untuk kepentingan bersama sebagaimana nilai dalam Taman Siswa (Revrisond Baswir, 2016). Artinya, hubungan yang dilakukan antar pihak usaha ibarat guru dan murid. Pengutamaannya ada pada pengajaran dan pembagian ilmu sehingga semua pihak akhirnya mandiri dalam melakukan usaha.
Permasalahan serius yang kini dihadapi bangsa Indonesia yaitu begitu banyaknya pengelolaan sumber daya alam namun tidak memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Hal itu ditengarai akibat pengaruh privatisasi dan ancaman pasar bebas. Hal yang harus dilakukan guna menghadapi persoalan tersebut adalah, pada langit norma, diperlukan pemaknaan secara lebih tegas mengenai penguasaan negara terhadap sumber daya alam sekaligus peran swasta dalam pengelolaannya.
Pemaknaan yang dapat digunakan dan diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan adalah tafsir MK mengenai penguasaan negara. Menurut MK penguasaan negara meliputi perumusan kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan yang seluruhnya harus dimaknai secara kumulatif.
Sedangkan pihak swasta dapat terlibat di dalam unsur pengurusan sumber daya alam dengan izin negara. Sehingga kedudukan negara menjadi lebih tinggi namun tidak menutup peran swasta. Sekaligus dapat bersifat imperatif bagi pengurusan pihak swasta di mana sumber daya alam dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tujuannya, untuk menjamin rakyat Indonesia memperoleh haknya dari pemanfaatan sumber daya alam.